Ketua DPD RI: Tekanan Global Memaksa Indonesia Meratifikasi dan Terikat Perjanjian Internasional

Sabtu, 10 April 2021 – 17:05 WIB
Ketua DPD RI bersama rombongan saat mengunjungi cagar budaya Fort Marlborough di Kota Bengkulu, Sabtu (10/4). Foto: Humas DPD RI.

jpnn.com, BENGKULU - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengatakan era globalisasi tidak mungkin dihindari Indonesia. Menurutnya, tekanan global ini membuat Indonesia terintegrasi ke dalam perjanjian internasional.

Dia menegaskan bahwa hal ini menjadi menjadi konsekuensi pergaulan internasional. Namun, kata LaNyalla harus diakui bahwa tidak jarang hal itu menguji kedaulatan Indonesia sebagai bangsa.

BACA JUGA: Inilah 7 Harapan LaNyalla Mahmud Mattalitti untuk Ikatan Guru Indonesia

LaNyalla menyampaikan hal tersebut secara virtual saat menjadi keynote speaker di Seminar Hukum Nasional Himpunan Muda Sarjana Hukum Indonesia (HIMSHI) mengenai Konsep dan Aktualisasi Negara Hukum Indonesia, Sabtu (10/4).

Kegiatan ini juga diikuti sejumlah tokoh, yaitu Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, anggota DPD RI Jimly Asshiddiqie, Menko Polhukkam Mahfud MD, praktisi dan akademisi hukum, para sarjana hukum yang tergabung dalam HIMSHI, juga aktivis organisasi hukum dan LSM, serta perwakilan BEM Fakultas Hukum.

BACA JUGA: Isu Reshuffle Berembus Lagi, Hasto Kristiyanto PDIP Bilang Begini

Menurut LaNyalla, kondisi yang dialami Indonesia saat ini berbeda dengan era Orde Baru. Menurutnya, di masa Orde Baru, tekanan globalisasi bertujuan agar Indonesia membuka pintu selebar-lebarnya bagi masuknya kekuatan ekonomi dan politik asing.

Namun, kata LaNyalla, di era Reformasi, tekanan globalisasi bertujuan agar Indonesia makin terintegrasi ke dalam sistem politik, ekonomi, dan budaya global yang berada dalam kendali kekuatan multinasional yang berwatak kapitalis dan neoliberalisme.

BACA JUGA: LaNyalla: Dana Pinjaman Kebencanaan dari Jepang Harus Dikelola Secara Profesional

Senator asal Jawa Timur itu menambahkan, integrasi ini ditandai dengan sejumlah perjanjian internasional. Hal ini, tegas dia, sebagai konsekuensi pergaulan internasional.

"Persoalannya adalah, perjanjian-perjanjian atau ratifikasi hukum internasional tersebut berlatar kebutuhan kita atau kebutuhan mereka?" ujarnya.

LaNyalla mengatakan secara teori the greatest happiness is a greatest number. Artinya, yang terpenting dari perjanjian internasional atau ratifikasi tersebut adalah siapa yang diuntungkan.

Dia menjelaskan semua yang ditandatangani dan diratifikasi dari perjanjian internasional, mengandung konsekuensi untuk memproduksi hukum.

“Seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang mana ratifikasi adalah salah satu bentuk pengesahan, yaitu perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional," jelasnya.

Ketua Dewan Kehormatan Kadin Jawa Timur itu menjelaskan pengesahan atau ratifikasi perjanjian internasional dilakukan melalui UU apabila berkenaan dengan sejumlah hal. Seperti masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara, perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia, kedaulatan atau hak berdaulat negara, hak asasi manusia dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru, dan pinjaman dan atau hibah luar negeri.

Sementara, lanjut dia, ratifikasi perjanjian internasional melalui keputusan presiden (keppres) dilakukan atas perjanjian yang mensyaratkan adanya pengesahan sebelum memulai berlakunya perjanjian.

“Namun, memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat, tanpa memengaruhi peraturan perundang-undangan nasional," katanya.

Menurut LaNyalla, jenis-jenis perjanjian yang termasuk dalam kategori ini di antaranya perjanjian induk yang menyangkut kerja sama bidang Ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda, dan kerja sama perlindungan penanaman modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis.

"Jadi, di mana letak kedaulatan hukum negara Indonesia yang sudah menandatangani banyak perjanjian internasional yang patut diduga berlatar kebutuhan masyarakat internasional, seperti WTO, GATT, Free Trade ASEAN, IJEPA dengan Jepang dan masih banyak lainnya?” tanya LaNyalla.

Padahal, dia menegaskan bahwa di satu sisi kewajiban negara dalam proses ratifikasi perjanjian internasional adalah untuk memastikan keselarasan dengan konstitusi dan mentransformasikan ke hukum nasional.

Nah, kata LaNyalla, di sinilah tantangan kepada para sarjana hukum dan politisi di parlemen sebagai law maker.

Menurut dia, semua dituntut untuk berpikir dan bekerja guna menyempurnaan saat dua konsep itu dipertemukan, yaitu muatan perjanjian internasional dengan norma konstitusi Indonesia yang seharusnya berpihak kepada rakyat.

“Sehingga aktualisasi hukum Indonesia benar-benar berpihak kepada marwah Indonesia sebagai negara hukum yang berdaulat," ujar alumnus Universitas Brawijaya Malang itu. (*/jpnn)

 

 

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler