Ketua DPD Surati Agung Laksono

Selasa, 14 Oktober 2008 – 22:01 WIB
JAKARTA - Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita menyurati Ketua DPR Agung Laksono perihal pengaturan mekanisme proses dari DPD kepada DPR harus jelas memosisikan keduanya dalam platform yang datar“Kami mengharapkan diundang dalam konsultasi untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan DPD dengan pertimbangan begitu banyak berkembangan,” ujar Ginandjar, di Jakarta Selasa, (14/10).

Surat tertanggal 10 Oktober 2008 diserahkan ke Ketua DPR oleh Wakil Ketua DPD Laode Ida di Swiss dengan dengan alasan pimpinan DPR maupun DPD sama-sama ada di Swiss mengikuti Sidang Umum Inter-Parliamentary Union (IPU) di Jenewa.

Ginandjar menjelaskan, kelahiran konsensus berupa desentralisasi sebagai tuntutan reformasi bidang politik dan pemerintahan tahun 1988 itu bermuatan harapan agar daerah berkesempatan secara proporsional dalam sistem penyelenggaraan kekuasaan negara.

Berkenaan dengan fungsi dan mekanismenya, DPD menekankan lima poin, yakni dasar-dasarnya, pengajuan RUU inisiatif, ikut membahas RUU tertentu; pertimbangan atas RUU APBN, pajak, pendidikan, dan agama; serta pelaksanaan UU tertentu, imbuhnya.

Terkait dengan fungsi dan mekanismenya, DPD menekankan poin dasar-dasar sesuai dengan Pasal 22E ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BACA JUGA: TK Sulap Kehadirannya di DPR ?

Ayat (1), DPD dapat mengajukan RUU tertentu (otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta perimbangan keuangan pusat dan daerah); ayat (2), ikut membahas RUU tertentu.

Ayat (3), DPD memberikan pertimbangan atas RUU APBN, pajak, pendidikan, dan agama; ayat (4), memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); serta ayat (5), melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu; APBN, pajak, pendidikan, dan agama
 

“Dalam pengaturan pelaksanaan UUD 1945 yang dirangkum dalam UU seperti RUU Susduk yang sedang dibahas DPR dan Pemerintah harus tidak bergeser semangatnya,” ujar Ginandjar mengutip surat dimaksud.

Yang dibutuhkan sesungguhnya pengaturan mekanisme proses dari DPD kepada DPR yang harus jelas memosisikan DPD dan DPR dalam platform atau bidang yang datar

BACA JUGA: Agus Condro Gemas Sama BK DPR

“Bukan bidang yang ‘miring atau jomplang atau sub-ordinasi’ yang digambarkan dengan mengatur hubungan kerja lembaga dari DPD kepada komisi DPR atau setara dengan alat kelengkapannya saja.”

Lalu, lanjutnya, soal mekanisme kerja antara DPR dan DPD dalam bentuk Tim Bersama dan penyelarasan Peraturan Tata Tertib DPR dan DPD
Berdasarkan pengalaman empirik ternyata sangat diperlukan ketentuan dalam RUU Susduk yang memerintahkan pelaksanaannya.

Masih berkenaan dengan fungsi dan mekanismenya, DPD menekankan poin ikut membahas RUU tertentu sesuai dengan UUD 1945 agar tidak dibatasi pengertian “ikut membahas” kecuali diartikan DPD tidak ikut dalam forum pengambilan keputusan antara DPR dan Pemerintah

BACA JUGA: Rapimnas Golkar Tampung Wacana Capres

Pengertian ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 yang dirumuskan dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 tahun 2001 dan ketentuan Pasal 20 ayat (2) Uud 1945 yang dirumuskan terlebih dahulu dalam Perubahan Kedua UUD 1945 tahun 2000 tidak boleh ditafsirkan terlepas satu sama lain.

Mengartikan Pasal 22D UUD 1945 sebagai “awal” dan Pasal 20 ayat (2) sebagai pembahasan yang sesungguhnya antara DPR dan Pemerintah saat Pembicaraan Tingkat I di DPR jelas-jelas mereduksi dan melanggar UUD 1945Sampai sekarang, fase pembahasan RUU menjadi UU sesuai dengan Peraturan Tata Terrtib DPR adalah dua tingkat yang masih sangat dimungkinkan berubah.

Pembahasan RUU tertentu baik yang berasal dari DPR, Pemerintah, dan DPD merupakan kerja simultan ketiga lembaga negara (DPR-Presiden- DPD)Dalam terminologi MPR, yang disatukan adalah anggota DPR dan anggota DPD sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, bukan lembaga DPR dan lembaga DPD.

Tidaklah tepat, menurut Ketua DPD, pengaturan keterlibatan DPD pada batas-batas tertentu apakah dengan terminologi tingkat pembahasan ataupun terminologi tingkat counterpart antara lembaga DPD dengan alat kelengkapan DPR, apalagi anggota DPRYang paling tepat adalah penegasan bahwa DPD “ikut membahas” sampai rapat terakhir sebelum dilaksanakan rapat paripurna pengambilan keputusan yang dicirikan dengan penyertaan pendapat akhir DPD sebagai bagian materi rapat paripurna tersebut.

“Ikut membahas” RUU menjadi UU dapat diartikan ikut secara aktif dan dapat juga sekaligus ikut secara pasif“Ikut membahas” secara pasif sebagai tugas lain DPD untuk mendukung penyelesaian dalam pengambilan keputusan apabila muatan sebagian (pasal atau ayat) RUU tidak mencapai persetujuan antara DPR dan Pemerintah“Maka, dapat dimintakan pandangan dan pendapat DPD,” tukas Ginandjar.

Demikian juga halnya dengan pertimbangan atas RUU APBN, pajak, pendidikan, dan agama yang disampaikan tertulis kepada DPR yang secara jelas dicantumkan dalam UUD 1945Dalam RUU Susduk dirancang pengaturan penolakan DPR atas pertimbangan DPD melalui jawaban tertulis, yang harus dijawab DPD juga melalui jawaban tertulisMekanisme ini diproyeksikan tidak akan memberikan hasil (outcome) yang baik pada konteks kepentingan daerah secara luas.

Sekaligus, pasif atau satu arah dan jelas-jelas menghindari dialog atau komunikasi atau musyawarah yang merupakan karakter dasar
parlemen kita sebagaimana tercantum pada sila keempat PancasilaYang diperlukan sesungguhnya pengaturan tindak lanjut pertimbangan dari DPR kepada DPR dalam bentuk rapat khusus atau Tim Bersama DPR-DPD.

DPD juga menekankan poin pelaksanaan UU tertentu sebagai bentuk pengawasan (oversight) yang mementingkan efektivitas dan efisiensinyaPengertiannya, tercapainya sasaran dengan keberadaan DPD mengawasi penyelenggaraan pemda.

Dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Susduk, pelaksanaan bentuk pengawasan ini meliputi koordinasinya dengan elemen pemerintahan daerah, penyampaian hasilnya kepada alat kelengkapan dan atau anggota DPR, serta tertutupnya tindak lanjut yang dilakukan selain alat kelengkapan dan atau anggota DPR.

Hal lain adalah soal pengaturan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu untuk tindak lanjutnya“Yang ditegaskan ialah mekanisme rapat kerja khusus atau Tim Bersama yang mendalami atau akan menghasilkan rekomendasi yang akan berujung pada proses legislasi, terutama penyesuaian ata perubahan UU terkait,” tukas Ketua DPD.

Dimensi pengawasan harus dibatasi selain dari ruang lingkup atau cakupan kerja DPD dalam pembahasan dan pertimbangannyaSelain secara konstitusi juga harus didasarkan justifikasi materiil di mana ikut membahas dan memberi pertimbangan tentu saja harus berdasarkan data lapangan dan hasil observasi.

DPD juga menekankan soal dukungan atas fungsi dan mekanismenyaDPD melengkapi catatan-catatannya berdasarkan pengalaman empirik atau posisi parlemen Indonesia yang dicita- citakanMenurut UUD 1945, establishment DPD juga dibangun DPR melalui hak bertanya dan hak sandera yang dapat memperkuat pengawasan DPD yang di dalam pengaturan yang diusulkan masih diorientasikan sebagai hak anggota.

Lebih penting dan sangat penting untuk mempertegas hak secara kelembagaan meskipun jelas tidak sekuat hak lembaga DPR yang sesuai dengan UUD 1945 memiliki hak pemakzulanHak lembaga DPD yang lebih penting dan sangat penting dipertegas adalah hak inisiatif, hak angket (sebatas ruang lingkup), dan hak budget (sebatas pertimbangan)(Fas)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hamka Yandhu Minta Bunbunan Bersaksi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler