jpnn.com, JAKARTA - Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta A. Tholabi Kharlie mengkritisi terbitnya Permendikbudristek PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) di perguruan tinggi.
Tholabi menilai perlu kehati-hatian dan sikap bijak dalam merumuskan norma dalam Permendikbudristek PPKS yang menimbulkan kegaduhan itu.
BACA JUGA: Permendikbudristek PPKS yang Dibuat Nadiem Bertentangan dengan Nilai Agama
Dia memahami Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 yang diteken Mendikbudristek Makarim pada akhir Agustus, itu sebagai respons atas praktik kekerasan seksual yang marak di lingkungan perguruan tinggi.
"Munculnya kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, harus direspons secara aktif oleh negara dan civitas academica di perguruan tinggi," kata Tholabi di Jakarta, Rabu (10/11).
BACA JUGA: Memalukan! Oknum Karyawan Sirkuit Mandalika Buka Kargo Ducati Secara Ilegal, Disorot Media Asing
Respons tersebut menurut Tholabi bermacam-macam, baik secara internal maupun dengan menerapkan due process of law kepada pelaku. Termasuk, pendampingan kepada penyintas kekerasan seksual hingga menerbitkan aturan seperti Permendikbudristek PPKS.
Namun, ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) se-Indonesia itu menyebut respons pemerintah melalui Permendikbudristek PPKS justru menimbulkan persoalan baru terkait dengan penormaan.
BACA JUGA: Sudah Mendapat Ucapan Selamat Lulus PPPK, Nilai Murni Tertinggi, Guru Honorer Kecewa dan Malu
Tholabi menyatakan definisi kekerasan seksual yang tertuang di Pasal 5 Ayat (2) huruf b, f, g, h, l, m pada Permendikbudristek PPKS, secara terang-terangan mengintrodusir tentang konsep consent atau voluntary agreement, persetujuan aktivitas seks yang tidak dipaksakan.
"Dalam konteks norma yang dimaksud adalah larangan melakukan perbuatan seks tanpa persetujuan korban," ucap Tholabi.
Pada norma berikutnya, yakni di Pasal 5 Ayat (3), membuat kategorisasi tidak legalnya persetujuan aktivitas seks sebagaimana disebutkan di Pasal 5 Ayat (2) apabila korban dalam keadaan belum dewasa, di bawah tekanan, di bawah pengaruh obat-obatan, tidak sadar, kondisi fisik/psikologis yang rentan, lumpuh sementara atau mengalami kondisi terguncang.
"Konsepsi consent diadopsi penuh dalam beleid ini. Di sini letak krusialnya," ujar Tholabi menegaskan.
Dia menyebut perdebatan serupa pernah terjadi saat pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang juga mengakomodasi konsep consent terkait dengan aktivitas seks.
Meskipun dalam draf RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang terbaru dari Baleg DPR, norma tentang consent ini makin berkurang jauh dibanding saat draf RUU PKS.
"Permendikbudristek 30/2021 ini seperti memutar kaset lama, ruang publik kembali gaduh. Ini yang menjadi kontraproduktif," ucap Tholabi menyesalkan. (esy/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Mesya Mohamad