jpnn.com, JAKARTA - Komisi II DPR menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait penyelesaian masalah tenaga honorer K2, Senin (17/2).
RDPU Komisi II DPR RI tersebut mengundang tiga orang profesor. Yakni Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan, Guru Besar Ilmu Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Miftah Thoha, dan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia (UI) Eko Prasojo.
BACA JUGA: 51 Ribu PPPK dari Honorer K2 Terancam tak Terima Gaji
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengatakan, jumlah tenaga honorer yang sudah terlalu banyak menyebabkan persoalan menjadi rumit .
Batasan usia maksimal dalam persyaratan seleksi CPNS juga menyebabkan jumlah tenaga honorer semakin menunpuk. Usia mereka terus bertambah, sementara untuk ikut seleksi CPNS, terganjal syarat usia.
BACA JUGA: Sebagian Honorer K2 Melunak, tetapi Mengajukan Syarat
"Ini kan masalah memang agak complicated ya. Jumlahnya sudah terlalu banyak, mereka juga umurnya kalau diikutkan seleksi juga sudah tidak memenuhi syarat, karena syaratnya kan maksimal 35 tahun," kata Doli di Jakarta, Senin.
Oleh karena itu, DPR RI harus segera merumuskan solusi bagaimana mengikutsertakan honorer yang sudah tidak memenuhi kriteria usia maksimal, dalam Seleksi ASN mendatang.
BACA JUGA: Prof Eko Prasojo Sodorkan Cara Pengangkatan Honorer K2 menjadi PNS
Tiga profesor tersebut memaparkan sejumlah pandangannya, bagaimana menyelesaikan persoalan itu.
Doli mengatakan, ada usulan pengangkatan honorer menjadi ASN, sebaiknya memakai standar kompetensi honorer.
Namun ada yang berpendapat, kalau memakai standar kompetensi masih terlalu sulit untuk dipenuhi tenaga honorer.
"Kalau kita ikutkan dia (honorer) berdasarkan kompetensi, mungkin agak sulit karena standarisasinya sudah terlalu tinggi. Yang sederhana saja, misalnya soal umur, mereka sudah enggak lolos," kata Doli.
Doli menyebut ada usulan lain yaitu memakai standar berbasis kinerja sebagai syarat mengikutsertakan honorer dalam seleksi ASN.
"Nanti mungkin bisa dinilai kinerjanya," kata Doli.
Namun, standar kinerja perlu dukungan dari pemerintah terutama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk melakukan pemetaan.
"Berapa kita butuhkan sebagai tenaga guru di pedesaan, tenaga kesehatan di Puskesmas, segala macam begitu. Nah, Ketika kita sudah mempunyai pemetaan kebutuhan seperti itu, bisa kita lihat dari 439.000 tenaga honorer yang statusnya belum jelas, bisa kita seleksi berbasis kinerja mereka," kata Doli.
Kalau memang kinerja terbukti bagus, maka honorer tersebut bisa diangkat menjadi ASN.
“Untuk kemudian didistribusikan ke tempat-tempat yang masih membutuhkan,” ujar Doli. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Soetomo