Ketua Komisi X: Tumpang Tindih Peran LMKN Rugikan Pekerja Kreatif

Rabu, 03 November 2021 – 09:49 WIB
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda. Foto: Dok.JPNN.com.

jpnn.com, JAKARTA - Tarik ulur pengelolaan royalti lagu dan musik di tanah air tak kunjung menemukan titik terang. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik justru memunculkan ladang pertempuran baru. Pekerja kreatif pun kembali menjadi korban.

“Kami tentu prihatin dengan perkembangan baru terkait pengelolaan royalti lagu dan musik di tanah air. PP 56/2021 yang kita harapkan jadi payung hukum yang menegakkan hak-hak pekerja kreatif di industri musik kini malah melahirkan bibit sengketa yang malah merugikan para musisi dan pencipta lagu,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, Rabu (3/11/2021).

BACA JUGA: Notebook HP x360 Meluncur bagi Pekerja Kreatif

Dia menjelaskan lahirnya PP 56/2021 tentang pengelolaan hak cipta lagu dan musik memang memberikan harapan baru bagi perlindungan hak kekayaan intelektual dari musisi serta pencipta lagu.

Dalam PP tersebut jelas disebutkan kewajiban bagi semua pihak yang menggunakan lagu dan musi sebagai layanan publik bersifat komersial harus membayarkan royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait.

BACA JUGA: Kawal PPPK Guru Agama 2021, Syaiful Huda: Itu Janji Saya

“Dalam PP tersebut bahkan disebutkan jenis-jenis layanan publik bersifat komersial yang harus membayar royalti. Tentu ini memunculkan euphoria bagi pemilik hak cipta yang selama ini kerap dirugikan karena begitu brutalnya pelanggaran hak cipta di tanah air,” kata Huda.

Dalam perkembangannya, kata Huda, PP 56/2021 ternyata memunculkan masalah baru. Hal ini seiring pembentukan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang menjadi amanat PP 56/2021.

BACA JUGA: Masjid Jamie Nurul Huda Bekasi, Diresmikan KH Noer Ali, Kondisimu Kini

LMKN diberikan otoritas menarik royalti untuk kepentingan pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait yang telah menjadi anggota maupun yang belum menjadi anggota suatu Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

“Fungsi penarikan royalty ini sebelumnya dilakukan oleh LMK bentukan para musisi maupun pencipta lagu yang bersifat independen. Dengan adanya LMKN yang dibentuk oleh pemerintah melalui Kemenkumham maka terjadi sentralisasi kewenangan yang justru rentan memicu polemik baru,” katanya.

Huda menilai hampir pasti benturan kepentingan antara LMKN dan LMK akan terjadi karena adanya aturan 20% dari besaran royalti yang dikumpulkan dari publik digunakan untuk pembiayaan manajemen kolektif.

Menurut dia, 20  persen bagian dari royalti ini cukup besar. Sebagai gambaran jika ada Rp100 miliar yang bisa dikumpulkan, maka berarti ada Rp20 miliar yang harus disisihkan untuk manajemen kolektif. 

“Besaran bagian untuk menajamen kolektif ini pasti akan potensial memicu konflik kepentingan. Apalagi jika ada dua entitas yang mempunyai peran mirip dalam hal ini LMKN dan LMK,” katanya.

Apalagi dalam perkembangan terbaru, kata Huda LMKN bekerjasama dengan pihak ketiga untuk menjalakan fungsi pengumpul royalty dari publik. Tentu situasi ini akan kian memperpanjang belitan kepentingan karena potensi konflik akan kian melebar.

“Keputusan LMKN dalam mengandeng PT Lentara Abadi Solutama (LAS) kian meruncing konflik kepentingan dalam sengkarut penarikan royalty lagu dan atau musik di Indonesia,” katanya.

Politikus PKB ini mendesak agar Presiden Joko Widodo turun tangan dalam mengatasi polemik sengkarut penarikan royalti lagu dan atau musik ini. Menurutnya sudah lama pekerja kreatif di industri musik yang mengharapkan perlindungan dan penghormatan atas kekayaan intelektual mereka.

“Presiden Jokowi sudah beritikad baik dengan mengeluarkan PP 56/2021 untuk melindungi dan menghormati kekayaan intelektual para musisi dan pencipta lagu. Jangan sampai itikad ini kemudian terganjal oleh konflik kepentingan di mana pemerintah menjadi bagian dari konflik tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung,” pungkas Huda.(fri/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler