Ketua KPK Bicara Soal Pencegahan Penyimpangan Dana Aspirasi DPR

Senin, 29 Juni 2015 – 19:48 WIB
kiri-kanan : Plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki, Anggota DPR Fraksi Golkar Bambang Soesatyo dan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Satya Widya Yudha seusai melakukan pertemuan tertutup dan rapat pleno di ruang rapat KK 1, DPR, Senayan, Jakarta, Senin (29/6). Pertemuan tertutup antara KPK, BPK dan anggota Fraksi partai Golkar tersebut dalam rangka pembekalan usulan program pembangunan daerah pemilihan atau dana aspirasi dan sosialisasi terkait pencegahan korupsi. Foto : Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrachman Ruki menghadiri undangan pleno Fraksi Golkar DPR yang salah satunya membahas soal pencegahan korupsi dalam usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau dana aspirasi Anggota DPR.

Menurutnya, KPK tidak dalam posisi setuju atau tidak setuju dengan program itu. Sebab, semua prosesnya dikembalikan kepada mekanisme pembahasan anggaran oleh pemerintah dengan persetujuan DPR.

BACA JUGA: Buya: Kita Butuh Menteri seperti Susi

"Kalau pemerintah dan DPR sudah menyetujui UP2DP ini, berapapun besarnya, ya legal lah itu. Kami tidak masuk ke proses pembahasan ini," kata Ruki usai pertemuan tertutup tersebut di gedung DPR Jakarta, Senin (29/6).

Hanya saja, Ruki menyampampaikan sejumlah poin kalau program dana aspirasi itu ternyata disetujui. Pertama, tata kelolanya harus baik, jangan sampai ada proyek fiktif atau mengandung kickback. 

BACA JUGA: Tinggal Menunggu Sidang, Mandra Cs Dijebloskan ke Cipinang

"Tata kelolanya harus betul-betul sesuai sistem pengelolaan keuangan negara, transparan, bermanfaat untuk masyarakat," tegasnya.

Hal itu menurutnya sudah masuk bagian pencegahan. Sebab, dana tersebut akan tercatat di APBD sebagai Dana Alokasi Khusus (DAK), kemudian mekanisme tata kelolanya sesuai dengan sistem yang ada di pemerintah.

BACA JUGA: Apakah Pilkada Serentak Lebih Murah, Efektif, Efisien?

Lagi pula, lanjut Ruki, anggaran Rp 20 miliar per tahun itu akan menjadi kecil ketika diserap di lapangan melalui sistem daerah pemilihan bukan anggota. Misal Rp 20 miliar per tahun per dapil. Di Jawa, satu dapil hanya 2-3 kabupaten, sedangkan di luar Jawa, satu dapil bisa sampai sepuluh kabupaten.

"Kalau Rp 20 miliar per tahun berarti Rp 1,2 miliar per bulan, dan kalau dibagi sepuluh kabupaten artinya Rp 120 juta. Berapa proyek, perbaiki musola, sanitasi, atap sekolah yang di dapil. Ini anggarannya sangat kecil," kata Ruki.

Dia menegaskan perlunya pengawasan untuk mencegah adanya proyek fiktif.  "Gak mungkin ada kickback lah. Masa (proyek) 20 juta kemudian anggota minta kickback, tidak mungkin. Potensi jadi bancaan timses, itu bagian dari pengawasan. Kalau politik ada timses, tapi anggaran tidak ada. Pengawasannya nanti kan ada polisi, kejaksaan," tandasnya.(fat/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ramai Isu Reshuffle, Jokowi Bahas Nama Sri Mulyani


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler