Ketua MPR Bamsoet Ajak Generasi Muda Jaga Persatuan Bangsa di Tengah Keberagaman

Sabtu, 08 Juni 2024 – 06:16 WIB
Ketua MPR Bambang Soesatyo saat menyampaikan sosialisasi Empat Pilar bersama Universitas Kristen Maranatha di Bandung, Jumat (7/6). Foto: Dokumentasi Humas MPR RI

jpnn.com, BANDUNG - Ketua MPR Bambang Soesatyo yang akrab disapa Bamsoet mengingatkan bangsa Indonesia sedang menghadapi ancaman demokrasi yang tidak kalah hebat dampaknya terhadap persatuan dan kesatuan bangsa, selain ancaman terorisme, radikalisme, ideologi transnasional, dan narkoba.

Menurut Bamsoet, luka bangsa pada Pemilu 2019 dengan hadirnya istilah 'cebong', 'kampret', dan 'kadrun' menjadi peringatan pemilihan langsung memiliki dampak berganda (multiplier effect) bagi keharmonisan kehidupan kebangsaan.

BACA JUGA: Ketua MPR Dorong Generasi Muda Berpikir Kreatif dan Bersikap Kritis

Tidak hanya pada Pilpres dan Pileg, pemilihan langsung pada Pilkada juga meninggalkan berbagai persoalan kebangsaan.

Bamsoet menyebut hasil penelitian Prof Burhanuddin Muhtadi mengungkapkan sebanyak 33 persen (63,5 juta pemilih) atau 1 dari 3 pemilih pada Pemilu 2014 dan 2019 menerima politik uang.

BACA JUGA: Generasi Muda Dianggap Bisa Meniru Tangkas dalam Menggarap Pasar Motor Listrik

Kondisi tersebut menempatkan Indonesia berada di nomor tiga dari sisi persentase 33 persen.

Dari sisi absolute atau angka 63,5 juta pemilih, Indonesia menjadi negara dengan korban paling besar se-dunia dalam hal politik uang.

BACA JUGA: Fesbud 8 Perkenalkan Budaya Lokal & Internasional kepada Generasi Muda

"Tidak heran jika kini banyak kalangan yang menilai Pemilu Indonesia paling liberal di dunia. Sudah melenceng jauh dari demokrasi Pancasila sesuai semangat perwakilan sebagaimana terdapat dalam sila keempat Pancasila," ungkap Bamsoet dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR bersama Universitas Kristen Maranatha di Bandung, Jumat (7/6).

Karena itu, kata Bamsoet, perlu adanya evaluasi menyeluruh untuk kembali menghadirkan politik programatik bukan politik pragmatis, serta kompetisi elektoral berbasis partai untuk mengurangi penggunaan politik uang.

Dia juga mengajak para generasi muda menyadari betapa hebatnya Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang begitu kaya keberagaman dan perbedaan.

Ketika terbang dari Sabang menuju Merauke, kita akan menempuh jarak sekitar 5.245 kilometer.

Lebih jauh dari jarak antara Boston (Amerika Serikat) ke Lisbon (Portugal) melewati Samudera Atlantik, atau setara dengan jarak dari Jakarta ke Korea Selatan.

Selain itu akan melintasi 17.504 pulau, dan melewati tiga zona waktu yang berbeda.

Luasnya bentangan jarak antara Sabang sampai Merauke juga meliputi hampir 280 juta jiwa penduduk Indonesia, yang terdiri dari 1.340 suku bangsa, dengan 733 bahasa daerah yang berbeda, serta beragam adat istiadat, agama, dan keyakinan yang berbeda-beda.

Bamsoet mencontohkan bangsa-bangsa di kawasan Timur Tengah maupun Eropa Timur yang memiliki banyak kesamaan dibandingkan perbedaan, justru hingga kini masih bergulat dalam beragam konflik.

Begitupun bangsa di Asia, seperti Korea Selatan dengan Korea Utara, serta China dengan Taiwan.

Namun Indonesia, dengan luas wilayah dan besarnya keragaman yang dimiliki, justru hingga kini masih tetap damai.

"Jawabannya tidak lain karena kita memiliki Empat Pilar MPR RI, yakni Pancasila, UUD NRI 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI," tegas Bamsoet.

Bamsoet yang juga Dosen Tetap Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Borobudur itu menyampaikan sejak era Presiden Soekarno hingga kini Presiden Joko Widodo, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika selalu diakui dunia.

Hal ini sebagaimana disampaikan Sekretaris Jendral Persatuan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres dalam rangkaian kegiatan KTT ke-43 ASEAN 2023 bahwa Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya motto nasional Indonesia, tetapi menjadi kunci membangun masa depan dunia.

Pada Mei 2023 lalu, UNESCO menetapkan Pidato Presiden Soekarno 'To Build the World A New (Membangun Dunia Kembali)' yang disampaikan di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 30 September 1960 sebagai Memory of the World (MoW).

Dalam pidato tersebut, Presiden Soekarno mencetuskan manifesto intelektual, politik dan ideologi yang bersifat internasiona bahwa dunia harus dibangun kembali dengan berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

"Bung Karno mengenalkan dan menawarkan Pancasila sebagai ideologi internasional dan universal. Mengingat nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai sila Pancasila, seperti Ketuhanan, Kemanusiaan, Nasionalisme, Demokrasi, dan Keadilan Sosial, merupakan nilai yang bersifat internasional dan universal," pungkas Bamsoet. (mrk/jpnn)


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler