jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR RI sekaligus kandidat doktor studi Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bambang Soesatyo menulis artikel riset, The Urgency of the Staples of State Policy As a Legal Umbrella For The Sustainable Development Implementation to Face The Industrial Revolution 5.0.
Artikel ini dimuat dalam jurnal internasional terindex Scopus, Central Asia and The Caucasus Journal, Volume 23 Issue 1 2022, English Edition.
BACA JUGA: Catatan Ketua MPR RI: Layani dan Lindungi Pemudik Agar Semua Tiba dengan Selamat
Publik bisa membaca tulisan tersebut dengan mengklik tautan https://ca-c.org/submissions/index.php/cac/article/view/121/55.
"Selain sebagai salah satu syarat dalam menempuh pendidikan doktor di studi Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, artikel ini memperluas khazanah pemikiran tentang urgensi kehadiran Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai payung hukum pelaksanaan pembangunan berkelanjutan Indonesia," ujar Bamsoet di Jakarta, Jumat (29/4).
BACA JUGA: Ketua MPR Dukung Mochtar Kusumaatmadja Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menjelaskan, dalam artikel itu, dirinya menjelaskan perjalanan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang pada masa dahulu pernah dimiliki Indonesia sebagai landasan program pembangunan nasional.
Namun, dalam amendemen ketiga konstitusi yang dilakukan pada 1-9 November 2001, GBHN dihapuskan.
BACA JUGA: Bamsoet Ungkap Kisah Prajurit Kopassus di Era Prabowo Mendaki Puncak Everest
Perubahan penting lain dalam amendemen ketiga tersebut adalah presiden dan wakil presiden tidak lagi dipilih MPR RI, melainkan langsung dipilih oleh rakyat.
Jadi, program pembangunan tidak lagi didasarkan pada GBHN yang dibuat MPR RI, melainkan visi-misi presiden dan wakil presiden terpilih.
"Pemerintah kemudian membentuk 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025," ungkapnya.
Namun, dalam implementasinya, berbagai peraturan perundang-undangan tersebut masih menyisakan beragam persoalan.
"Selain kecenderungan eksekutif sentris, dengan model sistem perencanaan pembangunan nasional yang demikian, memungkinkan RPJPN dilaksanakan secara tidak konsisten dalam setiap periode pemerintahan," jelas Bamsoet.
Ketua DPR RI ke-20 ini menerangkan, demikian pula antara sistem perencanaan pembangunan nasional dan sistem perencanaan pembangunan daerah yang berpotensi terjadi ketidakselarasan.
Mengingat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tidak terikat untuk mengacu pada RPJMN.
Sebab, visi dan misi gubernur/bupati/wali kota sangat mungkin berbeda dengan visi dan misi presiden dan wakil presiden terpilih.
"Berbagai kelemahan tersebut akhirnya mengantarkan pada gagasan perlunya MPR diberi kembali kewenangan menetapkan haluan negara yang kemudian dikenal dengan nomenklatur PPHN," ucapnya.
Keberadaannya akan menjadi kaidah penuntun yang berisi arahan dasar tentang melembagakan nilai-nilai Pancasila dan konstitusi ke dalam pranata publik.
PPHN juga menjadi paket integral dari konsepsi negara kekeluargaan yang dikehendaki Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, keberadaan PPHN sangat diperlukan dalam mempersiapkan Indonesia menghadapi Revolusi Industri 5.0.
Keberadaan PPHN sangat penting untuk memuat norma-norma dasar yang mengarah pada cita-cita dan tujuan nasional.
"Tidak heran jika banyak pihak seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Forum Rektor Indonesia yang menilai kewenangan membentuk PPHN lebih tepat berada di tangan MPR," pungkas Bamsoet. (mrk/jpnn)
Redaktur : Tarmizi Hamdi
Reporter : Tarmizi Hamdi, Tarmizi Hamdi