jpnn.com - BATAM - Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Real Estate Indonesia (REI) Batam, Djaja Roeslim, turut angkat bicara tentang terbitnya sebuah peraturan baru yang dinilai cukup merasahkan pengusaha dan warga di Batam, Kepulauan Riau.
Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Kepala (Perka) Badan Pengusahaan (BP) Batam Nomor 19/2016 yang mengatur detail tarif Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO).
BACA JUGA: Pengusaha Batam Resah dan Merasa Dirampok
Dia menyatakan, kenaikan tarif UWTO yang diatur dalam Perka 19/2016 tetap memberatkan semua pihak.
"Tidak ada yang turun, malah naik. Dan ini secara otomatis pasti mempengaruhi komponen harga tanah dan meningkatkan harga properti," jelas Djaja.
BACA JUGA: HCML : Kami Beroperasi Sesuai Aturan Pemerintah
Djaja mengungkapkan, dengan kenaikan UWTO ini bukan menjadi masalah bagi pengembang karena pada dasarnya pengembang akan membebankan kenaikan UWTO lewat harga jual yang akan meningkat. Namun, tentu saja itu akan memberatkan masyarakat untuk membeli rumah.
Ia kemudian memberi contoh tarif UWTO sebelumnya untuk rumah susun sederhana adalah Rp 6.000 per meter dan untuk rumah sederhana dengan tanah di bawah 72 meter, UWTO-nya adalah Rp 18.000 per meter.
BACA JUGA: Buset, Pungli Pak Tua Ini Bisa Capai Belasan Juta per Bulan
Namun dalam tarif terbaru, tarif UWTO rumah susun termurah ada di angka Rp 15.100 dan untuk tarif rumah sederhana termurah adalah Rp 77.100 per meter.
"Intinya tak ada penurunan dan kenaikan ini akan menambah biaya. Sedangkan situasi ekonomi saat ini tengah lesu. Warga Batam saat ini bayar cicilan rumah Rp 1 juta perbulan saja, banyak yang megap-megap," jelasnya.
Namun di balik sikap kontranya itu, Djaja tetap mengapresiasi langkah BP Batam yang membagi kawasan permukiman ke dalam subjenis peruntukan. Dan nilai tarif antara rumah kecil dengan rumah besar sangat besar. "Ini bagus untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)," katanya.
Pemilik PT TJP ini juga menegaskan, seharusnya BP Batam bukan menaikkan tarif, tapi mengambil langkah pertama yang patut dibenahi yakni memastikan kepastian hukum lahan-lahan di Batam yang dihinggapi banyak masalah.
"Masalah ruli dan lahan yang tak punya HPL, namun malah diperjualbelikan, lahan yang telah dialokasikan namun ternyata berada di daerah hutan lindung dan DPCLS. Itu yang perlu diperbaiki, baru kami bisa melihat apakah kenaikan tarif itu wajar atau tidak," tegasnya.
Intinya, Djaja menolak kenaikan UWTO karena memberatkan masyarakat dan meminta agar BP Batam berfokus kepada penyelesaian administrasi yang payah seperti proses perizinan IPH dan lainnya.
Senada dengan Djaja, Ketua Kamar Dagang Industri (Kadin) Kota Batam, Jadi Rajagukguk mengatakan kenaikan tarif ini akan mempengaruhi harga jual rumah sehingga memberatkan masyarakat.
"Sebenarnya keberadaan BP Batam ini untuk mengolah tanah atau mendatangkan investor sebanyak-banyaknya," ungkapnya.
Dan jika semua tarif layanan naik mulai dari UWTO hingga rumah sakit, pelabuhan, bandara, dan rumah sakit naik, apakah BP Batam sudah memikirkan insentif tambahan dan peningkatan pelayanan.
"BP Batam harus ramah dengan bisnis. Sehingga segala kenaikan apapun harus dirundingkan," jelasnya.
Sedangkan Pimpinan Cabang Bank Tabungan Negara, Agung Komang Tri Martha menyayangkan kenaikan ini tapi enggan mengkritik karena kebijakan ini datangnya dari pusat.
"Sebenarnya kalau kami hanya menunggu dari pengembang. Kalau ada yang beli rumah dan KPR-nya ke kami, maka kami akan proses," jelasnya.
Namun, situasi ekonomi lesu saat ini memang bukan merupakan waktu tepat menaikkan tarif UWTO. "Belum naik saja, kredit KPR kami tak mencapai ekspektasi. Apalagi dengan kenaikan UWTO," ungkapnya.(spt/leo/she)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Program Pemprov Gorontalo Ini Dipuji Ketua Umum PB NU
Redaktur : Tim Redaksi