Ketum Gelora Khawatir Indonesia Terjebak Perang Supremasi AS Vs China

Jumat, 10 September 2021 – 21:54 WIB
Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta. (Partai Gelora)

jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menyatakan Indonesia harus bisa mengantisipasi agar tidak menjadi 'residu' dari 'perang' supremasi antara Amerika Serikat (AS) dan China.

Hal itu dikatakan Anis  dalam Webinar Moya Institute bertajuk “Dampak Berkuasanya Kembali Taliban Bagi Keamanan Indonesia", Jumat (10/9).

BACA JUGA: DL Antusias Menghadiri Kegiatan Vaksinasi di Gelora 10 Nopember Surabaya, Memberontak, Dilumpuhkan

Selain Anis Matta, Webinar itu juga diisi oleh Mantan Duta Besar RI untuk PBB Prof. Dr. Makarim Wibisono, Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim,Pengamat Politik Internasional Prof. Imron Cotan dan Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto sebagai pemantik diskusi.

Anis mengatakan, Indonesia harus mewaspadai dampak perang supremasi itu, sebab negeri ini dekat dengan salah satu spot perang supremasi tersebut, yakni Laut Cina Selatan.

BACA JUGA: Politikus Gelora Sudah Melihat Tanda-Tanda PPKM Darurat Bakal Gagal

Dan guna mengantisipasi perang supremasi itu, Anis memberi catatan penting bagi Angkatan Petang atau Militer Indonesia

"Ingat, di Militer Indonesia ini, sudah puluhan tahun tidak punya pengalaman perang yang besar," ujar Anis.

BACA JUGA: Jumlah Kader Partai Gelora Sudah Sebegini, Coba Lihat Oktober Nanti

Hal penting berikutnya yang perlu diwaspadai, sambung Anis, adalah ketimpangan ekonomi. Berdasarkan pengamatan Anis, ketimpangan ekonomi di Indonesia terkait dengan dua isu lainnya, yakni agama dan etnis.

"Sebab, kemiskinan ini banyak dialami oleh umat Islam, dan yang dominan di perekonomian adalah etnis Cina. Isu ini, bila dimanfaatkan oleh global player yang masuk, akan menciptakan kekacauan di negeri ini. Maka, pemerintah harus menangani ini secara serius," ujar Anis.

Terkait berkuasanya Taliban di Afghanistan, Anis menilai hal itu tak memiliki dampak besar bagi keamanan Indonesia.

Sebab narasi yang dibawa Taliban saat ini, sudah sangat berbeda dengan Taliban pada dekade 1990-an.

"Taliban kini memberi pengampunan pada orang-orang yang bekerja dengan pemerintah sebelumnya. Taliban kini juga menyatakan diri sebagai Imarah Islamiyyah, bukan Khilafah Islamiyyah, yang artinya Taliban hanya ingin berdaulat di teritori Afghanistan," papar mantan Politikus PKS itu.

Sementara itu, Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim menyatakan, perubahan kekuasaan yang terjadi di Afghanistan, kemungkinan besar memiliki pengaruh tertentu bagi Indonesia.

Sebab, sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia memiliki relasi dengan negara-negara Islam lainnya, termasuk Afghanistan.

"Apalagi, dalam sejarah nya, Afghanistan pernah menjadi training center para teroris. Hal ini yang harus kita waspadai," ujar Chappy.

Terkait Taliban sendiri, Chappy mengamati bahwa Taliban itu tidak utuh. Menurut nya, didalam Taliban, masih ada faksi-faksi yang belum solid.

"Sebagai pemerintahan, Taliban belum efektif. Maka masih terlalu dini apabila Indonesia memberikan endorse pada Taliban," ujar Chappy.

"Meski Taliban menyatakan akan menjadi pemerintahan yang inklusif dan sebagainya, tapi masih harus diuji kebenarannya," tambah Founder dan Ketua Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI) itu. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler