jpnn.com, JAKARTA - Gugatan seorang advokat terkait kewenangan jaksa menyidik kasus pidana korupsi ke Mahkamah Konstitusi (MK) menyita perhatian publik.
Praktisi hukum Mohammad Hisyam Rafsanjani menilai Kejaksaan memiliki kewenangan konstitusi untuk melakukan penyelidikan hingga penuntutan kasus tindak pidana korupsi (tipikor).
BACA JUGA: Wewenang Kejaksaan Digugat ke MK, GP Anshor Nilai Perang Lawan Korupsi Berhenti
Sebab, tugas itu secara tersirat tertuang di Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.
Menurutnya, kewenangan konstitusional Kejaksaan dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tipikor memang terlihat agak sumir karena tidak diatur secara eksplisit di dalam UUD 1945.
BACA JUGA: Jika Kewenangan Kejaksaan Diamputasi, Anggota DPD RI Ramal Korupsi Merajalela
Namun, masuk ke dalam fungsi-fungsi badan kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.
"Ketentuan kewenangan Kejaksaan dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tipikor diatur lebih lanjut di dalam UU (Undang-Undang) Kejaksaan," ujar tutur Hisyam dalam keterangannya, Jumat (16/6).
BACA JUGA: Wilayah Luas, Kejaksaan Dinilai Paling Siap Mengusut Korupsi
Hisyam menuturkan kewenangan mengusut kasus rasuah juga dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri.
Hal tersebut tertuang dalam UU masing-masing.
Oleh karena itu dalam praktik ketatanegaraan (konvensi ketatanegaraan), Polri, kejaksaan, dan KPK mempunyai fungsi supervisi dan/atau koordinasi dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terkait proses penegakkan hukum tipikor.
Meskipun demikian, Peradi itu mengingatkan, proses penegakan hukum tipikor yang dilakukan ketiga aparat penegak hukum (APH) ini harus tetap mengedepankan prinsip berkeadilan dan kepastian hukum, yang dimandatkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
"Peningkatan proses hukum (due process of law) dari penyelidikan kepenyidikan dan kepenuntutan harus terpenuhinya minimal 2 alat bukti, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 terkait frasa 'bukti permulaan', 'bukti permulaan yang cukup', 'bukti yang cukup'," tutur Hisyam.
Ketua Bidang Hukum Kaukus Muda Betawi itu menambahkan pihak-pihak yang merasa diperlakukan tidak adil oleh APH dalam pengusutan kasus korupsi dapat melakukan praperadilan.
Dengan demikian, prinsip check and balances antara kewenangan negara yang diberikan kepada aparatur penegak hukum (APH).
"Dalam hal ini Kejaksaan dengan hak warga negara, akan mencerminkan rasa keadilan serta menjunjung tinggi prinsip dasar hak asasi manusia (HAM) di tengah-tengah masyarakat dalam memberantas tindak pidana korupsi," pungkas Hisyam.
Seperti diketahui seorang advokat Yasin Djamaludin mengugat kewenangan jaksa menyidik kasus pidana korupsi ke Mahkamah Konstitusi.
Permohonan uji materi itu bernomor 28/PUU-XXI/2023.
Adapun pemohon dalam Petitum permohonan meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) Khusus frasa "atau kejaksaan", Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa "atau kejaksaan", dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa "dan/atau kejaksaan" UU KPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Permohonan itu ditujukan untuk sejumlah pasal yang dinilai inkonstitusional, seperti Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Kejaksaan dinilai menjadi superpower, karena memiliki kewenangan lebih, selain melakukan penuntutan jaksa bisa juga sekaligus melakukan penyidikan.
Pemberian wewenang jaksa sebagai penyidik dalam Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan telah membuat jaksa dapat sewenang-wenang dalam melakukan proses penyidikan.
Karena prapenuntutan atas penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dilakukan sekaligus oleh jaksa juga, sehingga tidak ada kontrol penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dari lembaga lain.(mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul