Khofifah

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Minggu, 23 Mei 2021 – 12:04 WIB
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Foto: ANTARA/HO-Humas Pemprov Jatim

jpnn.com - Perayaan ulang tahun Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa (19/5), viral, jadi heboh.

Warganet ramai riuh rendah mengomentari acara yang dilakukan di rumah dinas gubernur itu.

BACA JUGA: Khofifah Angkat Bicara Terkait Video Viral Perayaan Ulang Tahunnya

Plh. Sekdaprov Heru Tjahjono mengatakan acara itu adalah "surprise party"’ yang tidak diketahui oleh Khofifah, dan murni inisiatif Heru.

Khofifah juga sudah meminta maaf. Namun, api tidak mudah padam. Malah sebaliknya makin berkobar dan menjadi amunisi politik untuk menyerang Khofifah.

BACA JUGA: Penjelasan Plh Sekdaprov Jatim soal Pesta Ultah Mbak Khofifah Diduga Jadi Kerumunan

Publik dan warganet belum bisa menerima bahwa acara itu tidak sengaja.

Pemerintah Provinsi Jatim sudah membuat klarifikasi bahwa acara itu bukan pesta.

BACA JUGA: Perayaan Ultah Khofifah Diduga Mengabaikan Protokol Kesehatan, Ternyata ini Awal Mulanya

Namun, persoalaannya bukan sekadar soal penerapan prokes, tetapi soal sense of crisis.

Semua alasan yang disampaikan sudah cukup masuk akal. Katanya gubernur tidak tahu acara itu, dan dia datang ke acara sudah lewat jam 20.00 malam, dan tidak ada acara nyanyi-nyanyi.

Semuanya masuk akal. Namun, ketika publik menyoal masalah kepekaan, di situlah masalah menjadi runyam.

Ada pesta makan-makan, ada acara santunan kepada anak yatim piatu yang memang menjadi kebiasaan Khofifah di setiap acara apapun.

Namun, ada juga penyanyi Katon Bagaskara yang datang. Bahwa Katon adalah sahabat Sekda Heru, itu urusan lain.

Banyak kejadian kerumunan yang dibubarkan dengan paksa oleh polisi dan satgas. Anak-anak muda yang nongkrong di kafe dibubarkan karena jam malam.

Warung kopi yang buka lewat batas jam juga diminta tutup. Banyak juga resepsi pernikahan yang dibubarkan dengan paksa.

Beberapa hari sebelum ultah Khofifah ini sebuah upacara wisuda sarjana sebuah perguruan tinggi di Mojokerto dibubarkan dengan paksa oleh polisi.

Acara wisuda tengah berlangsung, dan wisudawan naik ke pangung untuk menerima ijazah dengan pakaian toga lengkap.

Di tengah-tengah acara polisi datang, berbicara di mike, dan memerintahkan semua yang hadir untuk bubar. Seketika acara bubar dan polisi memanggil penanggung jawab acara.

Tindakan tegas semacam ini tentu mendapat apresiasi, meskipun ada juga yang menganggapnya berlebih-lebihan.

Namun, aturan harus ditegakkan tanpa ada diskriminasi. Siapa pun seharusnya diperlakukan sama.

Masyarakat masih prihatin karena selama Lebaran kemarin tidak bisa melakukan mudik.

Larangan mudik yang diterapkan dengan sangat ketat membuat masyarakat harus berpikir seribu kali sebelum nekat menerbos barikade polisi.

Umumnya masyarakat memilih untuk patuh dan tinggal di rumah. Bahwa ada sekelompok orang yang nekat menyerobot barikade, itu adalah hal yang bisa dimaklumi karena banyak di antara mereka yang sudah bertahun-tahun tidak mudik.

Toh, secara umum masyarakat mematuhi larangan mudik itu.

Acara Idulfitri yang seharusnya menjadi momen istimewa untuk bersilaturrahim juga diawasi dengan ketat.

Salat Id tidak boleh di masjid yang tertutup dan jumlahnya maksimal harus di bawah kapasitas normal. Salat Id di tempat terbuka pun tidak boleh terlalu lama.

Halalbihalal hanya boleh dilakukan di areal salat Id dalam waktu yang terbatas.

Selama Ramadan berbagai kegiatan keagamaan juga dibatasi dengan ketat. Salat tarawih dibatasi kapasitasnya dari kapasitas normal masjid. Pelaksanaan salat juga tidak boleh terlalu lama.

Ceramah Ramadan yang biasanya menjadi bagian dari salat tarawih di banyak masjid terpaksa ditiadakan demi menjaga prokes.

Kalau di tahun-tahun sebelumnya masyarakat kaget karena ada tarawih yang viral karena ngebut 23 rakaat diselesaikan dalam waktu tujuh menit, maka tahun model tarawih ngebut itu terjadi di hampir semua masjid.

Tentu tidak sengebut 23 menit dalam tujuh menit, tetapi secara umum pelaksanaan tarawih tahun ini lebih cepat dibanding sebelum pandemi.

Malam takbiran yang biasanya menjadi ajang dakwah dengan pelaksanaan takbir keliling, kali ini juga dilarang.

Polisi dan satgas sangat tegas mengadang rombongan takbir keliling yang nekat. Takbiran di masjid pun dibatasi waktunya sampai maksimal jam 21 00.

Dalam tradisi Lebaran biasanya masjid-masjid banyak yang melakukan takbiran sampai malam sebagai tanda kebahagiaan dan kemenangan. Tahun ini terasa sepi karena masjid-masjid sudah tutup sebelum malam.

Halalbihalal yang menjadi tradisi khas umat Islam Indonesia juga dilarang total. Biasanya, halalbihalal berlangsung selama sebulan penuh sampai selesai bulan Syawal.

Itulah sederetan keprihatinan yang dirasakan masyarakat selama Ramadan dan Idulfitri tahun ini.

Masyarakat patuh meskipun dengan keterpaksaan. Masyarakat ingin agar pandemi ini cepat berlalu dan hidup menjadi normal lagi.

Masyarakat rela mengorbankan kerinduan untuk pulang kampung demi untuk menjaga supaya tidak ada transfer virus dari kota ke kampung. Masyarakat rela berkorban apa saja supaya semua segera balik ke normal.

Masyarakat menginginkan juga agar elite-elite pemerintahan punya kesadaran krisis, bahwa pandemi belum selesai, dan semua harus sama-sama prihatin dan menahan diri.

Dalam konteks seperti itulah acara ulang tahun Khofifah terasa mencederai hati masyarkat, karena terlihat tidak ada empati di situ. Tidak ada rasa krisis di situ. (*)

Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler