jpnn.com, JAKARTA - Direktur Center for Energy Policy Muhammad Kholid Syeirazi mengatakan reformasi kelembagaan sektor migas Indonesia pascareformasi terbukti gagal. Tata kelola berbasis UU Migas No. 22 Tahun 2001 menandai kemunduran sektor migas nasional.
Hal itu disampaikannya pada sidang promosi doktor bidang Ilmu Administrasi, Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia, Selasa (2/7/2024).
BACA JUGA: RDP Komisi VII: Hanya Produksi Migas Pertamina yang Meningkat
Dalam disertasi berjudul “Rekonstruksi Desain Kelembagaan dan Fiskal Hulu Migas Indonesia: Moderasi Kepentingan Multi-stakeholder dalam Paradigma Administrasi Publik,” Kholid menggunakan empat indikator untuk melihat kinerja tata kelola terhadap industri dan pembangunan.
Yakni kinerja teknis dan operasional, kontribusi ekonomi, partisipasi NOC, dan dampak sosial.
BACA JUGA: Skema Cost Recovery Dinilai Lebih Bisa Mendorong Investasi Migas
Berdasarkan beberapa indikator ini, periode UU Pertamina No. 8/1971 menandai puncak industri migas nasional, periode setelah itu menandai kemundurannya.
Ini ditunjukkan oleh cadangan dan produksi yang merosot, kontribusi ekonomi yang menurun, dan dampak sosial yang melemah.
BACA JUGA: Tinjau Fasilitas Pipa Gas Cisem, Direktur Tekling Ditjen Migas Tekankan Hal Penting Ini
“Di era Orde Baru, uang minyak menjelma menjadi ribuan Puskesmas, ribuan SD Inpres, dan pembangunan sektor pertanian yang membuat Indonesia meraih swasembada beras. Di era Reformasi, uang minyak habis tergerus untuk membayar subsidi BBM yang tidak tepat sasaran,” kata Kholid.
Hanya satu indikator yang membaik di era tata kelola baru, yaitu kenaikan porsi Pertamina terhadap produksi.
“Namun, ini tidak lahir dari mekanisme pasar, melainkan buah dari afirmasi Pemerintah dalam alih kelola blok-blok migas terminasi. Dalam paradigama administrasi publik, ini adalah buah dari tindakan NWS (Neo-Weberian State) bukan NPM (New Public Management) seperti dianut tata kelola pemisahan fungsi,” lanjut Kholid.
Kholid menyarankan revisi UU Migas dipercepat untuk memberi kepastian hukum industri migas. Dua opsi desain kelembagaan yang diusulkan adalah model penguasaan negara melalui NOC (National Oil Company) dengan dua NOC dan dengan satu NOC.
Opsi dua NOC terdiri dari BUMN Migas non-operator dan BUMN Migas operator. Ini seperti pola Norwegia dan Brasil yang membentuk Petoro dan Statoil serta Petrobras dan Petrosal.
BUMN Non-Op bisa dibentuk baru atau dengan merombak Status SKK Migas menjadi BUMN Non-Op. Sementara BUMN Op adalah Pertamina di bawah subholding PHE. Sementara opsi satu NOC mengandaikan peleburan sumber daya SKK Migas ke Pertamina dan pembentukan satu subholding baru yang membidangi manajamen kontraktor.
Jika opsi ini dipilih, Pertamina dapat dirombak menjadi Non-Listed Public Company untuk menaikkan aspek good governance. Dilihat dari aspek governansi, opsi NOC-dominated model dengan dua NOC menjadi pilihan yang paling feasibel dan memenuhi aspirasi multi-stakeholder.
Fitur yang perlu ditambahkan dalam dua model ini adalah kemudahan bisnis, penyederhanaan perizinan, serta pembentukan Petroleum Fund Management untuk menampung dana minyak sebagai tabungan jangka panjang dalam rangka mendukung program intensifikasi, konservasi, dan diversifikasi energi.
Dalam desain fiskal, Kholid mengusulkan PSC dengan instrumen fiskal progresif yang disebut dengan sliding scale dengan parameter yang disederhanakan yaitu produksi, biaya, dan profitabilitas.
Di bawah bimbingan Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ dan Dr. Muh. Azis Muslim, M.Si sebagai Promotor dan Kopromotor, disertasi ini mempunyai implikasi teoritis dan praktis. Secara teoritis, reformasi kelembagaan ala NPM, yang tertuang dalam desain pemisahan fungsi di sektor minyak, terbukti gagal.
Kegagalan ini menambah daftar panjang kritik atas kegagalan reformasi berbasis liberalisasi ala NPM. Secara praktis, penelitian ini berimplikasi terhadap perubahan organisasi jika diadaptasi ke dalam kebijakan yaitu (1) pembubaran SKK Migas, (2) perombakan status Pertamina menjadi Non-Listed Public Company (NLPC), dan (3) pembentukan Petroleum Fund Management.(dkk/jpnn)
Redaktur : Budianto Hutahaean
Reporter : Muhammad Amjad