jpnn.com - Kehebohan yang ditimbulkan oleh youtuber Muhammad Kece berakhir dengan penangkapan.
Setelah beberapa hari menimbulkan kontroversi karena unggahannya yang dianggap melecehkan Islam, Muhammad Kece ditangkap polisi, dinyatakan sebagai tersangka, dan langsung ditahan.
BACA JUGA: Bareskrim Tangkap Muhammad Kece, Novel PA 212 Sebut Nama Ade Armando Hingga Abu Janda
Banyak kalangan yang merasa lega dengan penangkapan ini. PBNU mengapresiasi kerja cepat polisi dan mengingatkan masyarakat untuk memercayakan kasus ini kepada proses hukum.
PP Muhammadiyah menyatakan bahwa kasus semacam Kece masih mungkin terjadi lagi, karena teknologi informasi sekarang dipakai secara meluas oleh semua kalangan masyarakat.
BACA JUGA: Muhammad Kece Ditangkap, HNW: Jangan Ada Dalih Gangguan Jiwa
Konten-konten yang beraneka ragam bisa diakses secara mudah dan berkelebihan, abundant, dalam waktu 24 jam nonstop.
Selain kasus Kece, Polri masih menunggak satu kasus lain, yaitu Joseph Paul Zhang, yang mengaku sebagai nabi ke-26.
BACA JUGA: Wasekjen PA 212: Kalau Klik di Google Pasti yang Keluar FPI
Zhang masih mengunggah konten-konten yang dianggap melecehkan Islam. Sudah banyak yang memprotes dan melaporkannya ke polisi. Namun, Zhang belum bisa ditangkap sampai sekarang.
Zhang lahir dan besar di Salatiga, Jawa Tengah, kemudian pindah ke Jerman. Dari sana dia mulai melancarkan kampanye dengan unggahan-unggahan kontroversial yang dianggap anti-Islam.
Ketika unggahannya menjadi viral dan menimbulkan kehebohan, Zhang lari dan bersembunyi. Upaya Polri untuk melibatkan Interpol belum membuahkan hasil.
Dari tempat persembunyiannya di Eropa, Zhang masih tetap berkomunikasi dengan jemaahnya yang tersebar di seluruh dunia. Hal itu terlihat dari narasi pada setiap unggahannya. Dia selalu menyapa jemaah yang tersebar mulai dari Indonesia, Asia, Eropa, dan Amerika.
Sebelum kasusnya diributkan oleh beberapa kalangan Islam di Indonesia, Zhang tidak dikenal oleh siapa pun. Unggahannya paling-paling hanya ditonton puluhan orang saja.
Namun, begitu mendapat reaksi dari para pemuka Islam, dan muncul desakan agar dia ditangkap, kontan dia mendapat durian runtuh. Kanal Youtube-nya meledak dan puluhan ribu bahkan ratusan ribu orang menonton unggahannya.
Endorsement gratis ini juga dinikmati oleh Muhammad Kece. Sudah cukup lama dia mengunggah konten di YouTube, tetapi yang menonton cuma sejumlah jari.
Namun, begitu ada protes dari PBNU dan MUI, kanal Muhammad Kece langsung diserbu penonton.
Unggahan-unggahannya langsung viral, menyebar ke mana-mana, termasuk ke berbagai grup Whatsapp.
Muhammad Kece dan Paul Zhang menjadi ‘’instant hit’’ dan menjadi selebritas baru medsos. Unggahannya langsung diserbu puluhan ribu penonton sekali tayang. Semua youtuber pasti bermimpi unggahannya ditonton puluhan ribu orang.
Inilah berkah dan bencana dunia digital. Teknologi selalu membawa dua wajah, pisau bermata dua. Di masa lalu pengajian seorang ustaz atau guru mengaji mungkin akan didengar oleh puluhan santri saja.
Almarhum K.H Zainuddin MZ menjadi mubalig paling fenomenal dan dikenal dengan julukan ‘’Dai Sejuta Ummat’’. Ceramah-ceramahnya melalui televisi dan radio ditonton dan didengarkan oleh jutaan umat.
Khalayak yang mendengarkan ceramah-ceramah Kiai Zainuddin terbatas dalam teritorial Indonesia yang terjangkau oleh siaran televisi saja, karena televisi teresterial jangkauannya masih sangat terbatas.
Sesekali Kiai Zainuddin diundang memberi ceramah kepada diaspora Indonesia di luar negeri. Ketika itulah Kiai Zainuddin goes international secara fisik dan analog.
Di masa 1990-an sebuah pengajian di kampung yang dihadiri oleh seribu jemaah saja sudah pasti akan disebut sebagai ‘’Pengajian Akbar’’.
Sekarang, di era digital, pengajian Gus Baha ditonton oleh ratusan ribu orang sekali tayang. Gaya peci Gus Baha yang mendongak menjadi ikon anak-anak muda muslim di seluruh dunia.
Pengajian Gus Baha diikuti secara streaming di seluruh dunia. Kutipan-kutipannya dengan logat khas Jawa Tengah dan idiom-idiom pesantren yang kental, menjadi viral setiap saat.
Ustaz Abdul Somad, Ustaz Dasad Latief, Gus Nadjih Maimoen, Buya Yahya, Ustaz Adi Hidayat, Ustaz Khalid Basalamah, Ustaz Hanan Attaqi, dan sebutlah semua ustaz zaman now. Mereka semua mendapatkan berkah dari internet, sehingga bisa melakukan dakwah digital dengan murah dan efektif, serta menjangkau puluhan juta umat dalam sekali tayang.
Ceramah para ustaz dan kiai digital ini tidak hanya didengar dan disaksikan di Indonesia, tetapi di seluruh dunia.
Diaspora Indonesia yang tersebar di seluruh dunia bisa melakukan streaming secara live, mengikuti pengajian secara langsung, berdialog secara langsung dengan sang kiai, di mana pun mereka berada.
Gus Nadjih yang ada di Rembang, Jawa Tengah bisa memberikan pengajian Al-Hikam secara live dan disimak oleh santri yang ada di Johanesburg, Kairo, maupun Washington DC.
Para santri digital ini tumbuh di mana-mana dan menjadi jaringan santri digital yang kuat dan solid. Mereka menjadi komunitas santri digital global baru yang menjadi bagian dari ‘’the network society’’ atau masyarakat berjaringan (Castells, 1996).
Digitalisasi dakwah menjadi fenomena mutakhir yang membawa berkah bagi dunia dakwah. Fenomena ini tidak pernah ada dalam sejarah dakwah Islam sepanjang 15 abad perkembangan Islam.
Hal ini menimbulkan kegalauan di kalangan tradisionalis, yang mengkhawatirkan lunturnya tradisi pengajaran Islam tradisional seperti yang selama ini hidup di pesantren.
Ada kekhawatiran munculnya santri digital ini akan menimbulkan trivialisasi, pendangkalan, pemahaman Islam.
Ajaran Islam memang menyebar dengan sangat masif. Namun, penyebaran itu hanya bersifat kulit saja tanpa pendalaman isi. Para tradisionalis mengkhawatirkan, pengajian digital tidak akan mutawatir, tidak menyambung kepada sumber yang otoritatif.
Ini adalah reaksi wajar atas perubahan sosial. Di mana pun dan kapan pun, teknologi akan membawa perubahan kecil sampai revolusioner. Perubahan sosial itu akan membawa konsekuensi perubahan tradisi, yang pada akhirnya akan menghilangkan otoritas elite terhadap publik.
Di masa lalu, para kiai di lingkungan tradisional menjadi elite sosial yang menjadi pusat untuk belajar dan bertanya.
Seluruh perikehidupan, mulai dari mencari jodoh sampai mencari pekerjaan, akan ditanyakan kepada kiai.
Kiai kampung, dengan otoritasnya yang tinggi, akan menjadi rujukan kebenaran, dan menjadi opinion leader dan opinion maker yang sangat powerful.
Dengan munculnya teknologi digital otoritas itu berpindah dari para kiai tradisional kepada ‘’K.H Google’’.
Persoalan agama dan persoalan sosial apa pun akan ditanyakan kepada Kiai Google, dan jawaban yang diterima nyaris diterima tanpa pertanyaan.
Kalau dulu masyarakat desa tunduk, tawaduk, dan cium tangan kiai, sekarang mereka tunduk dan tawaduk dengan penuh takzim kepada Kiai Google, meskipun tanpa cium tangan.
Kiai Google dan para kiai digital itu mengancam pengaruh kiai tradisioanal. Teknologi digital menjadi ancaman terhadap otoritas kiai tradisional.
Hal ini wajar, karena biasanya para kiai termasuk dalam kategori ‘’laggard’’, atau lambat dalam menerima difusi teknologi (Rogers, 1983).
Laggard adalah orang-orang terakhir yang menerima dan mengadopsi perubahan teknologi, dan sering diledek sebagai gaptek, atau gagap teknologi.
Namun, kelompok ini lambat laun akan menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi, dan mengadopsinya dengan melakukan penyesuaian.
Konsep mengaji sorokan yang menjadi ciri khas pesantren, akan berubah menjadi mengaji sorokan digital yang tetap mutawatir, meskipun sang santri tidak berhadapan langsung dengan sang kiai.
Teknologi selalu membawa berkah dan bencana. Berkah digital sudah sangat terasa untuk mengglobalkan dakwah Islam. T
Namun, bencana digital, seperti kasus Muhammad Kece dan Joseph Paul Zhang, akan selalu muncul sampai kapan pun. Inilah tantangan bagi para kiai dan santri digital zaman now. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Orang Tua Diizinkan Meminta Foto Anak Dihapus dari Hasil Pencarian Google
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror