jpnn.com - Penggunaan bioenergi atau energi terbarukan yang berasal dari bahan baku organik terus digaungkan di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Indonesia digadang-gadang mampu menghasilkan BBM yang 100 persen berasal dari minyak sawit alias B100.
BACA JUGA: Dukung Energi Hijau, 146 Kapal PIS Gunakan Biodiesel
Direktur PT Fumin Kingdo Bersaudara Yudhi Fu mengatakan pihaknya menggandeng Henan Hi-tech Kingdo Industrial untuk membangun pabrik B100 di Bangka yang dapat memanfaatkan limbah kelapa sawit dengan lebih baik untuk menghasilkan produk yang lebih kompetitif.
Henan Hi-tech Kingdo Industrial adalah salah satu perusahaan biodiesel di China.
BACA JUGA: BUMD Provinsi Anhui Diminta Membangun Pabrik Biodiesel di Kaltim
Tidak hanya menjalankan pabrik biodiesel di China, tetapi juga menguasai teknologi canggih dan matang dalam mengubah limbah minyak kelapasawit menjadi biodiesel energi baru.
"B100 kami tidak hanya dapat digunakan di dalam negeri, tetapi juga diekspor ke Amerika dan Eropa, karena sejalan dengan peraturan energi terbarukan mereka," kata Yudhi dalam keterangannya, Jumat (30/8).
BACA JUGA: Biodiesel B35 Diterapkan, Gaikindo: Giliran Jepang Belajar ke Indonesia
Yudhi menjelaskan bahwa Indonesia memiliki sumber daya limbah kelapa sawit yang cukup.
Pasalnya, Indonesia memproduksi minyak kelapa sawit sebanyak 55,8 juta ton per tahun, terdapat 2,2 juta ton minyak kelapa sawit yang terbuang.
Sebelum pabrik-pabrik CPO di Indonesia membuangnya sebagai sampah. Hal ini tidak hanya menyebabkan pencemaran lingkungan, tetapi juga pemborosan sumber daya.
"Dalam beberapa tahun terakhir pabrik-pabrik di Cina mengimpor banyak limbah minyak kelapa sawit dari Indonesia sebagai bahan baku produksi biodiesel, karena biodiesel dari limbah minyak kelapa sawit diakui sebagai produk yang dapat mengurangi emisi karbon, sehingga lebih dari 90% biodiesel Cina diekspor ke Amerika dan Eropa," tuturnya.
Yudhi menjelaskan penggunaan B100 memiliki efek pengurangan emisi karbon yang signifikan.
Indonesia, salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, telah menetapkan target pengurangan emisi sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri, atau 43,2 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
"B100 akan berkontribusi dalam mewujudkan target pengurangan emisi," ujarnya.
Pabrik biodiesel lainnya di Indonesia menggunakan minyak sawit olahan sebagai bahan baku untuk memproduksi biodiesel.
Namun, dikatakan Yudhi, pabrik biodieselnya di Bangka akan menggunakan limbah minyak sawit (POME) dari pabrik CPO untuk memproduksi biodiesel.
Menurutnya, harga minyak sawit ini jauh lebih murah daripada minyak sawit olahan.
"Selain itu, kami menggunakan teknologi yang jauh lebih maju dari Cina untuk lebih menurunkan biaya produksi. Oleh karena itu, diperkirakan B100 kami memiliki keunggulan harga dibandingkan dengan biodiesel yang sudah ada," katanya.
"Saat ini, pabrik-pabrik di Indonesia menggunakan minyak kelapa sawit yang telah dimurnikan untuk memproduksi biodiesel. Pabrik kami akan menggunakan limbah minyak kelapa sawit dari pabrik CPO dan bahkan minyak goreng bekas dari restoran. B100 kami akan lebih murah daripada biodiesel dari pabrik-pabrik lain di Indonesia, setidaknya tidak lebih mahal dari petro-diesel," tambahnya.
Yudhi menegaskan bahwa penggunaan B100 dapat membantu mengurangi impor minyak mentah. Ditegaskannya, minyak kelapa sawit adalah sumber daya terbarukan.
"Dengan demikian, B100 merupakan energi terbarukan yang bermanfaat bagi keamanan energi kita di masa depan," ujarnya.
Yudhi pun yakin pemerintahan Prabowo-Gibran akan mendukung program B100 tersebut.
Apalagi, penggunaan B100 diyakini dapat menghemat finansial negara sebesar Rp 309 triliun.
"Saya sangat yakin (pemerintah mendatang mendukung), karena Prabowo telah menyatakan di berbagai kesempatan dan memiliki program penghematan hingga Rp 309 triliun. Jadi ini akan mengurangi beban anggaran negara serta meningkatkan lapangan kerja dan industri dalam negeri," pungkasnya. (dil/jpnn)
Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Aristo Setiawan