jpnn.com, SEOUL - Banyak kalangan mulai mempertanyakan ancaman serangan nuklir Korea Utara terhadap Pulau Guam.
Jika sesuai dengan pernyataan Korut melalui kantor beritanya, KCNA, berarti sudah waktunya sang pemimpin, Kim Jong-un, memberikan keputusan.
BACA JUGA: Nuklir Korut Mengancam, Ada Panduan Untuk Warga Guam
Akankah menyerang Guam sebagai aksi balasan karena mendapat sanksi dari AS awal bulan lalu, atau malah melunak.
AS sendiri berjanji memberikan solusi yang tidak melibatkan senjata di Semenanjung Korea.
BACA JUGA: Jika Misil Diledakkan, Berbaring dan Tutup Kepala Kalian!
Namun, hingga kini, belum ada pernyataan apa pun dari Korut.
Meski tetap mempersiapkan diri dengan berbagai sistem pertahanan, Korsel mengajak Pyongyang mencari jalan keluar tanpa konflik.
BACA JUGA: Khawatir Serangan Korut, Jepang Siapkan Penghancur Misil
''Saya rasa, kita tidak lebih dekat dengan perang jika dibandingkan pekan lalu. Tapi, kita memang lebih dekat dengan perang ketimbang satu dekade lalu,'' kata H.R. McMaster, penasihat keamanan nasional AS, dalam wawancara Minggu (13/8).
Pekan lalu, ketegangan AS-Korut mencapai puncaknya. Yakni, saat Korut menarget Pulau Guam dalam serangan rudal bulan ini dan AS mengaku siap membalas.
Setelah Jepang, Korsel, dan Guam menyiagakan sistem pertahanan mereka guna meminimalkan dampak serangan rudal Korut, ketegangan justru berkurang.
Mike Pompeo, direktur Central Intelligence Agency alias CIA, menyebut ancaman serangan rudal Korut sebagai provokasi.
''Uji coba rudal mungkin akan dilakukan dalam waktu dekat, tapi bukan serangan rudal yang memicu perang nuklir,'' tegasnya.
Kepada Fox News Sunday, Pompeo mengaku belum menerima laporan intelijen yang menyebutkan adanya peningkatan aktivitas di fasilitas nuklir Korut.
Biasanya, jika Korut hendak meluncurkan rudal balistik atau mengujicobakan nuklir, AS menerima peringatan dari intelijen.
Tapi, saat ini semuanya masih normal. ''Situasi yang kita hadapi saat ini sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda tersebut,'' katanya.
Terpisah, Menteri Pertahanan AS Jim Mattis dan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson juga menepis kemungkinan pecahnya perang di Semenanjung Korea.
''AS lebih memilih sanksi diplomatik dan ekonomi untuk mencapai tujuannya. Yakni, perlucutan nuklir Korut dan penghentian program rudal balistiknya,'' kata Mattis sebagaimana dilansir Wall Street Journal.
Kendati demikian, menurut Tillerson, seluruh kebijakan yang ditempuh AS dalam krisis nuklir Korut tersebut didukung penuh oleh militer.
Maka, jika seluruh opsi telah dicoba dan tidak ada hasil yang signifikan, bisa jadi Washington memilih opsi yang melibatkan militer. Namun, itu tidak identik dengan serangan.
''Saya yakin AS akan menanggapi situasi di Semenanjung Korea dengan penuh tanggung jawab dan bijaksana. Tidak perlu ada perang lagi,'' tegas Presiden Korsel Moon Jae-in dalam rapat dengan inner circle-nya kemarin.
Meskipun begitu, Pyongyang akan tetap menjalankan agenda latihan militer gabungan dengan AS pekan depan. Padahal, biasanya, aktivitas itu memicu kemarahan Korut.
Sementara itu, masyarakat Guam mulai mempersiapkan mental demi menghadapi aksi Korut berikutnya.
Minggu Pastor Paul Gofigan membuka homilinya di Catholic Dulce Nombre de Maria Cathedral Basilica dengan pertanyaan seputar serangan nuklir.
''Jika kita diberi waktu 14 menit untuk memutuskan apa yang akan kita lakukan dengan hidup kita, apakah kita bisa?'' tanyanya.
Dia merujuk pada estimasi waktu yang diperlukan rudal Korut untuk menghantam Guam. (AFP/Reuters/CNN/hep/c19/any/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Begini Cara Korsel Memempersiapkan Warganya Menghadapi Serangan Korut
Redaktur & Reporter : Natalia