jpnn.com - DI tengah tekanan ekonomi global dan pengetatan moneter, perbankan Indonesia masih mampu melaju kencang. Sebab, pangsa pasar di tanah air sangat besar dan belum banyak tergarap. Bisnis perbankan pun dinilai banyak pihak tetap mencetak untung besar.
*****
BACA JUGA: Enam Bandara AP I Siap Layani Keberangkatan Haji 2014
Sejak pertengahan 2013, Bank Indonesia (BI) mulai menaikkan suku bunga acuan (BI rate). Secara bertahap, BI rate yang sempat berada di level 5,75 persen naik hingga saat ini menyentuh 7,5 persen. Salah satu tujuan menaikkan BI rate tersebut adalah mengendalikan laju kredit perbankan.
Industri dengan aset 78,5 persen dari total lembaga keuangan itu dinilai terlampau agresif menyalurkan kredit. Karena itu, pembiayaan sektor riil lambat laun diperlambat. Semula, pertumbuhan mencapai lebih dari 21 persen. Kini akselerasinya ditekan hingga 16–17 persen. Tidak pelak, kondisi perbankan saat ini dihadapkan pada situasi persaingan dana yang ketat.
BACA JUGA: Manjakan Para Calon Tamu Allah dengan Layanan Istimewa
Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah menuturkan, beberapa bank terlihat masih mendahulukan kenaikan kredit. Dalam upaya meningkatkan kredit, bank harus mencari dana lebih besar. Caranya, mengerek bunga deposito agar nasabah tertarik menyimpan dana.
Umumnya, suku bunga deposito yang meningkat signifikan tersebut ditujukan untuk nasabah dengan dana lebih dari Rp 25 miliar. ’’Itu menunjukkan beberapa bank masih mendahulukan keinginannya menjaga pertumbuhan kredit. Padahal, kami sudah mewanti-wani jangan sampai kredit naik tinggi saat ekonomi melambat. Nanti NPL (rasio kredit bermasalah) naik,’’ tuturnya.
BACA JUGA: Rambah Pasar Global, Telkom Gandeng Operator asal Australia
Namun, dia menilai perang bunga simpanan tidak akan terjadi berkepanjangan. Bunga diprediksi stabil di level tertentu. ’’Tentu kami bakal memantau. Kami juga tak akan diam melihat suku bunga naik terus tak terkendali, lalu bank masih mengejar kredit,’’ jelasnya.
Memang, selama ini bank cenderung mengorbankan margin. Margin bank diturunkan karena bank ingin mengejar dana dengan menambah atau memberikan insentif kenaikan bunga. Padahal, bunga pinjaman belum naik. Kenaikan bunga pinjaman punya kecenderungan lebih lambat ketimbang kenaikan bunga simpanan.
’’Karena itu, beberapa bank tertekan kalau tidak mau menurunkan suku bunga deposito pada semester kedua. Apalagi kami masih melihat pertumbuhan kredit 15–17 persen dan seharusnya lebih rendah daripada semester pertama,’’ ujarnya.
Meski kinerja terus ditekan, perbankan di Indonesia masih menjanjikan kinerja cemerlang. Misalnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, net interest margin (NIM) atau keuntungan bank di dalam negeri sepanjang tahun lalu mencapai 4,89 persen. Posisi NIM tersebut jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura yang masing-masing 2,3 persen dan 1,5 persen. ’’Kita juga lebih unggul ketimbang NIM Filipina yang hanya 3,3 persen maupun Thailand 2,6 persen,’’ kata Direktur Pengawasan Bank OJK Slamet Edi Purnomo.
Untung besar itu, kata Slamet, masih terjadi meski industri perbankan domestik tengah tertekan. Per Februari lalu, NIM merosot 71 basis poin menjadi 4,18 persen. ’’Kami akan maintain kredit di 15–17 persen sehingga proyeksi kami NIM bakal terkontraksi,’’ jelasnya.
Di samping NIM tertinggi se-Asia, perbankan Indonesia sesungguhnya memiliki kinerja keuangan di atas rata-rata industri keuangan dunia. Hal itu terlihat dari return on assets (ROA) atau rasio profitabilitas dan return on equity (ROE) alias tingkat pengembalian modal. Merujuk pada dataBloomberg, di Amerika Serikat, misalnya, rata-rata ROA perbankan mencapai 1,60 persen. ROA di Eropa dan Asia Pasifik masing-masing adalah 1 persen dan 1,33 persen.
Namun, Indonesia berhasil membukukan ROA perbankan 2,50 persen. Secara teknis, ROA merupakan rasio keuntungan bersih setelah pajak yang dihasilkan dibandingkan dengan aset yang dimiliki perusahaan. Bukan hanya ROA, rata-rata ROE perbankan di Indonesia juga sangat tinggi, yakni menyentuh 19,90 persen. ROE adalah rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih yang dikaitkan dengan modal perusahaan.
Persentase ROE Indonesia berada jauh di atas posisi perbankan di Amerika Serikat. ROE hanya 13,60 persen. Eropa dan Asia Pasifik mencatat ROE masing-masing 11,80 persen dan 15,96 persen.
Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Gandjar Mustika memproyeksi, kinerja perbankan masih melesat. Alasannya, perekonomian Indonesia pada 2015–2025 sangat positif. Pada 2011–2014, produk domestik bruto (PDB) Indonesia berkisar USD 878 miliar, dengan PDB per kapita USD 3.550. Dalam periode tersebut, pertumbuhan ekonomi berada pada angka 6,4–7,5 persen.
Sebaliknya, proyeksi ekonomi Indonesia pada 2015–2025 bisa lebih tinggi ketimbang sebelumnya. PDB Indonesia diperkirakan mencapai USD 4,0 triliun hingga USD 4,5 triliun. PDB per kapita optimistis dapat tembus USD 14.250–USD 15.500. Pertumbuhan ekonomi 2015–2025 juga diprediksi menyentuh 8,0–9,0 persen.
’’Nah, sektor keuangan, realestat, dan jasa berkontribusi sekitar 7 persen dari total PDB. Kecenderungannya terus meningkat melalui peran perbankan sebagai kontributor utama,’’ terangnya.
Gandjar mengakui, jika dibandingkan dengan negara lain, perbankan di Indonesia dapat diandalkan. Dengan posisi kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) 19,8 persen; ROA 2,5 persen; serta ROE 19,8 persen, itu merupakan salah satu industri perbankan yang terbaik di regional.(gal/c14/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... SMGR Siap Terjun Bisnis Infrastruktur-Properti
Redaktur : Tim Redaksi