Kini, Alunan Ngaji para Santri tak Lagi Diganggu Suara Keras Dangdut Koplo

Kamis, 28 Mei 2015 – 05:28 WIB
Foto: Guslan Gumilang/Jawa Pos

jpnn.com - KAWASAN Putat Jaya berubah sejak 18 Juni tahun lalu. Sejak lokalisasi ditutup Pemkot Surabaya, tampilan Putat Jaya layaknya kampung pada umumnya.

 

---------------
Laporan Firdha Yunizar Ramadhani, Surabaya
--------------
Memang, ada puluhan rumah karaoke tak resmi yang beroperasi. Meski tak senyaring dulu, musik dangdut masih sering terdengar di sana.

BACA JUGA: Anggota Kopassus Ini Jadikan Tentara Brunei Lebih Hebat dari Malaysia dan Singapura

Di antara rumah karaoke itulah, terdapat sebuah pesantren. Namanya, Pesantren Yatim Dhuafa Jauharotul Hikmah. Anak-anak di lingkungan tersebut belajar mengaji di pesantren yang didirikan pada awal Februari 2008 itu.

BACA JUGA: Mahardhika Pratama, Peraih Gelar PhD di Usia 26

Kondisi pesantren tersebut jauh dari kesan mewah, berbeda dengan rumah di sekitarnya yang dihiasi lampu pendar disko warna-warni. Di rumah bercat krem itu, berjajar kitab suci Alquran.

Di depan teras rumah, ada tempat wudu khusus anak laki-laki. Untuk anak perempuan, disiapkan tempat wudu di dalam rumah. Ruang utama rumah dijadikan tempat belajar mengaji.

BACA JUGA: Ray Chaerudin, Latih Anjing-Kucing selama Sebulan untuk Adegan 20 Detik

Di samping kiri ada perpustakaan mini. Beberapa rak buku ukuran besar dan kecil tertata rapi. Rak tersebut berisi berbagai jenis buku. Mulai novel islami sampai biografi orang penting dunia.

Beberapa buku tampak dibaca anak-anak. Tangan-tangan kecil menjamah buku dengan sampul warna-warni itu. Jika waktu salat tiba, ruang yang tadinya sebagai tempat mengaji seketika berubah fungsi. Beralih menjadi ruang salat bagi anak-anak pesantren tersebut.

Karena ruang untuk mengaji terbilang sempit, ada tiga sifkelas. Dengan cara itu, 100 anak bisa tertampung. ”Jauharotul Hikmah ini tidak cukup besar untuk menampung anak-anak mengaji bersamaan,” ujar Muhammad Rofi’ Uddin, salah seorang pendiri pesantren.

Dia menyatakan, pendirian pesantren di tengah lokalisasi tidak lepas dari pro-kontra warga. Banyak sekali warga yang menuduh pesantren tersebut merupakan bagian dari teroris dan label buruk lain. Tetapi, pesantren itu terus bertahan. Bahkan, semakin besar dan semakin banyak santri yang mendaftar.

”Sebenarnya masih banyak orang tua baik yang hidup di lingkungan lokalisasi. Meski banyak orang tua yang nakal, mereka tetap menyuruh anaknya mengaji,” ungkap anak kedua H Mohammad Umar Abdul Azis, pendiri Masjid Baitul Hidayah dan Sekolah Bahrul Ulum, yang merupakan cikal bakal pesantren tersebut.

Sepeninggal sang ayah, Rofi’ bersama saudaranya, Mochamad Nu’man dan Mochamad Qomaruddin, mengembangkan lembaga dakwah tersebut.

Rofi’ yang pernah enam tahun nyantri di Ponpes Gontor itu menceritakan masa lokalisasi sedang jaya-jayanya. Setiap hari dari rumah-rumah di sekeliling pesantren tersebut terdengar lagu-lagu dangdut koplo yang memekakkan gendang telinga.

Sedangkan di pesantren, para santri tetap kukuh menahan kerasnya suara karaoke dan tawa canda dengan mengalunkan tiap bait ayat suci Alquran.

Jadilah perang antara hebohnya karaoke dan suara lantang anak-anak mengaji. ”Yang membuat gembira, anak-anak makin lama makin giat ngaji. Rupanya mereka terbiasa dengan keadaan seperti itu,” kata Rofi’.

Namanya anak-anak, ada kalanya bocah yang masih polos itu mengaji sambil bercanda. "Kadang disambung-sambung ngajinya dengan lagu dangdut karena karaokeannya memenuhi kampung,” ungkap suami Noer Endah itu, lantas terkekeh.

Untung, saat ini godaan seperti itu sudah berkurang. ”Anak-anak bisa lebih fokus mengajinya,” ujar pria lulusan Universitas Jember tersebut.

Tak dimungkiri, ada santri yang tidak kuat menahan godaan sekitarnya. Salah seorang santri putus sekolah dan putus mondok. ”Siska (bukan nama sebenarnya) tenggelam ke lembah hitam karena tinggal satu atap dengan salah seorang PSK Dolly,” tuturnya.

Padahal, kenang Rofi’, Siska merupakan siswi yang pintar mengaji. Berasal dari keluarga kurang mampu, pesantren menyekolahkannya dari SD sampai SMK. Tapi, kemudian gadis cantik tersebut tinggal bersama salah seorang PSK di rumah kos.

Dia teperdaya dengan godaan materi yang diperoleh mbak PSK. Jadilah Siska masuk ke lembah hitam dan akhirnya hamil. Pupus sudah masa depan Siska. Kini dia harus bergulat dengan kehidupan yang keras, menjadi ibu di usia muda.

Lain lagi dengan kisah Jaka (bukan nama sebenarnya). Jaka merupakan anak seorang warga di lingkungan lokalisasi. ”Jaka merupakan anak yang rajin mengaji, tetapi tiba-tiba menghilang dari kelas,” cerita Rofi’.

Semua pengajarnya sudah berusaha mencari dan menemui orang tua Jaka. Rupanya, Jaka mengakrabi mucikari dan PSK. Jadilah sekarang Jaka penuh tato dan tidak pernah berhenti menenggak minuman keras.

Menurut Rofi’, kondisi lingkungan memang menjadi poin penting dalam perkembangan anak. Jika lingkungannya buruk, harus ada penangkal yang buruk. Kalaupun tidak kuat sebagai pagar penangkal, pesantren itu digunakan sebagai media untuk mengenalkan sisi kebaikan yang seharusnya mereka nikmati.        

Saat dikunjungi Jawa Pos Senin (18/5), pesantren tersebut sedang mengadakan ujian kenaikan tingkat. Para santri didampingi ustad dan ustadah berkualitas. ”Semua guru memiliki sertifikat tilawati,” ujar Muhammad Nasikh, pengelola yang bertanggung jawab sebagai pembina harian pesantren tersebut.

Selain metode tilawati yang berbasis kelas dengan memakai alat peraga, pesantren itu mengadakan home visit mingguan. ”Anak-anak yang hidup di lingkungan eks lokalisasi butuh perhatian ekstra,” tegas Abdullah Izzien Husni, kepala pesantren.

Senja telah tiba, langit sore berganti malam. Azan Magrib berkumandang. Selesai salat berjamaah, anak-anak duduk rapi sambil berdoa. Malam itu, ditingkahi alunan lagu dangdut koplo, mereka mengucap salam, pulang ke rumah masing-masing. (*/c7/nda)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mengharukan...Tahu Para Imigran Itu Seiman, Langsung Beri Pertolongan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler