Mahardhika Pratama, Peraih Gelar PhD di Usia 26

Pakar Fuzzy System, Kini Ngajar di Sydney

Rabu, 27 Mei 2015 – 04:16 WIB
Dhika pulang kampung ke Surabaya sekali dalam setahun. Foto: Dinda Lisna Amilia/Jawa Pos

jpnn.com - Pada umumnya, seseorang selesai menuntaskan pendidikan strata-3 di usia kepala tiga. Mahardhika Pratama bisa menyelesaikan S-3 nya dari University of New South Wales, Australia, pada usia 26 tahun. Kini alumnus ITS itu menerima tawaran mengajar di University of Technology Sydney.

Laporan Dinda Lisna Amilia, Surabaya

BACA JUGA: Ray Chaerudin, Latih Anjing-Kucing selama Sebulan untuk Adegan 20 Detik

BERSANTAI di rumah bersama keluarga menjadi rutinitas Mahardhika Pratama selama Mei ini. Bulan ini, Dhika, panggilan Mahardhika, mengambil semua jatah cutinya selama 2015. Saat ditemui Jawa Pos di kediamannya di daerah Klampis, sulung dari dua bersaudara anak pasangan Bambang Tri Suharto dan Eny Hartati tersebut sedang menikmati waktu bersama keluarga.

’’Quality time bersama keluarga tidak perlu keluar rumah. Sesekali saya keluar untuk minum kopi saja,’’ ujar pencinta kopi itu.

BACA JUGA: Mengharukan...Tahu Para Imigran Itu Seiman, Langsung Beri Pertolongan

Dhika memang tidak bisa seenaknya pulang ke Surabaya. Dia terikat sebagai staf pengajar di University of Technology, Sydney, sejak Agustus 2014. Bahkan, kini dia sudah memegang permanent resident (visa permanen) Australia.

Keberadaan Dhika di Sydney memang memberi kontribusi. Laki-laki yang masih berusia 26 tahun tersebut mempunyai keahlian di bidang fuzzy system (sistem cerdas), yaitu salah satu konsentrasi di bidang teknik elektronika. Karena keahliannya itu, dia mendapatkan tawaran yang sesuai cita-citanya, yaitu menjadi dosen.

BACA JUGA: Ngeri! Dor...Dor...Dor...Imigran yang Banyak Omong Ditembaki Kapten Kapal

Untuk memperoleh kedudukan seperti sekarang, perjalanan alumnus SMPN 12 Surabaya tersebut dimulai saat dia kuliah S-1 jurusan teknik elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Saat itu dia dikenal sebagai mahasiswa yang rajin. Mengetahui hal tersebut, dia mendapat saran dari para dosennya untuk sering-sering membuat karya ilmiah.

Dhika yang menyadari mempunyai peluang lulus S-1 selama 3,5 tahun mulai rajin membuat karya ilmiah di semester keenam. Dia juga mulai mengikuti konferensi ilmiah yang biasa diikuti mahasiswa dan dosen. ’’Intensitas membuat karya ilmiah saat S-1 masih jarang, sekitar lima yang saya buat,’’ kata penggemar Presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid itu.

Mendekati lulus S-1, Dhika semakin menyadari passion-nya di bidang pendidikan. Dia ingin mempunyai pengalaman mengajar di luar negeri. Sementara itu, syarat menjadi dosen di luar negeri adalah harus menjadi S-3.

Dia pun ngebut melakukan persiapan bahasa Inggris saat itu juga. ’’Saat itu TOEFL saya hanya sekitar 570. Untuk kuliah S-2, harus di atas 550,’’ jelasnya, lantas tersenyum.

Setelah itu, Dhika mencari kampus yang mau menerimanya lewat beasiswa di luar negeri. Dia mulai mencari sebelum wisuda dan mendapatkan beasiswa S-2 jurusan computer control and automation di Nanyang Technological University (NTU) Singapore. ’’Proses pencarian beasiswa alhamdulilah lancar. Hanya sekitar dua bulan,’’ ujarnya.

Menjalani kuliah S-2 di NTU, Dhika menyadari satu hal. Saat sudah S-1, dia merasa paling tahu bidang yang dipelajarinya. Begitu menjalani jenjang S-2, dia merasa paling bodoh. Tetapi, dia tidak menyerah. Dia terus belajar dan belajar. Bahkan, dia bisa menyelesaikan kuliah S2-nya satu tahun saja.

Tesisnya yang mengulas soal sistem cerdas di industri manufaktur mendapatkan penghargaan The Prestigious Engineering Achievement Award dari Institute of Engineer Singapore. ’’Kalau di negera maju, penghargaan sering diberikan tanpa kita mengirim karya. Mereka sering memperhatikan kita secara diam-diam,’’ ungkap suami Isyana Ayundyascania Radifa tersebut.

Sebenarnya, Dhika telah menerima tawaran untuk melanjutkan kuliah S-3 di NTU. Pada waktu yang bersamaan, dia juga diterima di University of New South Wales, Canberra, Australia. Yaitu, lewat international postgraduate research scholarship. Bahasannya tetap sama, sistem cerdas dalam mesin seperti pesawat tanpa awak hingga alat diagnosis kanker.

Selepas S-2, dia sempat kembali ke Indonesia untuk menikah pada 15 September 2011. Lalu, dia memboyong istrinya, Isyana, ke Aussie untuk menjalani S-3.

Dhika memang selalu fokus dengan yang dikerjakannya hingga bisa menyelesaikan pendidikan PhD-nya hanya dalam waktu 2,5 tahun. Dari waktu kelulusannya yang ditarget selesai Maret 2015, dia berhasil lulus pada Agustus 2014. Saat itu juga, dia ditawari mengajar di University of Technology, Sydney.

’’Sebenarnya ditawari sejak Mei, tapi saat itu kan saya belum lulus. Ahamdulilah semua lancar,’’ terang ayah Nadine Nararya Pratama, 2, tersebut.

Bahkan, lulus dari S-3, Dhika juga mendapatkan penghargaan SEIT high Impact Award 2014 for HDR Students. Penghargaan itu diberikan untuk disertasi yang mempunyai kontribusi di bidang penelitan. ’’Lumayan, hadiahnya sebesar USD 3.000, bisa ditabung,’’ ucap alumnus SMAN 16 Surabaya itu, lantas tersenyum.

Dhika merasa lega telah menjadi S-3. Sebab, saat itu dia sudah berkeluarga. Beasiswanya memang memberikan tunjangan untuk anak dan istri. Tetapi, dananya tetap saja sangat terbatas. Karena itu, dia dan sang istri juga menyambi bekerja. Pekerjaan apa pun seperti loper koran, pelayan, hingga cleaning service dilakoninya. Yang paling terasa adalah saat menjadi loper koran. Sebab, Dia harus berangkat pukul tiga dini hari untuk menemui agen.

Lalu, dia keliling perumahan untuk mengantarkan surat kabar. ’’Pada masa-masa tersebut, kesasar dan kurang tidur itu sudah biasa,’’ ujarnya mengingat kembali masa-masa tersebut.

Dhika merasa senang dan lega saat seorang kawan menawarinya bergabung mengajar. Dia yang sudah menjadi S-3 bisa langsung bekerja. Perjalanannya yang mulus sampai menerima tawaran mengajar itu bukan hanya karena dia pintar dan bisa lulus dengan cepat.

Kebiasaannya menulis karya ilmiah saat S-1 terus dilanjutkannya saat S-2 dan S-3.’’Tidak sembarang jurnal internasional, harus jurnal yang punya kredibilitas,’’ tegas pengagum KH Mustofa Bisri alias Gus Mus tersebut.

Untuk seseorang yang familier dengan jurnal, biasanya ada penanda bahwa jurnal itu berkualitas atau tidak. Misalnya, mempunyai penanda ranking A atau A* (yang paling tinggi). Menulis jurnal internasional juga tidak mudah. Awalnya, Dhika merasa tantangannya terletak pada bahasa.

’’Dulu saya kesulitan menciptakan gaya bahasa Inggris yang renyah dan sistematis, membuat inovasi dalam hal pemikiran. Semua memang butuh kebiasaan,’’ papar penghobi olahraga tersebut.

Biar begitu, Dhika tetap mempunyai standar untuk dirinya sendiri. Dalam setahun, dia menarget membuat minimal enam jurnal dan menghadiri paling tidak 2–3 konferensi ilmiah. Semua upayanya tidak sia-sia. Hingga kini, dia telah membuat 30 kali publikasi karya ilmiah di jurnal internasional.

Prestasi itu menambah portofolionya. Dalam dunia akademisi di negara maju, sesama rekan kerja bisa melihat prestasi nyata lewat portofolio. ’’Mungkin karena itu juga, saya tidak pernah merasa diremehkan sebagai orang Indonesia,’’ tutur Dhika dengan bangga.

Mengajar di perguruan tinggi di luar negeri membuatnya merasakan perbedaan budaya pendidikan. Di Australia, semua universitas mempunyai research center karena mereka mempunyai fokus yang tinggi di bidang riset. Tidak heran, pembagian porsi seorang dosen didominasi untuk riset. Yakni, 50 persen untuk riset, 35 persen mengajar, dan 15 persen administrasi seperti perbaikan kurikulum.

Dalam seminggu, Dhika pun hanya mengajar satu mata kuliah. Dia bercerita, dalam mengampu sebuah riset di Aussie, prosesnya berlangsung minimal tiga tahun. Bahkan, sangat memungkinkan itu dibuat berkelanjutan. Hal tersebut, menurut dia, bisa menjadi salah satu penyebab banyaknya orang pintar dari Indonesia yang tidak mau pulang.

Sistem di Indonesia juga belum terintegrasi dengan sistem pendidikan luar negeri. Misalnya, saat masuk Indonesia, seorang WNI yang memulai karir sebagai akademisi di luar negeri dan sudah menjadi guru besar di luar negeri tidak bisa disesuaikan menjadi profesor alias harus memulai dari nol. ’’Hal seperti itu kan memberatkan, banyak teman-teman yang jadi ogah pulang,’’ jelasnya.

Di sisi lain, Dhika yang sudah sekitar empat tahun merantau merasakan adanya perbaikan iklim pendidikan di Indonesia. Dia tetap menyimpan keinginan pulang untuk ikut memajukan pendidikan di tanah airnya, Indonesia. (*/c20/nda)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Muhammad Nuh Setelah Tak Jadi Menteri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler