PARA pengungsi Rohingya ingin bertahan hidup di Indonesia. Ditambah lagi sikap baik warga Aceh yang telah menyentuh hati mereka.
----------------
Laporan Aqwam F. Hanifan, Kuala Langsa
---------------
AR RAHMAN atau biasa disapa Pak Do trenyuh melihat pemandangan itu. Hatinya tergerak. Rasa kemanusiaannya mencuat keluar. Meski kondisi gelap, dilihatnya secara samar perempuan dan anak-anak yang kumal dan lemas tersebut melambai dengan air mata berderai.
Tangan mereka terulur meminta bantuan. Pak Do tercekat. Dengan bergegas dia dan perahunya mendekat. Meski hatinya kala itu waswas. Puluhan laki-laki melonjak dan mengucap takbir, membuat rasa haru dan takut bercampur jadi satu.
BACA JUGA: Ngeri! Dor...Dor...Dor...Imigran yang Banyak Omong Ditembaki Kapten Kapal
”Saat mereka ucapkan takbir itu, hati saya pilu. Mata serasa mau menangis. Bukanlah manusia jika kami membiarkan mereka mati di laut sana,” katanya.
Itulah peristiwa malam Jumat, 14 Mei 2015, di tengah laut, 35 mil dari Pelabuhan Kuala Langsa, Aceh. Peristiwa yang menguras emosi dan rasa kemanusiaan Pak Do serta teman-temannya yang malam itu melaut.
BACA JUGA: Muhammad Nuh Setelah Tak Jadi Menteri
Padahal, yang mereka tolong itu bukan sanak bukan saudara. ”Ketika tahu bahwa mereka seiman, kami langsung bergegas memberikan pertolongan,” ucap Pak Do.
”Ada sesuatu yang dibela. Sesuatu yang lebih berharga daripada hanya hidup dan mati. Ini soal keimanan dan kemanusiaan. Masihkah kami memiliki iman? Masihkah kami jadi manusia seutuhnya?” tuturnya bijak.
BACA JUGA: Kisah Darwati, Pembantu Rumah Tangga Peraih Gelar Sarjana
Aceh memegang erat budaya Peumulia Jamee alias memuliakan tamu. Banyak tarian dan syair lahir dari penjamuan tamu. Itu pula yang ditunjukkan keluarga Nur Rahmah.
Perempuan warga kampung Kuala Langsa tersebut sengaja mengajak anaknya datang ke penampungan pengungsi yang hanya berjarak 100 meter dari rumahnya. Dia tersenyum melihat tiga perempuan Rohingya yang mendekat kepadanya.
”Jujur saja, di rumah tak ada apa-apa lagi untuk dimakan. Beras sudah diberikan ke sini (pengungsi, Red) pas hari pertama mereka datang. Namun, saya senang membantu. Allah Maha Pemberi. Dia bisa memberikan rezeki kepada siapa pun yang Dia mau,” ujarnya.
Akrab dengan keluh kesah dan tawa mereka, akrab dengan mimpi dan kegetiran mereka. Itulah interaksi antara masyarakat Aceh dan pengungsi Rohingya serta Bangladesh saat ini.
Jawa Pos masih mengingat betul saat terhentinya rombongan para pengungsi di tapal batas Kabupaten Aceh Timur dan Kota Langsa akibat belum jelasnya kesepakatan lokasi penampungan beberapa waktu lalu.
Lamat-lamat terdengar suara para tokoh agama lewat pengeras masjid-masjid serta kutipan ayat Alquran dan hadis yang memerintahkan membantu para pengungsi. Warga pun menyambutnya dengan berduyun-duyun untuk menyumbang.
Seorang nenek bersama cucunya yang mengendarai motor bebek terlihat ngebut sambil membawa satu kardus dan satu kresek pakaian bekas. Napasnya tersengal-sengal saat berhenti di depan rombongan pengungsi. ”Untong golom teulat (untung belum terlambat, Red),” katanya. Kepada Jawa Pos, si nenek mengatakan berasal dari Bayeun Keude, 10 kilometer dari lokasi.
Di Puskesmas Julok juga ada kejadian lucu. Saat itu Azhari, warga lokal, ingin merawat seorang pemuda Rohingya. Kepada satpol PP yang mengawal, Azhari mengaku bahwa pemuda Rohingya tersebut adalah orang Aceh.
Namun, saat ditanya dalam bahasa Indonesia, si pemuda hanya geleng-geleng kebingungan. Petugas pun tahu bahwa orang tersebut adalah pengungsi dan langsung dinaikkan bus. ”Saya sempat bawa dia ke rumah tadi untuk kasih makan. Saya ingin angkat dia jadi adik. Sialnya, malah ketahuan sama petugas yang itu,” ucapnya sambil menunjuk seorang petugas satpol PP.
Bantuan dan dukungan masyarakat Aceh kini terus mengalir. Namun, sampai kapan? Ada suatu masa akan terhenti. Lantas, ke manakah nasib para pengungsi itu akan tertuju?
Bagi pengungsi Rohingya, pulang kembali ke Myanmar adalah tabu. ”Kami hidup di sana susah. Kami tak diakui sebagai manusia. Sekolah susah. Ibadah susah. Bekerja pun susah. Kami pun dibunuhi di sana. Saya tak ingin kembali. Lebih baik mati di sini daripada kembali,” kata Ruqiyah Hatun, 20 tahun.
Mungkinkah berencana menikah dengan orang Indonesia? ”Oh tidak. Saya sudah punya suami dan anak,” katanya.
Keinginan serupa disampaikan Mohammad Ayas. Bocah 10 tahun itu mengaku senang tinggal di Indonesia.
”Saya tak ingin pulang ke Myanmar. Di sini saya bahagia. Di sana tak bisa sekolah. Saya ingin sekolah,” katanya merengek. Kemiskinan dan penindasan militer membuatnya terpaksa berhenti menempuh pendidikan saat duduk di bangku kelas tiga.
Keinginan untuk bertahan di Indonesia terbuka. Kemarin (24/5), saat berkunjung ke Kuala Langsa, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menjanjikan mereka bisa tinggal di Indonesia sebagai pencari suaka.
Meski begitu, para pengungsi Rohingya punya harga diri yang tinggi. Sama tingginya dengan rasa hormat yang mereka punya terhadap negeri ini. Tak selamanya tangan harus menjulur meminta. Mereka sadar akan amat menyusahkan. Tayyub Ali mengatakan hal tersebut. Karena itu, dia berharap segera mendapat pekerjaan.
”Saya ingin bekerja. Tak ingin menyusahkan orang Indonesia. Mereka terlalu baik kepada kami. Saya ingin bekerja di restoran,” kata pria yang menjadi penerjemah Jawa Pos itu.
”Indonesia memang bukan Australia atau Amerika Serikat. Namun, harapan untuk mencapai masa depan itu di sini masih tetap ada,” sambungnya. ”Saya cinta negeri ini dan orang-orang di sini. Namun, suatu saat saya harus meninggalkannya,” ujaranya pelan.
Tayyub menatap langit yang dipenuhi bintang, dan tahu bahwa langit itu, tanah itu, bukanlah tanah airnya. Dia menghela napas dan berusaha mengatasi perasaannya. (*/c9/c10/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Ngeri Pengungsi Rohingya, Saling Bunuh di Kapal, yang Takut Berkelahi Nyebur ke Laut
Redaktur : Tim Redaksi