Kisah 2 Sahabat Usai Nonton Timnas U-19, Naik Lion Air JT610

Jumat, 02 November 2018 – 00:31 WIB
Petugas DVI Mabes Polri bersama Polres Jakarta Utara mengidentifikasi barang-barang korban Lion Air JT610 di JICT 2 Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (31/10/18). FOTO: FEDRIK TARIGAN/ JAWA POS

jpnn.com - M. Rafi Andrian dan Rian Riandi, dua sahabat yang naik Lion Air JT610 usai nonton laga Timnas U-19 Indoneis vs Jepang. Kini keluarga hanya berharap bisa melihat jenazah mereka.

JUNEKA SUBAIHUL MUFID, Jakarta

BACA JUGA: Perusahaan Tiongkok Mengaku Pemilik Pesawat Lion Air Nahas

”Saat kehilangan orang yang kita cintai, tidak sepatutnya kita mengganggu jiwa mereka, baik ketika mereka masih hidup atau telah meninggal. Yang bisa kita lakukan, kita bisa menemukan penghiburan dalam benda yang paling mengingatkan kita kepada mereka...”

(Orhan Pamuk, The Museum of Innocence)

BACA JUGA: Menhub Klaim Pesawat Sejenis Lion Air JT610 Layak Beroperasi

WAJAH Epi Samsul Komar tampak sangat murung. Dengan dikawal petugas Badan SAR, dia berjalan pelan. Menuju serakan puing-puing.

Di sana, di dermaga Jakarta International Container Terminal (JICT), memang diletakkan barang-barang sisa kecelakaan pesawat Lion Air PK-LQP dengan nomor penerbangan JT 610. Yang jatuh di perairan Tanjung Karawang pada Senin lalu (29/10).

BACA JUGA: Sebut Lion JT610 Mendarat di Halim, Mustofa Digarap Polisi

Pandangan Eri yang semula terlihat kosong berubah saat dia melihat sneaker Adidas hitam. Air matanya tak terbendung. Dua tangannya ditangkupkan ke wajah.

Pria 50 tahun asal Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, itu menangis. ”Ada sepatunya ini. Ini sepatunya Rafi,” ujar Epi dengan terbata.

Sepatu itu diyakini Epi milik M. Rafi Andrian, 24, putra pertamanya. Rafi yang menggemari sepak bola itu ke Jakarta untuk menonton pertandingan Indonesia U-19 melawan Jepang U-19 pada Minggu lalu (28/10). ”Anakku ya Allah,” kata dia dengan suara parau.

Bagi para anggota keluarga korban jatuhnya pesawat Lion Air PK-LQP, puing-puing di dermaga JICT itu, di satu sisi, tak ubahnya ladang kedukaan. Personifikasi dari orang-orang tercinta yang hingga kemarin belum ditemukan.

Tapi, di sisi lain, hanya lewat barang-barang itu, setidaknya untuk saat ini, yang bisa mengoneksikan mereka dengan anak, ayah, ibu, kakak, atau adik yang jadi korban. Semacam penghiburan bagi mereka yang kehilangan orang-orang tercinta, seperti disinggung sastrawan Turki Orhan Pamuk dalam novelnya, The Museum of Innocence.

Epi, misalnya, bertutur panjang tentang sang putra lewat perantara sepatu hitam tersebut. Bagaimana Rafi selalu menyempatkan menonton langsung di stadion tiap kali tim nasional Indonesia bertanding.

”Klub kegemarannya Real Madrid dan MU (Manchester United),” kata Epi.

Rafi, tutur Epi, berangkat Sabtu (27/10) dari Pangkalpinang bersama dengan sahabatnya, Rian Riandi. Mereka yang sama-sama bekerja di sebuah perusahaan tambang di Pangkalpinang itu sengaja mengambil flight Senin pagi (29/10) untuk bisa masuk kerja. Namun, malang tak dapat ditampik: pesawat Lion Air yang mereka tumpangi jatuh setelah 13 menit terbang.

Epi mengenali sepatu yang kondisinya sudah terburai itu karena pernah dipakai saat Lebaran. ”Saya sudah ikhlas, Pak. Tapi, saya ingin lihat jenazah anak saya, saya yakin dia masih di pesawat,” katanya.

Meski sudah ada puluhan kantong jenazah yang dibawa ke RS Bhayangkara, Epi belum bisa memeriksanya. Padahal, dia sangat ingin segera tahu jenazah putranya.

”Setidaknya sudah ada petunjuk. Dan saya yakin bisa bertemu dengan anak saya,” kata dia.

Sepatu pula yang mempertautkan Abdur Rahman dengan sang anak, Rian Riandi, sahabat Rafi Andrian. Juga, sebuah tas ransel yang telah kosong isinya.

Dari sana Rahman menuturkan persahabatan sang anak dengan Rafi. Bagaimana kedua anak muda berusia 24 tahun itu sama-sama menyukai sepak bola. ”Memang Rian nge-fans sama timnas. Dia itu ke Jakarta tak ada nelepon,” ujar pria yang juga berasal dari Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, itu.

Sama dengan Epi, Rahman kini hanya berharap bisa melihat jenazah putranya. ”Harapan kami mudah-mudahan cepat ditemukan. Walaupun dalam keadaan apa pun, kami menerima,” ujar Rahman yang tampak tegar.

Mulai pagi hingga Rabu sore, keluarga korban memang berdatangan ke lokasi pengumpulan puing-puing sisa kecelakaan di laut dekat Karawang, Jawa Barat, itu. Mereka rata-rata memeriksa alas kaki, mulai sepatu hingga sandal jepit, yang dievakuasi dari laut.

Terlihat lima pasang sepatu balita warna merah yang dijajar agak rapi. Melihat ukurannya, sepertinya itu untuk anak yang baru bisa merangkak.

Ada juga kelompok tumpukan koper, tas, ransel, dan pakaian yang diduga milik korban. Sedangkan di sisi selatan dan utara terdapat beberapa bagian dari Lion Air PK-LQP. Mulai busa kursi, karpet, hingga puing tubuh pesawat.

Tak jarang, petugas menemukan ceceran kulit atau rambut di sela-sela puing bodi pesawat. Misalnya, pengalaman M. Amsori yang menjadi relawan membantu tim Basarnas.

Saat memilah dan memilih barang, dia menemukan serpihan kulit atau daging manusia. ”Ukurannya seperti untuk soto,” kata pria paruh baya yang juga aktivis lingkungan di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, itu.

Rabu (30/10) pagi juga ditemukan baju pramugari Lion Air yang dievakuasi ke tempat pengumpulan itu. Menurut Amsori, sangat mungkin baju tersebut adalah baju cadangan yang diletakkan di koper. Sebab, tidak ditemukan bercak darah yang melekat.

Menjelang sore, sekitar pukul 16.30 WIB, kapal Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai merapat ke dermaga JICT. Dua kantong jenazah diturunkan dari kapal tersebut. Tak kurang dari lima kantong lain berisi puing-puing dan barang penumpang juga diturunkan.

Dua kantong jenazah, setelah dibuka dan diperiksa sebentar oleh polisi, dibawa ke mobil ambulans PMI. Selanjutnya, dibawa ke RS Bhayangkara. Sedangkan lima kantong lain dibuka dan isinya pun dikeluarkan dan dijejer.

Pencarian bangkai kapal terbang terus dilakukan. Begitu pula pencarian oleh keluarga korban di tumpukan barang-barang yang barangkali bisa dikenali.

Di tengah kedukaan mendalam, menemukan barang dari keluarga yang jadi korban adalah sebuah penghiburan yang tak ternilai harganya. Menjadi penali cinta mereka yang –mengutip kembali Pamuk– tak akan bisa dihalangi apa pun. Juga oleh kematian. (*/c10/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Satu Black Box Lagi Masih Dicari


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler