jpnn.com - WA, bocah perempuan usia 15 tahun menjadi korban perkosaan dan dihukum penjara. Keluarganya tercerai berai. Masa depannya pun menjadi gelap.
-------
BACA JUGA: Wali Kota Fasha Ancam Tutup Gojek di Kota Jambi
Asmara Dewi tak bisa menyembunyikan kecemasannya. Air matanya bahkan tumpah tanpa bisa dibendung. ”Saya tidak ingin seperti itu terus. Saya tak ingin dia dihukum,” katanya kepada Mirna Amir, pendamping anaknya, ketika menjenguknya di Lapas Kelas II Perempuan dan Anak Jambi, Jumat (17/8).
Dia yang dimaksud Dewi adalah WA. Beberapa waktu lalu, anak kandungnya itu dipisahkan dari dirinya. WA dipindahkan ke Rumah Aman Kementerian Sosial Jambi. Sejak dipisah, Dewi selalu mengkhawatirkan kondisi anaknya. Sebab, saat satu lapas, putrinya yang baru berusia 15 tahun itu sangat murung.
BACA JUGA: Sipir Gagalkan Penyeludupan Ganja ke Lapas
WA menjadi pribadi yang sangat pendiam. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Hari-hari sebelum anak kandungnya tersebut menjadi korban pemerkosaan oleh anak kandung Dewi lainnya, AS, 18.
Karena itu, Dewi begitu khawatir dengan hari-hari WA yang hidup sendiri di Rumah Aman Kementerian Sosial tanpa dirinya.
BACA JUGA: Konflik Warga Lokal dan Pendatang Kembali Pecah di Merangin
Dewi juga sangat cemas dengan masa depan sang putri. ”Apakah dia bisa kembali bersekolah?” tanyanya kepada Mirna, kemudian menarik napas panjang.
Terakhir, WA tercatat sebagai siswa kelas IX madrasah tsanawiyah (MTS) di Batanghari, Jambi. Seharusnya, WA kini melanjutkan sekolah ke madrasah aliyah (MA). ”Dia belum daftar sekolah karena masalah ini,” ujarnya.
Dewi menyebut putrinya itu bercita-cita menjadi guru. ”Sering kali saat di rumah, anak saya ini ingin sekolah tinggi, berkuliah, dan kemudian menjadi guru,” ungkapnya, lantas menutupi mata dan wajah dengan kedua tangannya.
Cita-cita tersebut kini menjadi gelap. Begitu pula perjalanan WA ke depan. Semua menjadi serbahitam di depan Dewi. Lebih-lebih di mata sang anak.
Mirna bisa memahami kecemasan Dewi. Dia pun berusaha menenangkan ibu dua anak tersebut. Kepada Dewi, Mirna meyakinkan bahwa WA nanti bisa melanjutkan sekolah.
”Saya tidak akan lelah berjuang agar anak ibu bisa melanjutkan sekolah dan menjadi guru,” katanya menguatkan.
Mirna lantas menyebut sudah ada beberapa tawaran bantuan agar WA bisa bersekolah. Tawaran itu tidak hanya datang dari Jambi. Ada yang menawarinya bersekolah hingga perguruan tinggi di Jogjakarta.
Tangis Dewi pun mereda. Tapi, kecemasan belum benar-benar sirna dari wajahnya. Tentunya juga dari pikiran dan hatinya. Bagi siapa pun, tentu sulit membayangkan, bagaimana remuk, cemas, dan bergolaknya batin seorang ibu yang anak kandungnya menjadi korban pemerkosaan anak kandungnya yang lain.
Sudah begitu, sang putri yang jadi korban justru dihukum. Beban segunung itulah yang kini ditanggung WA. Oleh Pengadilan Negeri Muara Bulian, WA divonis enam bulan penjara.
Rais Torodji yang menjadi ketua majelis hakim yang menyidangkan perkara WA menilai anak tersebut salah karena melakukan aborsi.
Putusan itu semakin membenamkan hidup WA. Sebab, Dewi juga dihukum dalam perkara aborsi tersebut. Padahal, aborsi itu dilakukan karena terpaksa. Bukan saja lantaran dia menjadi korban pemerkosaan inses. Tapi, juga karena kesehatan WA yang sangat rentan dengan usia yang baru 15 tahun.
Dengan putusan hakim itu, WA bukan saja harus terpisah dari ibunya. Tapi, dia juga harus menjalani hari-hari di penjara. Situasi tersebut, seperti yang diutarakan Dewi, tidak hanya membuat WA tak lagi berani mengejar cita-cita. Sekadar untuk berkata-kata, WA juga sangat takut.
Bebannya semakin berlipat. Hukuman sosial di lingkungan masyarakat menghadang dirinya dan keluarga. Jawa Pos merasakan betul adanya hukuman itu. Setelah terbitnya vonis hakim, Jawa Pos menelusuri kondisi keluarga dan lingkungan WA.
Dia tinggal di Desa Pulau, Rambutan Masam, Muara Tembesi, Batanghari, Jambi. Dari pusat Kota Jambi, dibutuhkan waktu dua jam untuk sampai di kampung tempat tinggal WA.
Itu pun perjalanannya tidak mulus. Untuk benar-benar sampai di tempat tinggal WA, Jawa Pos harus menyeberang Sungai Batanghari dengan menumpang perahu. Kampung Pulau terletak di tengah perkebunan di seberang Sungai Batanghari. Jalannya tanah. Rumah WA berada di tengah kampung.
Karena posisinya di tengah, omongan para tetangga dengan mudah terdengar. Omongan para tetangga itu membuat keluarga WA semakin sulit. Siti Hawa, nenek WA, tak luput menanggung beban tersebut.
”Ibu saya (Siti Hawa) seiring pingsan. Terutama saat ada orang berkunjung ke rumah,” aku Nur Haidir Ismail, paman WA.
Menurut dia, kedatangan tamu ke rumah semakin membuat tetangganya membicarakan masalah yang menimpa WA. Orang-orang yang mulai tidak membicarakannya kembali menggunjingkannya. ”Orang itu baik di kepala, beda di hati. Saat bertemu baik, di belakang berbeda lagi,” paparnya.
Seperti sang kakak, Haidir juga sangat kepikiran masa depan dua keponakannya, WA dan AS. ”Mereka berdua jelas sudah tidak bisa satu rumah nanti setelah menjalani hukuman. Nah, mau bagaimana mereka ini?” katanya. Apalagi, ayah keduanya memilih abai dengan WA dan AS.
Ayah WA dan AS memang sudah lama bercerai dengan Dewi. Karena perceraian itu, Dewi selama ini menjadi tulang punggung keluarga. Sehari-hari Dewi bekerja menyadap pohon karet. Dia bekerja dari subuh sampai petang.
Dengan putusan hakim kepada WA, perjalanan ke depan keluarga tersebut semakin berat. Terlebih bagi WA. Mirna pun sangat kesal dengan putusan hakim itu. Putusan hakim dinilainya abai dengan masa depan WA sebagai perempuan dan korban.
”Dengan kejadian ini, tentunya semua harus bergerak. Jangan sampai ada WA lain yang jadi korban,” ujarnya. (idr/c6/fim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Detik â detik Nestor Seret Siswi SMA ke Kamar, Parah!
Redaktur : Tim Redaksi