Kisah Derita Warga Korban Lapindo, Berupaya Bangkit dari Titik Nol

Minggu, 31 Mei 2015 – 03:09 WIB
Isa dan suami, Uut Faisal, dengan gerobak bakso mereka di arena istighotsah peringatan 9 Tahun Lumpur Lapindo Jumat (29/5). FotoL Nur Frizal/Jawa Pos

PEREMPUAN berjilbab itu terlihat terampil saat menyajikan semangkuk bakso untuk pembeli. Tangannya begitu cekatan mengambil bahan-bahan yang diperlukan.
-------------
Laporan Akhmad Matin, Sidoarjo
------------
Sambil menyajikan bakso, sesekali dia menyimak dan mengomentari isi ceramah dalam acara istighotsah peringatan 9 Tahun Lumpur Lapindo di Titik 25 Tanggul Lumpur Lapindo, Porong, Sidoarjo, Jumat (29/5).

Ya, perempuan penjual bakso itu bernama Samariyati, 27. Dia adalah salah seorang korban ganasnya lumpur Lapindo yang kini ’’sukses’’ bangkit dari keterpurukan hidup.

BACA JUGA: Saat KRI Kupang Jadi Tumbal Rudal Exocet MM40 Blok II

Bagi Isa, begitu sapaan Samariyati, peristiwa 29 Mei 2006 tersebut tidak bisa dilupakan. Sebab, akibat ’’kecelakaan kerja’’ itu, seluruh harta benda keluarganya tidak bersisa. Rumahnya di Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, yang tidak jauh dari titik semburan tenggelam tertimbun lumpur panas. Tidak banyak yang bisa diselamatkan.

Maka, sejak itu, perjuangan berat pun harus dijalani Isa bersama orang tuanya, Sarmuji dan Biayati. Mereka harus mulai dari nol lagi. Sebab, selain tempat tinggal yang rata dengan permukaan lumpur, usaha jualan bakso sang ayah, Sarmuji, juga hilang. Tempat mangkal Sarmuji di depan pabrik di Desa Jatirejo ikut tertelan bumi. ’’Saat itu, keluarga saya benar-benar susah,’’ cerita Isa.

BACA JUGA: Kini, Alunan Ngaji para Santri tak Lagi Diganggu Suara Keras Dangdut Koplo

Dia masih ingat bagaimana luntang-lantungnya dirinya bersama keluarga ketika awal-awal bencana itu. Enam bulan pertama, Isa terpaksa tinggal di tempat pengungsian korban lumpur di Pasar Porong dengan rasa putus asa.

Padahal, waktu itu dia baru menyelesaikan ujian nasional SMA dan hendak memasuki bangku kuliah. Dia pun sempat berpikir untuk tidak meneruskan ke jenjang perguruan tinggi. Pasalnya, musibah itu seolah telah merenggut masa depannya.

BACA JUGA: Anggota Kopassus Ini Jadikan Tentara Brunei Lebih Hebat dari Malaysia dan Singapura

Tetapi, sang bapak, Sarmuji, tetap ingin Isa menempuh pendidikan lebih tinggi. Dia percaya, dari musibah itu, keluarganya akan mendapat banyak hikmah dan pelajaran. ’’Kata bapak, biar bapak saja yang jadi orang bodoh. Saya tidak boleh begitu,’’ kenang perempuan kelahiran Sidoarjo, 26 April 1988, tersebut.

Meski Sarmuji terus menyemangati, Isa tetap ragu. Kondisi keluarga yang tengah dilanda musibah menjadi pertimbangan utama. Apalagi keluarganya sudah tidak punya apa-apa, kecuali pakaian di badan. Tetapi, tetap saja, semangat bapaknya ternyata lebih kuat dan akhirnya mampu mengalahkan keraguan Isa.

Isa pun mendaftarkan diri di Jurusan Muamalah, Fakultas Syariah, IAIN Sunan Ampel (kini UINSA) Surabaya dan diterima. Namun, lantaran kondisi ekonomi keluarganya yang sedang terpuruk, Isa tahu diri. Karena itu, selama kuliah, dia mesti meluangkan waktu untuk menyambi bekerja. Dia pun rela bekerja sebagai penjaga warnet di belakang kampusnya. Dia tidak malu, meski pelanggan warnetnya adalah teman-temannya.

Kendati begitu, dari hasil jerih payahnya menjadi penjaga warnet, Isa bisa menyambung hidup di Surabaya. Bahkan, dia mampu menyelesaikan kuliah pada 2011.

Sementara itu, saat Isa menjalani kuliah di Surabaya, kehidupan keluarganya di Sidoarjo belum menentu. Setelah enam bulan tinggal di tempat pengungsian sementara, Sarmuji beserta istri mengungsi lagi ke tempat lain. Yakni, di rumah sang nenek di Ngoro, Mojokerto. Namun, itu hanya berlangsung dua bulan.

Setelah itu, mereka pindah lagi. Kali ini mengontrak rumah di Perumtas 2 Tanggulangin. Selama enam tahun di rumah kontrakan itulah Sarmuji memulai lagi usaha berjualan bakso.

Kegigihan bapak dua anak tersebut dalam berusaha, pelan tapi pasti, mulai menampakkan hasil. Setelah tabungannya dirasa cukup, pada 2012, keluarga Isa mampu membeli rumah sederhana di Desa Ploso, Kecamatan Krembung. ’’Di sana, kami membangun kehidupan baru,’’ kata Isa.

Sejak mampu membeli rumah sendiri, kondisi keluarga Isa perlahan kembali normal. Usaha jualan bakso keluarganya sudah kembali berdiri, meski belum memiliki tempat jualan yang tetap. Isa pun bertekad untuk membantu perekonomian keluarga. Meski berstatus sarjana, dia tidak malu berjualan bakso milik bapaknya.

’’Jualan bakso ini utama, tapi juga sambilan. Sebab, saya juga mengajar di Pesantren Abil Hasan As Syadili, Krembung,’’ ungkap istri Uut Faisal Syafruddin tersebut.

Bukan hanya Isa, Ganyes Susanto juga mengalami hal serupa. Lelaki 43 tahun dari Desa Jatirejo itu benar-benar tidak kuat jika harus mengingat kejadian sembilan tahun lalu tersebut. Sebab, akibat semburan lumpur Lapindo itu, kehidupannya benar-benar tidak menentu.

’’Dulu sebelum ada musibah ini, saya punya usaha sendiri di rumah,’’ kata Ganyes ketika ditemui saat menghadiri istighotsah bersama istri dan anaknya yang masih kecil kemarin.

Usaha yang dimaksud Ganyes itu adalah kerajinan membuat perhiasan dari emas dan perak. Kemampuan Ganyes dalam mengolah emas dan perak didapat dari tempatnya bekerja selama ini. Yakni, sebuah pabrik perhiasan emas/perak di Rungkut, Surabaya.

Hasil karyanya memang tidak banyak dikenal. Namun, ada yang membelinya. Karena itu, usaha sambilan tersebut bisa memberikan tambahan penghasilan bagi keluarga. Bahkan, selain untuk kebutuhan belanja sang istri, Sriwati, dan anaknya, Aldo, Ganyes masih bisa menabung.

Sayang, semua itu berlalu begitu cepat. Kehidupan keluarga Ganyes yang berkecukupan berubah tatkala musibah semburan lumpur Lapindo datang. Semua harta bendanya lenyap seketika.

’’Sejak adanya lumpur itu, saya jadi tidak bisa bekerja. Sebab, saya harus mengurusi nasib keluarga saya,’’ tuturnya.

Usaha kecil yang dirintis di rumah ikut ludes tertimbun lumpur. Dia pun keluar dari pabrik tempatnya bekerja lantaran harus berfokus membantu keluarga dari musibah itu. Ganyes sempat mengira kondisi tidak menentu tersebut segera berakhir. Tetapi, perkiraan itu ternyata salah. Kondisi keluarganya bahkan makin parah lantaran Ganyes sudah tidak bekerja.

Dia sempat berpikir untuk membuka kembali usaha kerajinan emas dan perak. Namun, keinginan tersebut sulit diwujudkan lantaran Ganyes tidak memiliki cukup modal. Bahkan, untuk tempat tinggal saja, keluarganya harus berpindah-pindah, menyesuaikan dengan kondisi ekonomi.

Untung, dalam dua tahun terakhir, dia menemukan rumah kontrakan di Desa Krian, Kecamatan Krian. Di sana, dia memulai usaha baru dengan membuka warung kopi (warkop). Dia mengaku hasil dari warkopnya itu belum benar-benar bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga. ’’Kadang iuran warga saja saya masih nunggak,’’ tandasnya.

Cerita pilu juga diungkapkan Bagas, warga asal Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin. Dia dulu juga menjadi buruh di pabrik sabun di Kedungbendo. Penghasilannya sebagai buruh pabrik waktu itu cukup untuk memenuhi kehidupan keluarga kecilnya, meski pas-pasan.

Namun, kehidupan yang bahagia tersebut berubah total lantaran rumahnya tertimbun lumpur Lapindo. Kondisinya makin parah lantaran pabrik tempatnya bekerja juga tenggelam. Otomatis, Bagas tidak mempunyai penghasilan lagi. Hidupnya bersama istri dan dua anaknya bergantung pada pemberian di pengungsian.

Setelah melewati enam bulan masa krisis di pengungsian, Bagas mulai bangkit. Dia pun bekerja serabutan demi istri, Rini Agustina, dan dua anaknya. Apa pun dia lakukan demi mendapatkan rupiah yang halal. Mulai menjadi kuli bangunan, kuli angkut, hingga tukang parkir.

Masa-masa sulit itu hingga kini, diakui Bagas, belum juga berlalu. Dia masih saja harus bekerja serabutan dan tinggal di rumah kontrakan di Desa Sugihwaras, Kecamatan Candi. Dalam benak Bagas, tebersit keinginan untuk membuka usaha sendiri seperti berdagang. Namun, dia mengaku belum memiliki modal.

Dia berharap uang ganti rugi yang ditunggu-tunggu segera cair. Sebab, uang tersebut bisa dijadikan modal usaha. Dia harus memiliki modal yang cukup untuk membuka usaha yang belum ada di daerah kontrakannya itu.

’’Berbeda dengan kampung sendiri, saya paham kondisi masyarakat dan kebutuhan mereka. Sedangkan di kampung orang, saya harus memahami mereka dulu,’’ kata pria berusia 36 tahun tersebut. (*/c5/ari)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mahardhika Pratama, Peraih Gelar PhD di Usia 26


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler