jpnn.com - Setiap orang harus punya hobi sebagai titik break agar tidak jenuh dalam menjalani profesi. Setidaknya, itu diyakini dr Ignatius Darmawan Budianto SpKJ. Dokter ahli jiwa tersebut gemar mengumpulkan label cerutu dan prangko.
Laporan Zahra Firdausiah, Surabaya
BACA JUGA: Lihat Nih, Megahnya Kampung Pedagang Warteg di Tegal, Semua Rumah Mewah!
TUMPUKAN lima buku tua bersampul cokelat itu berjajar rapi di atas meja ruang tamu. Salah satu buku tersebut diambil dengan sangat hati-hati oleh dr Ignatius Darmawan Budianto SpKJ. Dia membuka tiap lembarnya dengan hati-hati pula. Takut jika sewaktu-waktu label-label yang ada di dalam buku tua itu sobek atau berjatuhan.
Terlihat betul bahwa pria 71 tahun tersebut memperlakukan album itu layaknya seorang bayi. Sebab, buku tersebut bukan sembarang buku. ”Bagi saya, ini sangat berharga,” kata Darmawan saat memamerkan koleksi label cerutunya di rumah suatu siang lalu.
Darmawan mengumpulkan label cerutu sejak kecil. Dia lupa kapan tepat tahunnya. Dia meneruskan hobi itu dari mendiang ayahnya. Berlembar-lembar label cerutu aneka merek dia simpan rapi di rumahnya. Usianya sudah puluhan tahun.
Dokter spesialis kejiwaan tersebut berkisah, mendiang ayahnya yang perokok bekerja sebagai pegawai di sebuah pabrik rokok kelobot di Malang. Sebagai pegawai, ayahnya sering bergaul dengan orang-orang di pabrik cerutu sehingga tidak sulit memperoleh rokok yang biasanya berharga mahal itu.
BACA JUGA: Curhatan Victor Igbonefo, Cinta Arema, Tapi Pilih Liga Thailand
Setiap kali cerutu habis, bungkusnya tidak pernah dibuang. Label merek yang tertera di bungkus cerutu itu dilepas. Potongan label lantas ditempelkan di halaman buku. Darmawan mengatakan, ayahnya sampai perlu menyediakan buku yang khusus dipakai untuk menyimpan koleksi label cerutu segala merek. ”Saya sudah lupa mereknya apa saja. Banyak sekali dan mereknya lawas-lawas,” ujarnya.
Label-label cerutu itu seukuran jari telunjuk tangan dewasa. Cetakannya pun bermacam-macam. Misalnya, bergambar para bangsawan dari berbagai negara, seri Indian, bendera negara, dan simbol-simbol kerajaan.
Darmawan mengaku bukan penggemar cerutu. Dia memang pernah menjadi perokok semasa kuliah. Tapi, cerutu bukan favoritnya. Buat dia, mengisap cerutu terlalu berat untuk pernapasan. Kendati demikian, dia tetap meneruskan hobi orang tuanya. Sepeninggal ayahnya, ’’tugas” berburu label cerutu diambil alih Darmawan.
Kini, di kediamannya, kawasan Klampis, Surabaya, Darmawan memiliki lima buku penuh dengan label cerutu. ’’Di masing-masing halaman kurang lebih ada 20 label. Kalau dihitung-hitung, ada dua ribuan label yang dikoleksi. Belum yang nyelip-nyelip di rumah, lupa menaruh,” ujarnya.
Sejumlah koleksi label cerutu yang dimiliki Darmawan diperoleh dari pemberian teman-teman mendiang ayahnya. Mereka rata-rata tahu selama hidupnya, ayah Darmawan adalah kolektor label cerutu. Koleksi lain didapat Darmawan saat pergi ke luar negeri untuk urusan pekerjaan.
Cerutu memang tidak begitu digemari di Indonesia. Harganya yang dikenal lebih mahal daripada rokok membuatnya kurang familier di kalangan perokok. Tidak heran, kini Darmawan sulit mendapatkan label cerutu merek baru di dalam negeri.
Beda halnya dengan para perokok di mancanegara, seperti Eropa, yang masih banyak mengisap cerutu. Karena itu, ketika ada agenda ke luar negeri, Darmawan selalu berburu koleksi. ”Kadang begitu ketemu orang yang merokok pakai cerutu, saya langsung minta labelnya untuk dikoleksi, dijadikan satu dengan yang lain,” tutur lelaki kelahiran Malang, 5 Mei 1944, tersebut.
Pada Agustus nanti, Darmawan berencana melawat ke Belanda. Dia sudah mengagendakan untuk menambah koleksinya ketika ada di Negeri Kincir Angin itu.
Benda koleksi Darmawan bukan cuma label cerutu. Sejak sekolah menengah pertama, Darmawan juga senang berkorespondensi. Sahabat pena pertamanya berasal dari Belgia. Dia dan sahabat pena sering bertukar kisah, foto, termasuk prangko. Hobi berkorespondensi itulah yang mengantarnya menjadi seorang filatelis alias pengoleksi prangko.
Bagi laki-laki yang pernah menjadi ketua komite etik di sejumlah rumah sakit itu, berkirim ucapan lewat surat terasa lebih personal ketimbang berkomunikasi dengan media lain. Apalagi, prangko juga membawa kenangan masa silam. Ketika seseorang berada di tempat yang jauh, meski tidak sering bertatap muka, dia bisa menjadi sahabat pena. ”Dari prangko, saya belajar banyak hal, mulai sejarah, budaya, hingga seni yang tercetak di dalamnya,” katanya.
Darmawan mengoleksi prangko sejak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, kurang lebih awal 1950-an. Ribuan lembar prangko koleksinya memiliki berbagai seri. Ada seri bunga, hewan, negara, dan bendera-bendera negara.
Sama dengan label cerutu, berburu prangko juga kerap dia lakukan ketika berada di luar negeri. Prangko-prangko itu juga didapatkan Darmawan ketika mengikuti perkumpulan pencinta prangko. Dari sana, dia sering bertukar prangko.
Darmawan mengatakan, semasa masih sekolah, dirinya bisa menghabiskan lebih dari separo uang sakunya hanya untuk membeli prangko. Dalam sekali uang keluar, dia bisa membeli 50 seri prangko sekaligus. Kebiasaannya itu kini masih berlanjut. Setiap kali melakukan perjalanan ke luar negeri seperti Jerman, Belanda, Prancis, atau Swedia, dia selalu menyempatkan diri membeli prangko.
Demi menjaga koleksinya, prangko-prangko direkatkan rapi di atas kertas perkamen supaya tahan air dan jamur, kemudian disimpan di lima kotak bekas cerutu. Bahkan, sejumlah koleksinya disimpan di safe deposit box di sebuah bank. ”Biar aman, di bank ada lima album. Soalnya yang di bank lebih langka dan bernilai,” ujar ayah dua anak itu.
Sebagai dokter, Darmawan sebenarnya tidak punya banyak waktu untuk menekuni kegemarannya. Tapi, karena telanjur hobi, dia menyempatkan diri merawat koleksi-koleksinya setelah bekerja. ”Kadang bisa sampai tengah malam. Enggak terasa. Kalau hobi, berapa pun waktunya dilakoni,” ucapnya.
Menurut dia, jika sudah telanjur hobi dan dijiwai, selelah apa pun tidak terasa. Melakoni hobi membuat Darmawan tetap merasa menjadi manusia. Bukan hanya robot pekerja. ’’Sangat penting sebagai katarsis,’’ ucapnya.
Darmawan bahkan bertekad untuk menjalani hobinya sampai akhir hayat. Sayangnya, dua anaknya tidak mau meneruskan hobi uniknya. Menurut Darmawan, tidak semua orang sanggup menekuni kegemarannya itu karena butuh ketelatenan.
Ketika ditanya koleksi mana yang paling dia suka, Darmawan tidak bisa memilih. Dia mengatakan, semua koleksi disukainya. Dia juga tidak pernah berpikir untuk menjadikan benda-benda koleksinya sebagai barang dagangan.
”Saya tidak akan menjualnya. Hobi tidak bisa digantikan. Saya masih ingin menikmatinya karena benda-benda itu punya nilai sejarah,” ungkapnya. Bagi dia, merawat koleksi sama dengan merawat pasien. Ada kepuasan dan kebahagiaan tersendiri. (*/c7/ayi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Empat Siswa Cerdas Itu Pamit kepada Ibu Risma
Redaktur : Tim Redaksi