Kisah Enes Kanter: Bintang NBA yang Kehilangan Kampung Halaman karena Mengkritik Erdogan

Senin, 11 November 2019 – 09:21 WIB
Enes Kanter ketika masih bermain untuk New York Knicks. Foto: Reuters

jpnn.com - Sebagai pebasket di salah satu tim elite NBA, Enes Kanter punya segalanya. Kecuali kampung halaman. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah merampas itu darinya.

Center Boston Celtic itu tidak bisa pulang ke Turki sejak 2016. Semua karena sikap kritisnya terhadap rezim Erdogan. "Dia (Erdogan) adalah Hitler era kita," ujarnya beberapa tahun lalu.

BACA JUGA: Erdogan: Amerika Ingkar Janji soal Kurdi Suriah

Rezim Erdogan melabelinya sebagai teroris karena dekat dengan ulama Fethullah Gulen, pemimpin gerakan Hizmet yang dituding sebagai dalang kudeta gagal tiga tahun lalu. Awal tahun ini, pemerintah Turki menerbitkan Red Notice Interpol untuk Kanter yang sampai sekarang masih diabaikan Amerika Serikat.

Kampung halaman bukan satu-satunya yang dirampas Erdogan dari atlet 27 tahun itu. Setelah dinyatakan jadi buron, Kanter juga kehilangan keluarganya. Lewat Twitter dia terpaksa menyatakan putus hubungan dengan keluarganya di Turki demi keamanan mereka.

BACA JUGA: Musuh Erdogan Tak Masuk Daftar Teroris AS, Turki Sewot

"Itu adalah salah satu hari terberat dalam hidup saya," ujar Kanter dalam wawancara dengan The Wall Street Journal.

Sampai hari ini keluarga Kanter tidak bisa bepergian ke luar negeri. Ayah mantan pemain Portland Trail Blazers itu telah dipecat dari pekerjaan sebagai dosen di Universitas Istanbul dan kini terancam dipenjara atas tuduhan terorisme.

BACA JUGA: Bashar al Assad: Erdogan Adalah Seorang Pencuri

Menurut Kanter, adik perempuannya yang seorang dokter juga tidak bisa mendapat pekerjaan. Di masa-masa sulit ini, dia tidak bisa berkomunikasi dengan keluarganya. "Jika pemerintah menemukan ada pesan dari saya, mereka semua akan dijebloskan penjara," kata pria yang kerap mendapat ancaman pembunuhan dari pendukung Erdogan itu.

Meski semua itu, Kanter sampai sekarang tetap tak gentar mengkritik Erdogan dan bicara mengenai ketidakadilan yang terjadi di Turki. Menurut dia, kebebasan telah sirna di negeri dua benua itu.

"Saat ini ada 17 ribu perempuan dipenjara di Turki bersama bayi mereka," beber dia.

"Turki memenjarakan lebih banyak jurnalis ketimbang negara lain. Itu membuat ku sangat kesal. Tidak ada lagi kebebasan berpendapat. Lebih dari 6 ribu akademisi kehilangan pekerjaan, ayah saya salah satunya," lanjut Kanter bersemangat.

Selama ini Kanter tidak pernah membawa urusan politik ke lapangan. Namun, rezim Erdogan tetap menemukan cara untuk mengganggu karier salah satu center terbaik NBA itu. Stasiun televisi Turki menolak menyiarkan pertandingan tim Kanter.

Pada Natal tahun ini, Boston Celtic dijadwalkan bertandang ke markas Toronto Raptors di Kanada. Namun, lagi-lagi karena rezim Erdogan, Kanter tidak bisa memperkuat timnya dalam pertandingan tersebut. Sejak paspornya dicabut pemerintah Turki pada 2017, Kanter tidak bisa berlaga di luar Amerika Serikat. Kini pria bertinggi badan 2,11 meter itu tengah berusaha mendapatkan kewarganegaraan AS.

Kanter pun tetap menjaga hubungan baiknya dengan Fethullah Gulen. Dia kerap berkunjung ke kediaman ulama kenamaan itu di Pennsylvania, Amerika Serikat.

"Saya selalu merasa damai saat berada di sana. Amerika telah memberi banyak hal kepada saya, tetapi saya juga ingin bersama dengan orang-orang yang mengerti bahasa, budaya, dan makanan Turki," beber Kanter.

Keduanya bertemu pada 2013. Ketika itu Kanter sudah vokal mengkritik pemerintah Turki dan Erdogan. Ketika kudeta pecah di Turki pada 2016, Kanter sedang berada di samping Gulen. Dia teringat Gulen menangis ketika melihat berita di televisi tentang korban jiwa yang jatuh dalam aksi tersebut. Tak lama kemudian, Erdogan muncul di televisi dan menuding Gulen sebagai dalang kudeta.

"Ini sangat konyol, pikir saya waktu itu," kenang Kanter.

Meski tetap fokus dengan kariernya di NBA, Kanter tetap tidak bisa menyingkirkan Turki dari benaknya. Dia bertekad menggunakan kesuksesannya untuk menyuarakan penderitaan rakyat Turki di bawah rezim Erdogan.

"Saya ingin menggunakan cerita saya untuk meyuarakan kisah mereka. Semakin saya sukses, semakin besar perhatian yang bisa saya ciptakan," tutup dia. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler