Kisah Guru Honorer, ke Sekolah Menerabas Ombak Lautan, Rp 250 Ribu per Bulan

Jumat, 14 Juli 2017 – 00:12 WIB
Dedy (berdiri) bersama siswa SMA 1 Lasolo Kepulauan, sekolah di perbatasan Sultra-Sulteng. Foto: Helmin Tosuki/Kendari Pos/JPNN.com

jpnn.com - Dedy Herysman Khalik dan kawan-kawannya mengajar di daerah terpencil, di Lasolo Kepulauan (Laskep), Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Jangan cerita soal kesejahteraan guru kepada Dedy dkk.. Mereka hanya tahu soal pengabdian. Mengajar di daerah terpencil, berbekal honor tak sepadan. Sekolah lima atau enam hari sama saja.

BACA JUGA: Tak Layak Ditiru, Guru Honorer Ini Malu-maluin Banget

Helmin Tosuki, Wanggudu

Sudah dua tahun terakhir ini, Dedy Herysman Khalik melipatgandakan keberaniannya. Saban pekan, ia harus melintasi lautan, menerabas gelombang dengan doa-doa yang dirapalkan agar cuaca tak memburuk.

BACA JUGA: Ini Nih Kabar Baik Untuk Honorer Murni di Lampung

Dua sampai tiga jam perjalanan mesti ia tempuh dengan perahu sewaan, menuju tempatnya mengabdi. Ia tercatat sebagai guru di SMA 1 Lasolo Kepulauan.

Tempatnya mengajar bukanlah lokasi yang penuh dengan keindahan serta tersedia fasilitas. Laskep, demikian orang-orang menyingkat Lasolo Kepulauan, ada di tapal batas.

BACA JUGA: Kabar Baik untuk Guru Honorer SMA dan SMK

Daerah ini adalah gugusan daerah pesisir di Konawe Utara yang berbatasan dengan Sulawesi Tengah.

Murid-murid yang Dedy ajar bahkan banyak yang berasal dari Morowali, kabupaten di Sulawesi Tengah yang berbatasan dengan Konut.

Sebelum di Laskep, Dedy mengajar di SMA 1 Lasolo. Statusnya sama, guru honor. Gaji, tentu tak seberapa dibanding dengan ketegangan mengarungi laut yang mesti ditempuhnya.

“Saya pulang tiap pekan di kampung saya, untuk sekadar bertemu keluarga di Wawolesea, itupun kalau cuaca lagi bagus. Kalau musim timur, kita menginap saja di Laskep,” kata Dedy, memulai cerita soal perjuangannya.

Dedy tak sendiri. Ada tujuh koleganya yang mengajar, juga dengan status honorer dan ditempatkan di Laskep. Mereka adalah Ebin Sahroni, Abdul Wawan, Sumarlin, Nini, Juminah, Erliatin dan Arista.

Lelaki berusia 28 tahun itu memangku mata pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan, kawan-kawannya di jurusan berbeda.

Saban pekan, saat ia hendak ke Laskep, ia harus menempuh perjalanan dari kampungnya di Wawolesea, ke dermaga Kecamatan Lasolo, yang jaraknya sekira 10 kilometer.

Dari dermaga itulah, biasanya ia bersama kawan-kawannya memulai petualangan laut ke Laskep. Mereka memang berasal dari berbagai wilayah di Konut.

Sejatinya, ada akses darat bila hendak ke Laskep. Sayangnya, medannya super ekstrim. Itupun baru dibuka beberapa bulan lalu oleh pemerintah Kabupaten Konut.

Kendaraan biasa tak bisa menembus jalur ini karena baru tahapan pengupasan jalan alias membuka bukit-bukit. Apalagi di musim penghujan seperti sekarang, sama saja cari perkara bila nekad melintasi jalur darat.

Sudah menantang maut ke Laskep, jasa Dedy dan kawan-kawannya hanya bisa dihargai negara dengan amat terbatas. Sejam mengajar diganjar Rp 10 ribu.

Bila dikumulasi, sebulan ia bisa membawa pulang duit Rp 250 ribu. Ada juga yang bisa dapat Rp 350 ribu sebulan, tergantung jam mengajar.

Tapi nilai itu seringkali tak sebanding dengan pengeluaran para honorer ini. “Kita sewa perahu warga kalau mau ke Laskep,” tukasnya.

Meski honornya minim, alumnus Unhalu –sekarang UHO-tahun 2011 ini tak patah semangat.

Keinginannya untuk bisa mencerdaskan generasi muda di wilayah Laskep yang rata-rata didominasi warga Bajo menjadi motivasinya.

“Kalau mau dihitung antara honor yang diberikan dan pengeluaran. Lebih banyak pengeluaran. Karena kadang kita harus menyewa kapal warga yang akan ke Laskep sebesar 20 ribu hingga 50 ribu sekali jalan. Tapi ini panggilan jiwa,” katanya.

Alumni FKIP itu mengisahkan kehidupan mengajar di daerah yang serba terbatas sarana dan prasarana, ditambah dengan kemauan peserta didik yang dianggap minim, jadi tantangan tersendiri baginya. Ia harus ikut membujuk orang tua siswa akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka.

"Ini yang membedakan mengajar di sekolah daratan dengan kepulauan. Kemauan peserta didik sangat rendah untuk sekolah,” kisah Dedy.

Untuk mensiasatinya, para guru harus membujuk orang tua siswa agar mendorong anak-anak mereka rajin ke sekolah.

Tentu ini tidak mudah karena anak-anak di Laskep, lebih suka mencari duit dengan jadi nelayan daripada sekolah. Jadi, salah satu tugas tambahan guru di daerah itu adalah rajin berkomunikasi dengan orang tua dan warga.

Sebagai guru olahraga, ia juga tak bisa mentransfer ilmu dengan nyaman. Soalnya, alat peraga mata pelajaran ini tidak memadai.

Tapi hal itu bukanlah menjadi kendala utama, menggunakan ruangan sebagai lokasi praktek olahraga sudah hal biasa di sekolah itu.

Secara keseluruhan jumlah peserta didik di SMAN 1 Laskep ada 60 orang dengan jumlah tenaga pengajar 12 orang.

Delapan tenaga pendidik statusnya honorer dan empat lainnya merupakan PNS plus kepala sekolah. Di sekolah itu juga terdapat beberapa siswa yang berasal dari warga Sulawesi Tengah Kecamatan Menuai Kepulauan.

"Biasanya kalau musim timur saya dan rekan-rekan terpaksa menginap dan bertahan hidup berbulan-bulan di sekolah. Karena kondisi cuaca yang tidak bersahabat. Sehingga ini juga menjadi penyemangat tersendiri bagi kami," ujarnya.

Baginya, pekerjaan yang dilakukannya setiap hari itu amat menyenangkan. “Melihat murid-murid bisa berhasil merupakan kebahagiaan tersendiri. Semua akan menyenangkan asal dilakukan dengan ikhlas," pesannya. (***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Kabar Baik bagi Enam Ribu Guru Honorer Murni


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler