Kisah Habib Idrus bin Salim Al-Jufri, Nasionalisme dan Tak Goyah pada Materi

Sabtu, 09 April 2022 – 00:52 WIB
Cendikiawan Muslim KH. Ahmad Baso dalam acara Program Inspirasi Ramadan BKN PDI Perjuangan bersama host Mirza Ahmad, Jumat (8/4) dini hari. Foto: BKN PDIP

jpnn.com, JAKARTA - Cendikiawan Muslim KH. Ahmad Baso menceritakan perjuangan Habib Idrus bin Salim Al-Jufri dalam menjaga prinsipnua. Dia juga menilai Habib Idrus memiliki keteguhan hati tak tergoyahkan meski ditawari bergepok-gepok uang dan rayuan jabatan.

Ahmad Baso menceritakan Habib Idrus merupakan Mufti dan Qadhi di Tarim, Hadramaut, Yaman. Namun, di usia 25 tahun, Habib Idrus melepaskan gelar itu karena merasa tak cocok.

BACA JUGA: Mbak Puan Temukan Teks Pidato Bung Karno Tentang Api Islam

Usut punya usut, kerelaan melepas jabatan itu berasal sikap politiknya yang menentang penjajahan Inggris di Negeri Teluk Aden.

Usai drama itu, Sang Sayid memilih mengembara ke timur. Dia bertolak ke Indonesia yang terletak 8 ribu kilometer jauhnya dari kampung halaman.

BACA JUGA: Melawat ke Medan, Ganjar Napak Tilas Sejarah Bung Karno di Istana Maimun

Habib Idrus berbekal wasiat dari gurunya, yakni jika dalam perantauan menemukan aroma yang sama dengan tanah bekal, maka itulah tanah yang penuh dengan berkah.

“Kalau ada tanah sama rasa dan harumnya tanah ini dengan tempatmu nanti, itu tempat ideal. Itu nanti berkah tempat itu. Hal ini sudah lazim dalam tradisi tarekat dan ternyata yg didatangi itu adalah negeri kita, dan Sayid Idrus itu menemukannya di Kota Palu, Sulawesi Tengah," ungkap Ahmad Baso saat mengisi Program Inspirasi Ramadan BKN PDI Perjuangan bersama host Mirza Ahmad, Jumat (8/4) dini hari.

BACA JUGA: Menag Usulkan Habib Idrus Jadi Pahlawan Nasional

Palu bukan kota pertama. Habib Idrus pernah singgah di Pekalongan, Solo, Jombang, Maluku, Morotai, Bacan, Kalimantan, dan Papua.

Tepat pada 1930, Habib Idrus berusaha mendirikan Madrasah Al-Khairaat.

Habib Idrus juga enggan disapa habib atau sayid. Dia lebih memilih Guru Tua.

Menurut Kiai Baso, kabarnya Guru Tua pernah bertemu dengan Presiden Pertama RI Soekarno di Istana Cipanas dalam suatu pertemuan dengan para ulama seantero negeri. Lewat pertemuan itulah, Sayid Idrus menemukan obat penawar yang selama ini diperjuangkannya sejak meninggalkan kota kelahirannya ribuan kilometer itu, yakni afirmasi nasionalisme.

Saat Indonesia merdeka, Habib Idrus menciptakan syair yang indah tentang Merah Putih dan Soekarno. “Wahai bendera kemuliaan, berkibarlah di tanah yang sentosa ini. Dan simbol kemuliaan kami adalah Merah Putih,” tutur Baso.

Di kala Republik Indonesia berusia seumur jagung, pemberontakan tetap menjadi ujian.

Ujian nasionalisme Sayid Idrus datang dari berbagai sisi. Tawaran datang untuk mendukung pemberontakan. DI/TII dan PRRI/Permesta dikabarkan pernah bertemu Sayid Idrus. Menurut Kiai Baso, cerita kesaksian ini dia dapat dari cucu Guru Tua.

"Ada utusan dari Kahar Muzakkar dan Permesta. Waktu itu sedang jaya-jayanya pemberontakan itu. Mendatangi Habib Idrus. Lalu bilang, ‘Habib sudahlah enggak usahlah ngomong nasionalisme, Soekarno, Merah Putih. Gabung sajalah kepada kami. Sebentar lagi kami akan menang ini," kata Baso.

Baso mencertiakan ada pihak yang membawa duit untuk membujuk Habib Idrus. "Sudahlah habib, sendirian, enggak ada temannya," kata Baso bercerita.

Menurut Baso, keyakinan Habib Idrus justru memihak kepada Bung Karno.

“Beliau yakin PRRI/Permesta ini akan tumbang karena merusak ikatan solidaritas kebangsaan kita, karena mencabik-cabik solidaritas itu. Soekarno kan tarikannya ke kemanusiaannya, sedangkan ini (PRRI/Permesta) saling memusuhi anak bangsa ini,” imbuh Kiai Baso.

Kisah harumnya berlanjut hingga berkembangnya Yayasan Al-Khairaat ke seantero wilayah Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Papua. Hal itu tak lepas dari gerakan menebar benih perdamaian dan kebaikan dari yayasan ini. Bahkan, di Sulawesi Utara, kata Kyai Baso, Pesantren Al-Khairaat juga tumbuh di lingkungan umat kristiani.

“Kenapa bisa hidup? Karena sifat gotong royong membangun masjid, membangun gereja, dan juga membangun sekolah-sekolah Al-Khairaat itu sendiri. Inilah rasa solidaritas kebangsaan yang beliau dapatkan,” ujar Kiai Baso.

Kiprah patriotisme dan pejuang kemanusiaan yang inspiratif dari Sayid Idrus bin Salim Al-Jufri itu kini diabadikan dalam satu nama bandara terbesar di Palu, Sulawesi Tengah.

Presiden Soekarno pada 1954, memberi nama Mutiara kepada bandara itu karena diprediksi tepat berada di tengah deretan hijau Zamrud Khatulistiwa. Lalu pada 2014, Kementerian Perhubungan menambahkan nama menjadi Bandara Mutiara SIS Al-Jufri, Palu. (tan/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Laksamana Yudo Beber Keunggulan KRI Teluk Palu-523, Kapal Baru yang Menambah Kekuatan TNI AL


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler