jpnn.com - Tak banyak orang yang memiliki kepedulian tinggi terhadap anak-anak jalanan. Andri Umamit sebaliknya. Ia betah hidup di jalanan demi mengentaskan nasib ‘adik-adiknya’.
Ika Fuji Rahayu, Ternate – Malut Post (Grup JPNN)
BACA JUGA: Berubah jadi PNS Pusat? Masa Harus Tinggalkan Gaji Rp 78 Juta?
Malut Post membuat janji bertemu Andri Umamit di pusat kota, tepatnya di Pusat Kuliner Belakang Mall Jatiland Ternate, tempat ia dan para anak jalanan biasa mangkal. Hari mulai malam. Tak perlu menunggu lama, Andri muncul bersama dua ‘adik-adiknya’, Uli dan Aki.
Andri bertubuh tinggi dan kurus, berambut gimbal, dan memanggul sebuah ransel lusuh. “Ini Uli dan Aki, mereka sudah seperti adik-adik saya sendiri. Teman-teman yang lain masih sedang mengaji,” katanya memperkenalkan.
BACA JUGA: Ternyata, Sudah Ratusan Orang Indonesia yang Mengaku Nabi
Ya, bagi Andri, anak-anak yang hidup di jalanan seperti Uli dan Aki merupakan adik-adiknya. Ia makan bersama mereka, belajar bersama mereka, berkarya bersama mereka, hingga harus berurusan dengan polisi gara-gara mereka. Kepeduliannya yang tinggi terhadap anak-anak ini mendorongnya untuk mendirikan Komunitas Rumput Taky, sebuah wadah untuk mengentaskan anak jalanan.
“Waktu itu 2011. Namun lama sebelumnya saya sudah pernah merasakan hidup di jalanan di Pulau Jawa,” ujar pemuda berdarah campuran Sanana, Tidore, dan Makean ini.
BACA JUGA: Bukit Percintaan, Destinasi Wisata Baru di Lombok Barat
Pengalaman hidup di jalanan membuatnya gelisah melihat makin banyaknya anak-anak di Kota Ternate yang menghabiskan sebagian besar waktu mereka di jalan. Kegelisahannya beralasan. Anak-anak ini, yang sebagian besar hidup di areal Pasar Gamalama, rata-rata tak punya etika, mengisap lem aibon, tawuran, dan mencuri. Meskipun rata-rata masih memiliki orang tua, banyak di antara mereka telah putus sekolah.
“Saya sendiri dulunya pengisap lem. Teman-teman saya banyak yang mati karena itu. Saya tidak mau mereka-mereka ini bernasib sama,” katanya seraya menatap Uli dan Aki.
Aki, misalnya, telah putus sekolah sejak SD. Sehari-hari, kerjaannya mangkal di pasar, mengisap lem, lalu mencari lawan untuk diajak berkelahi. Puncaknya adalah ketika ia diangkut ke kantor polisi karena dituduh ikut memukuli seorang anggota polisi. Begitu juga dengan kakak perempuan Uli, Maryani. Setiap malam, Maryani kelayapan tak jelas kemana. Remaja perempuan itu selalu keluar rumah setelah magrib dan baru kembali ke rumahnya di pagi hari. Ia bahkan terancam putus sekolah lantaran keseringan tak masuk sekolah.
“Saya sendiri yang harus menghadap polisi, adu argumen dengan mereka agar membebaskan Aki. Sekarang silahkan tanya sendiri apakah ia masih suka berkelahi atau tidak. Sedangkan Maryani kita bikin sampai berhasil menamatkan SMA-nya,” ungkap Andri yang kini berusia 29 tahun.
Dengan Rumput Taky, Andri mengumpulkan anak-anak yang hidup di jalanan, mengajak mereka belajar di alam, mengajarkan membuat sejumlah hasil karya, mengenalkan etika dan seni budaya, bahkan mengirim mereka kembali ke sekolah. Biaya yang digunakan berasal dari kantongnya sendiri, juga dari hasil jualan produk kreasi dan suara para anak jalanan ini lewat mengamen.
“Anak-anak ini punya energi. Mereka hanya butuh diarahkan agar energi itu disalurkan ke hal-hal yang positif,” tambahnya.
Lewat program Literasi Jalanan, ia merangkul anak-anak jalanan untuk diajari hal-hal yang nyaris tak pernah diajarkan di bangku sekolah. Ya, ia mengajari mereka untuk bertahan hidup, dengan memanfaatkan keahlian dan kreativitas. Belajar dilakukan di ruang-ruang publik seperti taman dan halaman kantor. Tak jarang, anak-anak ini diusir oleh penjaga keamanan.
“Kita ajari mereka membuat kerajinan tangan, menari, teater, hingga memancing ikan. Kita ajarkan keahlian sebanyak mungkin agar kelak ketika kondisi terdesak, mereka tahu bagaimana caranya bertahan hidup di alam dengan cara-cara yang halal,” tuturnya.
Andri mengakui cara terbaik merangkul para anak jalanan adalah dengan menjanjikan mereka sesuatu, lantas menunaikan janji tersebut. Seperti ketika ia menjanjikan anak-anak ini untuk tampil menari di panggung Legu Gam, atau berkemah di Pantai Tobololo sekaligus melakukan pembersihan pantai.
“Saya selalu menjanjikan mereka dengan hal-hal seperti itu, dan sejauh ini semua janji itu bisa kita tunaikan bersama,” ungkapnya.
Selain Literasi Jalanan, Rumput Taky juga menggagas Literasi Halmahera, yakni mengajari anak-anak Suku Togutil di daratan Halmahera. Sesuai dengan namanya, Rumput Taky memang dimaksudkan untuk menyebarkan idealismenya selebar mungkin.
“Kita lihat saja sendiri rumput. Ia tak bertambah tinggi, tapi menyebar semakin banyak. Semakin dicabut, ia semakin liar tumbuh. Dan tak pernah kita lihat rumput itu sendiri, pasti selalu bersama-sama dengan rumput lainnya,” ujarnya.
Pada 2014, Rumput Taky mendirikan sebuah perpustakaan mini. Buku-buku yang dimiliki perpustakaan berasal dari sumbangan anggota komunitas yang kini mencapai angka 60 orang lebih. Ada juga buku yang datang dari komunitas anak jalanan lain. Buku-buku tersebut diletakkan di rumah Uli yang terletak di areal Pasar Batu Gamalama.
“Buku-buku itu bisa dibaca oleh siapa saja,” kata pemuda yang pernah mengecap perkuliahan di Fakultas Sastra Universitas Khairun itu.
Andri menyadari, hidup di jalanan membuat ‘adik-adiknya’ dekat dengan tindak kriminalitas. Namun ia tahu betul cara mengubah sekaligus membentengi pola hidup mereka. Kreativitas adalah jawabannya. “Ketika kita berhasil mengulik sisi kreatif mereka, baik melalui tari, teater, nyanyi, bahkan ngaji yang sekarang rutin mereka lakukan dari rumah ke rumah, dengan sendirinya mereka tidak punya waktu untuk melakukan hal-hal yang berbau kriminal. Jadi kreativitas mengalahkan kriminalitas,” tandasnya.(kai/fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jika Memang Ingin Masuk surga, Mari Cintai Rosul
Redaktur : Tim Redaksi