Kisah Ibu Tua Berupaya Sembuhkan Dua Putranya dari Jerat Narkoba

Selasa, 03 Februari 2015 – 02:00 WIB
Konselor BNNK Surabaya Ditalia Ike Mufridah mendengarkan curahan hati Sulastri (membelakangi kamera). Foto: Miftahul/Jawa Pos

SULASTRI (60), ibu yang sudah sepuh itu berjuang membebaskan dua putranya dari jerat narkoba.
------------
Laporan Miftakhul Fahamsah, Surabaya
-----------
AIR mata menetes deras dari kelopak mata Sulastri Rabu siang itu (21/1). Ada sedih, haru, sekaligus kegembiraan.

”Semoga ini menjadi obat yang menyembuhkanmu, Nak,” ujarnya lirih sembari memeluk anaknya, Hamzah, di depan Kantor Badan Narkotika Nasional Kota (BNNK) Surabaya.

BACA JUGA: 2 Cara Ini Ditempuh Konsul Cantik Jepang Bertugas di Indonesia

Tidak ada kata yang meluncur dari bibir Hamzah. Dia hanya mengangguk sambil berlinang air mata. Perasaannya memang campur aduk. Perempuan 60 tahun tersebut harus melepaskan kepergian anak ketiganya itu ke Baddoka, Sulawesi Selatan. Hamzah akan menjalani rehabilitasi dari ketergantungan narkoba selama enam bulan.

Sulastri sungguh bersedih. Sebab, tiga bulan lalu, Hamzah baru dikarunia anak kedua. Tapi, di sisi lain, perempuan asal Semampir, Surabaya, itu juga merasa senang. Sebab, harapan untuk menyembuhkan Hamzah dari jerat narkoba mulai mendapatkan jalan.

BACA JUGA: Diplomat Jepang yang Cantik Itu Sudah Lama Jatuh Cinta pada Indonesia

Sejak mengetahui Hamzah mengonsumsi narkoba, hidup Sulastri tidak pernah tenang. ’’Begitu ada jalan dari BNN Surabaya, perasaan saya sedikit lega,” ungkap Sulastri. Mimpi melihat Hamzah kembali sehat kini terbentang lebar.

Sulastri mengisahkan, hatinya remuk begitu mengetahui Hamzah mengonsumsi narkoba tiga tahun silam. Saat itu Sulastri sedang menyapu kamar Hamzah di lantai 2 rumahnya. Setiap menyapu, dia mendapati botol dengan sedotan berserakan di dalam kamar.

BACA JUGA: Mengunjungi Panti Asuhan Khusus Wanita Korban Lelaki di Jakarta Timur

Ibu enam anak tersebut merasa curiga dengan benda-benda itu. Dia lantas membicarakan temuannya tersebut dengan anak perempuannya. Dari anak perempuannya itulah, Sulastri mendapat keterangan bahwa botol dan sedotan tersebut merupakan alat untuk mengisap sabu-sabu.

”Saat itu saya langsung lemas. Hati saya benar-benar remuk,” katanya. Air putih yang disodorkan putrinya kala itu terasa masam.

Sejak saat itu, makanan apa pun terasa tidak nikmat bagi Sulastri. Apalagi, ketika mengorek informasi dari Hamzah, dia mendapat keterangan bahwa anaknya tersebut akrab dengan sabu-sabu sejak dua tahun sebelumnya. Hati Sulastri semakin hancur begitu Hamzah menyebut adiknya, Budianto, juga pemakai sabu-sabu. Budianto adalah anak kelima Sulastri.

Kenyataan pahit itu tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Sulastri. Dia tidak menduga dua anaknya begitu akrab dengan narkoba. Sebab, perilaku keduanya selama ini sangat baik dan sopan.

Apalagi, Hamzah dan Budianto aktif berolahraga, terutama pencak silat. Dengan kegiatannya itu, pikir Sulastri, mustahil dua anak tersebut bisa berdekatan dengan narkoba.

”Sejak saat itu, begitu mendengar berita tentang kasus narkoba di televisi, badan saya selalu gemetar. Saya dihantui ketakutan anak saya ditangkap polisi,” akunya.

Sulastri juga takut kalau tetangganya mengetahui apa yang terjadi dengan dua anaknya itu. Selama ini keluarganya menjadi panutan para tetangga. Apalagi, Sulastri juga tercatat sebagai pengajar di salah satu sekolah di kawasan Surabaya Utara.

Di tengah ketakutan tersebut, Sulastri berusaha mencari cara untuk menyembuhkan dua anaknya. Sulastri lalu mengontrol ketat aktivitas dua anaknya. Bahkan, hampir setiap hari dia menyuapi Hamzah dan Budianto layaknya balita.

Beragam kata motivasi tidak pernah putus dibisikkan kepada dua buah hatinya itu. ”Kalau tidur juga saya keloni seperti bayi,” sebutnya. Khusus Hamzah, Sulastri masih memberi kebebasan untuk bercengkerama dengan anak dan istrinya.

Sulastri juga memenuhi segala keperluan Hamzah dan Budianto. Bahkan, hampir setiap hari, Hamzah diberi uang Rp 20 ribu–Rp 100 ribu.

”Saya melakukan itu agar jangan sampai mereka mencuri barang milik tetangga. Sebab, saya sering mendengar cerita bahwa orang kecanduan itu kerap mencuri agar bisa membeli narkoba,” jelasnya.

Meski selalu diperlakukan manis, Hamzah ternyata tetap bandel. Dia bahkan menjual motor orang tuanya demi membeli narkoba. Beberapa kali dia juga menjual benda-benda di rumah.

”Bapaknya pernah marah besar ketika tahu dia menjual motor. Tapi, saya langsung menengahi. Saya ajak dia ngobrol lagi. Saya keloni lagi seperti bayi,” bebernya.

Sulastri juga berulang-ulang membeli minuman kelapa hijau untuk Hamzah dan Budianto. Harapannya, air kelapa hijau itu bisa membersihkan racun di dalam tubuh anaknya. Dan, setiap membeli kelapa hijau, Sulastri harus berbohong kepada tetangganya. ”Kalau ditanya untuk apa, saya jawab untuk menyembuhkan pusing,” ujarnya.

Tidak hanya itu. Setiap berkumpul dengan koleganya, Sulastri kerap bertanya tentang penyembuhan narkoba. Namun, dia selalu berpura-pura seolah ada tetangganya yang terjerat narkoba dan ingin menolongnya.

”Padahal, yang saya ceritakan itu pengalaman anak sendiri. Tapi, setiap saat teman-teman justru mengingatkan untuk tidak ikut-ikutan membantu tetangga yang terkena narkoba karena bisa berurusan dengan polisi,” jelasnya.  

Kalau sudah begitu, bulu kuduk Sulastri langsung berdiri. Hatinya pun menjadi ciut. Lagi-lagi, ketakutan anaknya bakal dijebloskan ke penjara muncul.

Jalan bagi Sulastri untuk menyembuhkan anaknya datang dari salah seorang menantunya. Sang menantu menyebut bahwa Hamzah dan Budianto harus direhabilitasi. Untuk masuk rehabilitasi, Sulastri harus membawa keduanya ke BNNK Surabaya.

Kebetulan, di tempat mengajar menantu Sulastri tersebut, baru saja ada sosialisasi pencegahan dan penanggulangan bahaya narkoba. Pada saat yang sama, Hamzah juga menegaskan ingin sembuh.

Dia ingin menjalani kehidupan normal lagi setelah dikarunia anak kedua. ”Meski begitu, awalnya saya takut diajak ke BNNK Surabaya. Sebab, jangan-jangan anak saya nanti malah ditangkap,” ujarnya polos.

Akhirnya, yang berangkat ke BNNK Surabaya adalah istri Hamzah dan sang menantu yang memberi saran tadi. Mereka pun mendapat penjelasan panjang lebar tentang penanganan pecandu narkoba. Keterangan itu disampaikan ke Sulastri.

Pada pertengahan Desember lalu, Sulastri akhirnya datang ke BNNK Surabaya. Kepada petugas BNNK, dia memaparkan kondisi anaknya. Sulastri lantas datang lagi dengan dua anaknya yang sudah menjadi budak narkoba.

BNNK Surabaya kemudian memutuskan untuk memfasilitasi Hamzah agar menjalani rehabilitasi ke Baddoka. Rabu dua pekan lalu, Hamzah diterbangkan ke Baddoka. ”Kepada tetangga saya katakan anak saya bekerja ke Sulawesi,” sebutnya.

Dengan kepergian Hamzah, Sulastri kini sedikit lega. Tapi, hidupnya belum benar-benar tenang karena Budianto belum direhabilitasi. Padahal, Budianto lebih dulu mengenal narkoba. Budianto pula yang memperkenalkan sabu-sabu kepada Hamzah.

”Rasa waswas itu (takut ditangkap polisi) masih ada. Semoga saja anak saya yang satu ini juga bisa segera lepas dari narkoba,” harapnya.

Kalaupun tidak menjalani rehabilitasi seperti Hamzah, dengan konseling yang rutin bersama petugas BNNK Surabaya, Budianto bisa terbebas dari jerat narkoba. Sebab, meski lebih dulu mengenal narkoba, tingkat ketergantungan Budianto belum separah Hamzah. (*/c7/oni)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Perasaan Wanita Cantik Ini Campur Aduk saat Hadapi Ombak Ganas


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler