Kisah Inspirasi Dewi Astuti Merintis Bisnis Sustainable Batik dan Zero Waste

Selasa, 08 Agustus 2023 – 20:27 WIB
Dewi Astuti membuat banyak orang terinspirasi dengan kisahnya membangun bisnis fesyen di bawah merek Ghawean Dewe. Foto: source for jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Dewi Astuti membuat banyak orang terinspirasi dengan kisahnya membangun bisnis fesyen di bawah merek Ghawean Dewe.

Ghawean Dewe artinya bikinan alias buatan Dewe. Dewe diambil dari nama panggilan yang disematkan orang-orang terdekat kepada Dewi.

BACA JUGA: Inkubasi Bisnis Menjadikan Perempuan Mandiri, UMKM Naik Kelas

Melalui Ghawean Dewe, Dewi menuangkan kreativitasnya menciptakan produk fesyen dan aneka aksesori berbahan batik, serta kecintaannya kepada anak-anak. Ghawean Dewe memasarkan baju dan aksesori untuk anak-anak hingga remaja.

Tak hanya berbisnis, Dewi juga memperhatikan aspek lingkungan dalam menjalankan usahanya.

BACA JUGA: Gairahkan Industri Bisnis Nasional, Halal Fair Jakarta 2023 Gandeng 200 Pelaku Usaha

Perempuan 36 tahun itu, mengusung konsep sustainable batik alias batik berkelanjutan dan zero waste, untuk mengurangi limbah batik.

Dewi memastikan limbah atau sisa kain batik hingga bagian terkecilnya “disulap” menjadi berbagai produk.

BACA JUGA: Gelar Public Hearing, SMK-PP Kementan Sosialisasi Inkubator Bisnis ke Stakeholder

Salah satunya yang paling diminati adalah boneka batik yang diolah dari kain perca.

Boneka batik ini bahkan diminati oleh pembeli dari Jepang saat pameran Festival UMKM Merdeka yang diikutinya melalui program pemberdayaan UMKM PT HM Sampoerna Tbk. (Sampoerna), yaitu Sampoerna Enterpreneurship Training Center (SETC).

Festival UMKM Merdeka diadakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) pada 28 Juli-1 Agustus 2023 di Grand Indonesia, Jakarta.

Dewi menjelaskan, pilihan menerapkan konsep zero waste atas kain-kain batik sisa produksi karena ingin berkontribusi mengurangi jumlah sampah/limbah batik.

“Kami mengusung konsep sustainable batik yang merupakan upaya dan inovasi untuk memproduksi produk dengan tidak membuang sisa-sisa hasil produksi. Sisa-sisa hasil produksi tersebut diolah menjadi berbagai produk seperti batik anak, aksesori, tas, dan produk batik lainnya yang ramah lingkungan dan tetap menjaga nilai budaya Indonesia,” papar Dwi.

Di tangan Dewi, kain-kain perca batik itu diolah kembali menjadi produk berdaya guna hingga bagian terkecilnya.

“Sampai potongan terkecil menjadi kalung anak. Walau dari limbah kain, tapi tetap aman dan nyaman karena produk Ghawean Dewe telah memiliki sertifikat SNI,” kata dia.

Produk yang dihasilkan Ghawean Dewe juga memperhatikan kualitas hingga bisa diturunkan kepada generasi berikutnya. Ia mencontohkan, pakaian bisa “dilungsurkan” kepada adik atau saudara, demikian pula boneka dan aksesori lainnya. Di sinilah prinsip berkelanjutan (sustainable) itu terjadi.

Membangun Bisnis sejak Kuliah

Bisnis yang dijalani Dewi saat ini merupakan buah dari ketekunan dan passion yang dirawatnya sejak dari bangku kuliah. Jalan dan cerita yang panjang.

Dewi mengisahkan, ia belajar memasarkan dan menjual produk kreasi temannya saat kuliah karena kebutuhan untuk bertahan hidup. Dewi dan temannya, yang saat itu kuliah di salah satu perguruan tinggi di Padang, Sumatera Barat, tak bisa hanya mengandalkan uang kiriman orangtuanya.

Melihat produk-produk kreasi temannya, Dewi mengajaknya berkolaborasi dan berperan menjual produk tersebut.

“Teman saya itu bisa bikin produk seperti bros, apa pun yang dari kain. Tetapi dia enggak bisa jualan. Jadi saya yang jual,” katanya mengenang perjuangan masa lalu.

Awalnya, ada rasa malu karena tak ada mahasiswa lain yang berdagang di kampusnya. Namun, Dewi mengalahkan rasa malu itu. Akhirnya, bisnis itu terus berkembang dan pesanan juga meningkat.

Selepas kuliah, Dewi bekerja sebagai pegawai swasta. Akan tetapi, hasrat berbisnisnya tak surut. Sembari bekerja, Dewi mengasah kemampuannya berbisnis dan menghasilkan produk buatan tangan berbahan kain.

Sekian tahun berjalan, setelah menikah, Dewi dan suaminya melakukan riset sebagai landasan demi mengembangkan usahanya. Berdasarkan hasil dari risetnya, Dewi memutuskan untuk berkecimpung di bisnis batik untuk anak-anak dan berhenti dari perusahaan tempatnya bekerja pada 2017. Dewi mulai serius membangun Ghawean Dewe dengan pasokan batik dari perajin di Pekalongan.

Pada 2017 hingga 2019, ia membuka toko di Thamrin City, Jakarta. Kini usaha Dewi semakin berkembang dengan membuka outlet di dua lokasi di Jakarta, Pacific Place Mall dan Alun-Alun Grand Indonesia. Produk yang dijual pun semakin beragam, dengan kisaran harga mulai Rp 50.000 hingga Rp 350.000.

Menjadi pelatih untuk kewirausahaan

Setahun terakhir, Dewi bergabung dan mendapatkan pembinaan Sampoerna Enterpreneurship Training Center (SETC). SETC merupakan program pemberdayaan UMKM yang digagas PT HM Sampoerna Tbk. di bawah Payung Program Keberlanjutan “Sampoerna Untuk Indonesia” (SUI).

Dewi pun terpilih mengikuti Training of Trainer (ToT) bersama 45 UMKM dari seluruh Indonesia. Mereka dilatih untuk menjadi pelatih dan mentor bagi para pelaku UMKM.

“Saya pendamping UMKM, ada yang dari Semarang, Surabaya, dan Malang. Dari sini, saya semakin mengenal lebih dalam SETC, dan saya salut sekali dengan program Sampoerna ini. SETC ini serius untuk membantu, memacu semangat UMKM, dan bikin pengen maju, go international,” kata dia.

Setelah bergabung dengan SETC, Dewi semakin terpacu untuk mengembangkan diri dan usahanya, terutama kembali mengaktifkan pemasaran melalui media digital.(mcr10/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Bisnis   Fesyen   Sampoerna   produk   UMKM   batik   zero waste  

Terpopuler