Kisah Jurnalis AS Meliput di Korut, Jendela Selalu Ditutup

Minggu, 27 Mei 2018 – 08:04 WIB
Jurnalis internasional meliput penghancuran fasilitas uji coba nuklir Korea Utara di Punggye-ri. Foto: KCNA/EPA

jpnn.com, SEOUL - Koresponden CNN Will Ripley sudah 18 kali berkunjung ke Korea Utara (Korut). Tapi, kunjungan terakhirnya awal pekan lalu sangat berbeda.

Ripley berada dalam rombongan yang berisi sekitar 20 jurnalis dari Amerika Serikat (AS), Inggris, Tiongkok, dan Rusia. Mereka diundang untuk melihat penghancuran tempat uji coba nuklir di Punggye-ri, Korut.

BACA JUGA: Hancurkan Fasilitas Nuklir, Korut Cuma Pencitraan?

Pesawat yang mereka tumpangi tak mendarat di Pyongyang seperti biasanya. Pesawat sewaan itu landing di Wonsan yang berjarak 370 kilometer dari ibu kota pada Selasa (22/5).

Bandara Wonsan tampak baru direnovasi. Warna merah dan biru seperti bendera Korut mendominasi berbagai sudut. Ripley memperkirakan pemerintah Korut berencana menjadikan kota yang terletak di tepi pantai tersebut sebagai tujuan wisata. Itu tergambar dari banyaknya hotel untuk turis asing yang bermunculan.

BACA JUGA: Korut Ledakkan Fasilitas Uji Coba Nuklir Punggye-ri

Kalma Hotel yang disiapkan untuk tempat menginap para jurnalis itu masih sepi. Mereka plus pegawai Korut yang ditugaskan sebagai pendamping adalah satu-satunya rombongan yang menginap.

Sebelum berangkat, isi tas mereka digeledah. Satu-satunya yang diambil adalah alat pengukur radiasi.

BACA JUGA: Korut Tak Mau Bernasib Seperti Libya

”Kami berangkat ke lokasi uji coba nuklir Punggye-ri beberapa menit lagi. Sampai ketemu lagi saat kami sudah selesai,” cuit Ripley sesaat sebelum meninggalkan hotel di Wonsan.

Delapan jurnalis Korsel baru dapat izin pada detik terakhir. Tepatnya setelah Presiden Korsel Moon Jae-in bertemu dengan Presiden AS Donald Trump untuk meyakinkan bahwa pertemuan dengan Korut bisa tetap berlangsung. Mereka langsung ikut rombongan untuk naik KA ke Punggye-ri.

Perjalanan menuju Punggye-ri itu tak gratis. Mereka harus membayar sendiri tiket kereta dan makanan. Harga tiket KA mencapai USD 75 per orang atau Rp 1 juta. Per porsi makanan dihargai USD 20 (Rp 282 ribu). Perjalanan dengan kereta itu ditempuh dalam waktu 11–12 jam.

Pemerintah Korut sepertinya tak ingin rombongan pewarta tersebut melihat kondisi riil penduduk lokal. Sepanjang perjalanan, jendela kereta ditutup dengan kain yang tak tembus pandang. Mereka diwanti-wanti untuk tak membukanya.

Sepertinya tak ada satu pun jurnalis yang membangkang. Korut tak pernah pandang bulu terhadap orang yang dianggap melanggar aturan. Bayangan bakal menjadi tawanan kerja paksa Korut tentu cukup menakutkan.

Setelah turun dari kereta, rombongan tersebut masih harus melanjutkan perjalanan dengan bus selama setidaknya empat jam. Perjalanan panjang itu dilanjutkan dengan pendakian ke lokasi. Perjalanan kian berat karena malam sebelumnya hujan deras mengguyur wilayah pegunungan tersebut.

Sesampai di lokasi, mereka diperbolehkan untuk melihat pintu masuk terowongan tempat uji coba nuklir. Saat itu seluruh bagian terowongan sudah dipasangi kabel-kabel yang terhubung dengan bahan peledak.

Setelah menginspeksi sebentar, mereka diminta untuk menjauh dan naik sekitar 500 meter dari lokasi penghancuran. Begitu semua sudah berada di posisi, terowongan itu diledakkan satu per satu. Petugas menyatakan tidak ada kebocoran radiasi. Benar atau tidaknya, tidak ada yang tahu. (sha/c11/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Korut Ngambek, AS dan Korsel Diancam


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler