SELAMA lebih dari 2,5 bulan, ratusan kru AirAsia mengemban tugas yang tidak mudah, yakni menjadi pendamping atau caregiver keluarga korban QZ8501 yang jatuh di sekitar Selat Karimata, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Berbagai cerita mewarnai tugas mereka.
------------------
Laporan GUNAWAN SUTANTO, Jakarta
------------------
MINGGU, 28 Desember 2014, jarum jam menunjuk pukul 09.00. Namun, Anggi masih enggan beranjak dari tempat tidurnya. Dia masih ingin bermalas-malasan karena hari itu sedang libur. Remote TV yang tidak jauh dari dirinya digapai untuk mencari hiburan pagi.
Bukan hiburan yang didapatnya pagi itu. Dia terhenyak ketika membaca running text di televisi yang menyatakan pesawat AirAsia QZ8501 hilang dari radar.
BACA JUGA: Kenangan Kru AirAsia yang Menjadi Pendamping Keluarga Korban QZ8501
''Awalnya, saya tidak berpikir jauh (tentang berita itu). Saya mengira mungkin hanya error di radar. Tapi, setelah lebih dari tiga jam tidak ada kabar, saya langsung lemas,'' ujar pemilik nama lengkap Anggi Lestari Kusnadi itu ketika ditemui di kantor pusat AirAsia, Jakarta, Rabu (1/4).
Dia tidak menyangka pesawat AirAsia QZ8501 benar-benar mengalami musibah. ''Pasalnya, sudah 10 tahun saya kerja di AirAsia dan di AirAsia inilah menurut saya yang paling straight terhadap pengecekan safety. Saya pernah kerja di maskapai lain, tapi tidak seperti di AirAsia,'' kenang pramugari yang kini menjadi flight attendant instructor di AirAsia tersebut.
BACA JUGA: Mengenal Trio Paramita, Tiga Bersaudara Gemologist Indonesia
Setelah mendengar berita itu, Anggi langsung menghubungi kantornya. Dia mempersiapkan diri untuk tugas dadakan yang mungkin dibutuhkan dari dirinya. Benar saja, dua hari setelah kejadian atau 30 Desember 2014, dia mendapat tugas ke Surabaya.
Dia ditunjuk menjadi caregiver di crisis center untuk mendampingi para keluarga korban. Anggi bergabung dengan 120 kru AirAsia lain sebagai pendamping keluarga korban secara bergantian.
BACA JUGA: Gong Home, Pabrik Alat Musik Tradisional Tujuh Turunan
Menurut Anggi, awalnya sangat tidak mudah masuk ke keluarga korban. Maklum, suasana batin keluarga korban sedang teraduk-aduk oleh kondisi yang berkembang. Terlebih ketika korban belum ditemukan. Tak heran bila Anggi sampai kena marah keluarga korban.
Namun, dia bisa memaklumi karena emosi keluarga korban memang sedang labil. Apalagi pada hari-hari awal kejadian informasi yang berkembang simpang siur. Akibatnya, salah omong atau salah bersikap sedikit saja bisa membuat keluarga korban emosional.
Anggi pun berupaya agar tidak menambah emosi keluarga korban. Salah satu trik dia adalah menunjukkan empati, tidak banyak bertanya, namun sigap menjawab apa yang dibutuhkan keluarga yang didampingi.
Dia juga berupaya menggali data tentang keluarga yang didampingi sedetail-detailnya. ''Tujuannya, saya tidak menanyakan hal-hal yang sebelumnya ditanyakan kru AirAsia lainnya. Kan sebel juga kalau ditanya berulang-ulang tentang hal yang sama. Apalagi saat itu mereka masih dalam kondisi ketidakpastian,'' ungkap perempuan kelahiran Bogor, 5 Agustus 1982, tersebut.
Hal yang sama dilakukan pramugara senior AirAsia Mochamad Hayyat. Dia juga rajin ke posko psikologi di Crisis Center Mapolda Jatim, Surabaya. ''Saya biasanya perlu konsultasi dan sharing dengan teman-teman psikolog agar bisa masuk ke keluarga korban,'' terangnya.
Para caregiver bertugas mengikuti jam operasi crisis center, yakni pukul 09.00 sampai 18.00. Ada sekitar 120 kru yang disiapkan sebagai caregiver. Mereka berasal dari lintas bagian di kantor Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, serta Medan. Latar belakang mereka mulai pilot, pramugari-pramugara, enggineer, sampai para staf ground handling.
Meski jam kerjanya mengikuti operasi crisis center, tidak jarang para caregiver dihubungi keluarga korban di luar jam kerja. Biasanya mereka menanyakan informasi yang simpang siur di media massa. '
"'Saya sering ditelepon malam-malam yang menanyakan kepastian jumlah keluarga yang ditemukan atau berhasil diidentifikasi. Sebab, saat itu, sering yang disampaikan media berbeda-beda jumlahnya,'' ujar Hayyat.
Saat itu, Hayyat mendampingi keluarga korban yang kehilangan empat anggota keluarga. Tiga di antara mereka sudah ditemukan dan teridentifikasi. Sementara itu, keluarga yang didampingi Anggi lebih mengenaskan. Mereka kehilangan dua anggota keluarga (suami istri) yang hingga kini belum ditemukan.
Saking intensifnya pendampingan, hubungan antara keluarga korban dan tim caregiver jadi sangat dekat. Tidak jarang keluarga korban sampai membawakan makanan untuk Anggi.
''Kami jadi dekat. Saya sering dibawakan makanan khas Surabaya dan diajak makan bersama di crisis center. Salah satu yang saya suka, tahu tek,'' kenang perempuan yang pernah bertugas di Surabaya itu.
Hayyat juga pernah mendapat pengalaman serupa. Seorang anggota keluarga korban yang didampinginya membawakan cokelat. ''Katanya, titip untuk anak saya,'' ujarnya. Keluarga itu, rupanya, iba kepada Hayyat yang berminggu-minggu meninggalkan anaknya di Jakarta untuk tugas di Crisis Center Mapolda Jatim, Surabaya.
''Bukan hanya itu. Ada teman kami yang asal Denpasar sampai diundang ke Surabaya untuk ikut perayaan Imlek oleh keluarga korban yang pernah didampinginya,'' imbuh Trixia Citrawardhini, deputy chief flight in-flight experience, yang saat tragedi AirAsia QZ8501 bertindak sebagai koordinator caregiver.
Cici –sapaan Trixia– menjelaskan, para caregiver tidak hanya mendampingi di crisis center. Mereka juga ikut mengantarkan jenazah para korban hingga pemakaman atau tempat kremasi. Pada saat-saat seperti itulah keharuan selalu muncul.
''Saat seperti itu, sering keluarga mengucapkan terima kasih kepada para caregiver. Mereka juga berharap persaudaraan yang sudah terjalin tetap terjaga,'' ujar Cici yang kerap hadir mewakili pimpinan AirAsia dalam upacara pemakaman atau kremasi korban QZ8501.
Meski saat ini operasi pencarian berakhir, para caregiver tetap menjalin kontak dengan keluarga korban yang didampingi. Tujuannya, mereka tetap bisa memenuhi kebutuhan informasi yang diinginkan para keluarga korban. Terutama keluarga penumpang yang jenazahnya belum ditemukan.
Sebagaimana ditegaskan Dirut AirAsia Indonesia Sunu Widyatmoko, meski operasi Badan SAR Nasional (Basarnas) sudah resmi dihentikan, pihaknya masih berupaya memfasilitasi keinginan keluarga korban. Salah satunya keinginan keluarga korban yang jenazahnya belum ditemukan. Mereka berharap pencarian dilakukan lagi di dua titik di sekitar lokasi jatuhnya pesawat di Selat Karimata.
Jawa Pos sempat merekam momen-momen kedekatan sejumlah caregiver dengan keluarga korban saat prosesi tabur bunga di Muara Sungai Kumai, Minggu (22/3). Saat itu, tidak sedikit caregiver yang gayeng ngobrol dan bercanda dengan keluarga korban yang pernah didampingi.
Di dek kapal Muara Sungai Kumai, ada pula momen saat seorang caregiver membantu para keluarga korban berfoto ria dengan latar pemandangan laut. Saat prosesi upacara dan tabur bunga, mereka juga hanyut dalam tangis. Mereka berupaya saling menguatkan. Sebab, para caregiver juga kehilangan tujuh kawan, sesama kru QZ8501. Tidak satu pun kru yang selamat. Bahkan, jasad pilot Kapten Iriyanto hingga kini belum ditemukan.
Salah satu keluarga korban QZ8501, Lucas Joko Pramudyono, mengungkapkan, sejauh ini para caregiver yang melayani cukup responsif. ''Salah satunya meneruskan permintaan keluarga korban agar operasi diperpanjang,'' ujarnya.
Pria asal Malang yang kehilangan anggota keluarganya yang bernama Nanang Priyo Widodo itu mengaku tidak mudah menghapus duka kehilangan orang-orang tercinta. Namun, Tuhan telah mengirimkan keluarga baru. Salah satunya kehadiran para caregiver yang selama ini mendampingi mereka. (*/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bahkan Ada yang Berteriak, Hidup Malaysia!
Redaktur : Tim Redaksi