jpnn.com - Gemologist termasuk profesi langka. Di Indonesia, jumlah ilmuwan batu mulia bersertifikat itu bisa dihitung dengan jari. Di antara yang sedikit tersebut, ada tiga putri Mahardi Paramita, gemologist legendaris yang sudah tutup usia pada 2009. Bagaimana liku-liku profesi itu?
Laporan Ahmad Baidhowi, Jakarta
BACA JUGA: Gong Home, Pabrik Alat Musik Tradisional Tujuh Turunan
RUANG tunggu Adamas Gemological Laboratory tampak penuh. Tujuh orang duduk di kursi, satu orang berdiri di pojok ruang seluas 3 x 3 meter itu. ’’Kami lagi antre diperiksa, dokternya di dalam,’’ ujar salah seorang di antara mereka. Mimik tegang tergambar di wajah orang-orang tersebut. Maklum, mereka tengah menunggu hasil diagnosis dari ’’dokter’’.
Tapi, bukan penyakit yang diperiksa sang ’’dokter’’, melainkan batu mulia yang mereka bawa. ’’Dokter’’ yang memeriksa pun bukan sembarang dokter, melainkan gemologist atau ahli batu mulia. Jika hasil diagnosis menyatakan batu mulia yang didiagnosis asli, mereka bisa pulang dengan wajah lega. Sebaliknya, jika batu mulia itu dinyatakan palsu atau sintetis, siap-siap saja mereka menanggung kecewa.
BACA JUGA: Bahkan Ada yang Berteriak, Hidup Malaysia!
Sumarni Paramita, gemologist senior di Adamas Gemological Laboratory, mengatakan bahwa berdasar tren hasil tes, 40–50 persen batu mulia yang dibawa klien ke laboratorium diketahui palsu. Padahal, banyak di antara batu mulia itu dibeli dengan harga jutaan rupiah, pemberian atau hadiah, hingga warisan orang tua.
’’Karena itu, gemologist punya peran vital untuk menyetop siklus peredaran batu mulia palsu,’’ ujarnya saat ditemui Jawa Pos di kantor Adamas Gemological Laboratory, kompleks Harmoni Plaza, Jakarta Pusat, Senin (30/3).
BACA JUGA: Jeck Kurniawan Siompo Pui, Koreografer Papua yang Mendunia
Sumarni adalah putri sulung Mahardi Paramita. Bersama dua adiknya, Leticia Paramita dan Delfina Paramita, dia mengelola Adamas Gemological Laboratory yang didirikan ayahnya pada 1983 serta Institute Gemology Paramita yang mulai dibuka pada 1989.
Sepeninggal sang ayah, Sumarni menjadi salah seorang gemologist paling senior dan berpengalaman di Indonesia. Sejak kecil, perempuan berusia 42 tahun itu sebenarnya familier dengan dunia batu mulia. Neneknya, Khema Gunawati, berdagang batu mulia mulai 1970-an.
Usaha itu lantas dilanjutkan ayahnya, Mahardi. Namun, setelah meraih gelar sarjana dari Hawaii University dan gelar graduate gemologist dari Gemological Institute of America (GIA) pada 1981, Mahardi fokus pada pengembangan laboratorium dan institusi pendidikan gemologi di Indonesia.
Sumarni mulai aktif menggeluti dunia batu mulia pada 1990, saat usianya masih 17 tahun. Awalnya dia mengaku sekadar ingin membantu ayahnya yang kerepotan mengelola laboratorium dan institut sekaligus. ”Setelah serius menggeluti, saya jadi tertarik. Sebab, ini profesi unik dan menantang,” katanya.
Selain belajar langsung dari sang ayah, pada 1994 Sumarni membekali diri dengan pendidikan formal di dua sekolah gemologi sekaligus, yakni GIA dan Asian Institute of Gemological Science (AIGS). Keduanya memiliki kampus di Bangkok, Thailand. Biaya pendidikan di dua sekolah ternama itu tidak murah, sekitar USD 20 ribu atau Rp 260 juta (kurs Rp 13.000 per 1 USD).
Menurut Sumarni, industri batu mulia Thailand memang jauh lebih maju daripada Indonesia. Bahkan, Bangkok kini menjadi pusat perdagangan batu permata dunia. Bangkok hanya kalah oleh Hongkong yang menjadi pusat perdagangan berlian dunia. ”Dibanding Thailand, industri batu mulia kita tertinggal 30 tahun,” jelas dia.
Selain dari sisi perdagangan, Indonesia kalah dari sisi ilmuwan atau gemologist. Apalagi, jumlah gemologist bersertifikat di Indonesia masih sedikit. Itu pula yang mendorong pengembangan Institute Gemology Paramita. Meski pelajaran yang diberikan tidak sekomprehensif di GIA dan AIGS yang membutuhkan waktu belajar intensif hingga delapan bulan, Institute Gemology Paramita setidaknya bisa memberikan pengetahuan dasar bagi para pedagang dan pencinta batu mulia untuk mengenali barang asli atau palsu.
Ada empat jenis utama batu mulia dengan grade atau tingkat tertinggi, yakni berlian, ruby, sapphire, dan emerald. Sumarni mengatakan, mempelajari berlian lebih rumit daripada batu permata lainnya. Misalnya, untuk pengetahuan dasar tentang berlian, dibutuhkan sepuluh kali pertemuan perkuliahan, masing-masing tiga jam, untuk mempelajari faktor 4C. Yakni clarity (kejernihan), color (warna), cut (potongan), dan carat (karat).
Pengetahuan dasar itu juga menjadi metode penentuan berlian asli atau palsu. Sedangkan untuk mempelajari batu permata seperti ruby, sapphire, dan emerald, dibutuhkan dalam tiga kali pertemuan, masing-masing tiga jam.
Menurut Sumarni, seiring majunya teknologi, proses identifikasi batu permata juga kian sulit karena makin banyak batu permata sintetis yang mirip sekali dengan aslinya. Misalnya, dengan penambahan serat batu, yang palsu terlihat seperti batu asli. Apalagi, banyak beredar batu palsu yang mengalami proses treatment di laboratorium untuk meningkatkan kualitasnya. ”Jenis batu aspal (asli tapi palsu) ini sulit diidentifikasi,” ujarnya.
Identifikasi batu sintetis bisa dilakukan dengan alat sederhana seperti lup atau kaca pembesar dan lampu sorot. Namun, untuk batu sintetis yang diolah di laboratorium atau batu ”aspal”, identifikasi dengan alat-alat standar tidak akan cukup. Itulah yang membuat batu-batu palsu kian beredar, bahkan di kalangan pedagang atau kolektor.
Karena itu, dibutuhkan alat-alat diagnosis yang lebih canggih. Contohnya, monochromatic light, fiber optic light, dichroscope, specific gravity balance, cairan specific grafity, hingga alat canggih terbaru semacam UV-VIS-NIR spectrophotometer dan fourier transform infrared spectrophotometer (FTIR) yang harganya miliaran rupiah.
Dengan alat-alat canggih itulah, proses identifikasi batu bisa mencapai tingkat keakuratan sangat tinggi. Sumarni menyebutkan, sehebat-hebatnya batu sintetis atau batu permata asli tapi palsu yang dipoles di laboratorium, tetap akan ada cacat yang bisa dilihat. ”Sebab, yang asli terbentuk ribuan tahun di alam, sedangkan yang palsu hanya dibentuk beberapa hari di laboratorium,” katanya.
Meski secara tren diketahui ada 40–50 persen batu permata palsu yang ditemukan melalui identifikasi di laboratorium, persentase itu bisa melonjak. Misalnya, saat Jawa Pos diajak masuk ke laboratoium Adamas, ada enam batu permata yang baru saja selesai diidentifikasi. Hasilnya, lima batu dinyatakan palsu atau sintetis, sedangkan satu batu dinyatakan asli tapi sudah mengalami proses pemolesan alias ”aspal”.
Untuk batu-batu yang diketahui palsu, gemologist akan mengeluarkan memo atau catatan hasil cek laboratorium. Namun, jika hasilnya dinyatakan asli, pemilik batu bisa meminta memo atau sertifikat keaslian.
Biaya yang harus dikeluarkan pemilik untuk memeriksakan batu permatanya beragam, mulai Rp 100 ribu hingga jutaan rupiah, bergantung jenis, berat, serta tingkat kerumitan. Sumarni mengungkapkan, dengan alat-alat canggih yang dimiliki laboratorium milik keluarganya, proses identifikasi batu hanya memakan waktu sekitar 30 menit. ”Tapi, kalau agak rumit, bisa sampai tiga jam,” ujarnya.
Sumarni mengatakan, sepanjang 25 tahun karirnya sebagai gemologist, rekor batu permata yang pernah ditelitinya adalah berlian 40 karat milik kolektor dari Jakarta. Meski dia tidak menanyakan harga kepada si pemilik, nilai berlian dengan spesifikasi tersebut bisa lebih dari Rp 2 miliar.
Sebagai gemologist, Sumarni memang tidak pernah bertanya kepada klien tentang harga batu permata milik mereka ataupun asal usulnya. ’’Tapi, kadang ada juga klien yang cerita-cerita sendiri,” ujarnya.
Di Adamas Gemological Laboratory dan Institute Gemology Paramita, Sumarni dibantu dua orang adiknya, Leticia Paramita, 36, dan Delfina Paramita, 35. Keduanya juga lulusan GIA di Bangkok.
Leticia mengakui, ketertarikan masyarakat pada gemologi makin besar. Itu terlihat dari kian banyaknya masyarakat yang mendatangi laboratorium gemologi. Selain Adamas yang menjadi pionir, saat ini mulai bermunculan laboratorium gemologi di Jakarta dan beberapa kota besar lain.
”Murid kami beragam, mulai pedagang batu permata, kolektor, pegawai pegadaian, bahkan ada beberapa yang dari luar negeri seperti Malaysia, Singapura, dan Rusia,” tutur dia.
Menurut Leticia, ilmu gemologi juga terus berkembang. Karena itu, dia selalu menyempatkan ikut konferensi atau seminar tentang batu permata di berbagai negara seperti Tiongkok dan Thailand, termasuk pendidikan lanjutan workshop advance gemology di GIA Diamond Cut Grading System for Round Brilliant Diamonds di Hongkong. Juga, advanced techniques in gemology di Jepang.
Delfina menambahkan, booming batu akik dalam tiga tahun terakhir membuat minat masyarakat untuk belajar gemologi kian tinggi. Bahkan, kini banyak pemerintah daerah penghasil batu akik yang menyekolahkan pegawai dinas pertambangan dan energi di daerahnya. ”Batu akik kan masuk kategori batu mulia,” ujar gemologist yang memiliki spesialisasi bidang desain perhiasan tersebut.
Sumarni mengakui, ilmu tentang batu akik sebenarnya sudah ada dalam materi-materi pelajaran gemologi. Namun, kini dia harus belajar lagi mengenali jenis-jenis batu akik yang memiliki beragam nama sesuai daerah asalnya. Sebab, makin banyak masyarakat dari berbagai daerah yang ingin mengetahui keaslian batu akik karena harganya juga mencapai jutaan rupiah.
Bahkan, saat ini sekitar 30 persen batu yang masuk ke Adamas Gemological Laboratory adalah batu akik. Sedangkan 70 persen lainnya jenis berlian, ruby, sapphire, dan emerald. ’’Booming batu akik ini jadi berkah bagi kami, makin laris,’’ katanya, lantas tertawa. (*/c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Perempuan Bertahan Hidup dengan Satu Paru-paru
Redaktur : Tim Redaksi