Kisah Kepala Daerah yang Sukses Menjinakkan Bencana

Dulu Meratap, Sekarang Pasang Spanduk Selamat Datang Banjir

Rabu, 05 Februari 2014 – 00:00 WIB

jpnn.com - Pemimpin memiliki beragam cara untuk menyikapi bencana. Ada yang meratapi. Sebagian lagi menjadikan bencana sebagai kesempatan untuk menonjolkan diri. Tidak sedikit pula yang memilih bekerja keras memberikan solusi.

= = = = = = = = =

BACA JUGA: Berjuluk James Bond Melayu, Kepalanya Dihargai USD 50 Ribu

SEPANJANG  Januari 2014, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, telah terjadi 203 kejadian bencana dengan korban jiwa mencapai 138 orang. Bencana mulai banjir, tanah longsor, gempa, hingga letusan gunung berapi juga membuat 1,2 juta jiwa mengungsi.

Daratan Karo di Sumatera Utara, Manado di Sulawesi Utara, dan DKI Jakarta tercatat sebagai daerah penyumbang jumlah korban dan pengungsi terbesar. Angka-angka itu diperkirakan terus bertambah seiring dengan cuaca yang masih tidak bersahabat.

BACA JUGA: Ingin Pelajar Bangga Pakai Sepatu Merek Indonesia

Bupati Bojonegoro Suyoto mengakui daerahnya tidak pernah absen dari daftar daerah rawan bencana seperti tiga daerah tersebut. Namun, upaya keras rakyat bersama pemerintah kabupaten untuk mengurangi dampak bencana membuat tingkat kerusakan dan jumlah korban semakin berkurang.

Bahkan, karena persiapan yang matang, mulai tahun ini warga Bojonegoro percaya diri memasang spanduk bertulisan Selamat Datang Banjir di bendungan gerak Kalitidu dan Trucuk. "Itu simbol kami sudah bersahabat dengan banjir," ujarnya saat ditemui pekan lalu.

BACA JUGA: Mimpi Besarnya, Indonesia Kirim Delegasi Memory Sport Terbanyak

Menurut Kang Yoto, panggilan akrab Suyoto, Bojonegoro harus menerima takdir geografis di sekitar daerah aliran Sungai Bengawan Solo. "Jika musim hujan dan air Bengawan Solo meluap, lebih dari separo wilayah Bojonegoro berubah menjadi seperti danau," ungkapnya.

Ketika musim kemarau datang, bencana banjir berganti menjadi kekeringan. Sawah berubah menjadi lahan pecah-pecah. "Itu (kondisi) masa lalu yang harus menjadi pelajaran," tegasnya.

Sejak menjabat bupati pada 2008, Kang Yoto menggencarkan berbagai program untuk mengatasi dampak bencana tahunan sekaligus mendongkrak daya saing. "Kami tidak boleh pasrah. Kami harus selalu berusaha mencari cara agar bencana boleh tetap datang, tapi Bojonegoro terus maju," katanya.

Dalam pembenahan infrastruktur, pemkab mengganti permukaan jalan yang awalnya aspal menjadi balok paving. "Aspal itu musuhnya air. Jadi, nggak cocok di Bojonegoro," terang mantan rektor Universitas Muhammadiyah Gresik tersebut.

Selain itu, jalan paving hanya butuh biaya seperlima jalan aspal. Meskipun banyak ditentang, termasuk oleh DPRD, program tersebut sukses mengurangi kerusakan jalan desa di Bojonegoro. Bahkan, daerah itu mendapat penghargaan internasional, yakni Sustainable Development Initiative Award 2013.

Sementara itu, untuk mengatasi kekeringan, diluncurkan program seribu embung atau waduk mini guna menyimpan air tanah. Program tersebut sukses memunculkan komoditas agro di luar padi dan tembakau sebagai andalan Bojonegoro. Misalnya, belimbing, jambu, pisang, salak, dan produk hortikultura lainnya.

Bersamaan dengan pembangunan bendungan, serangkaian upaya pembangunan infrastruktur jalan dan pengairan itu membuat produksi beras Bojonegoro semakin melimpah. Hingga akhir tahun lalu, surplus beras mencapai 500 ribu ton. "Kami kini siap mewujudkan daerah lumbung pangan selain lumbung energi dari eksplorasi minyak bumi di Bojonegoro Barat," tegas Kang Yoto.

Jaga Pompa

Kala banjir menggenangi sejumlah daerah seperti Jakarta dan beberapa kota di Jawa Tengah, Surabaya justru aman. Puncak hujan pada akhir Desember hingga Januari tidak membuat warga Surabaya kelimpungan oleh banjir. Hal itu tidak terlepas dari berbagai terobosan Pemerintah Kota Surabaya.

Apa jurus pemkot? Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengungkapkan, pemkot mendorong pembuatan sungai-sungai baru. Untuk setiap pembangunan seluas seribu meter persegi, harus ada sungai atau saluran baru di sekitarnya.

"Menyeimbangkan dampak pembangunan itu sangat penting. Selain itu, harus disiplin," tegas Risma, panggilan akrab Tri Rismaharini, saat ditemui dalam acara pengarahan camat dan lurah pekan lalu.

Selain sungai, Risma memberikan perhatian terhadap fungsi rumah pompa. "Jumlah rumah pompa harus terus ditambah," paparnya. Rumah pompa yang lama juga perlu diperbarui sehingga kecepatan mengalirkan airnya meningkat.

Cara lain yang juga penting adalah mengintegrasikan saluran air perkotaan. Jadi, jangan ada saluran yang tidak tersambung antara saluran air primer, sekunder, dan tersier.

Dia mengklaim cara tersebut cukup sukses. Semakin banyak kawasan di Surabaya yang bebas banjir. Mi­salnya, Jalan Mayjen Sungkono dan Jalan Majapahit. Sebelumnya, Jalan Mayjen Sungkono menjadi langganan banjir setiap tahun. Tidak tanggung-tanggung, ketinggian banjir di tempat tersebut mencapai pinggang orang dewasa.

Risma menceritakan, pihaknya mempelajari, ternyata Jalan Mayjen Sungkono merupakan area terendah. "Akhirnya, semua aliran air turun ke jalan itu," paparnya.

Daerah lain yang sudah tidak banjir adalah Jalan Majapahit. Sejak zaman kemerdekaan, jalan itu banjir. Tapi, air bisa dialirkan dengan membuat sudetan baru menuju ke saluran di Dinoyo dan masuk ke Kalimas. "Salurannya juga dikeruk semua biar kapasitasnya tidak berkurang," papar Risma.

Pasukan Ungu Putih

Banjir juga menjadi masalah yang harus dipecahkan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil saat pertama menjabat. Seperti Bojonegoro, Bandung memiliki letak geografis yang "disukai" air, yakni menggantung seperti mangkuk raksasa.

Wali kota yang juga arsitek itu pun memeras otak. Akhirnya, dia membagi programnya menjadi dua. Yakni, solusi jangka panjang dan solusi jangka pendek. Untuk solusi jangka pendek, Pemkot Bandung mengerahkan relawan gorong-gorong alias pasukan ungu putih.

Tim tersebut berfokus membuat dan membersihkan gorong-gorong serta membuat biopori permukiman dan sumur resapan. "Cara ini memang tidak menghilangkan banjir, tapi minimal mengurangi," kata Ridwan ketika ditemui di Balai Kota Bandung pekan lalu (23/1). Gerakan Sejuta Biopori mampu menghasilkan 300 ribu lubang biopori dalam lima hari.

Untuk rencana jangka panjang, Pemkot Bandung berencana membuat danau di kawasan Gede Bage, daerah terendah di dataran Bandung yang kerap dilanda banjir. (sep/idr/fan/c5/kim)

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharani

Bencana : Banjir tahunan di Jalan Mayjen Sungkono dan Jalan Majapahit, kawasan terendah, kebakaran pemukiman, pabrik, dan padang ilalang.

Jurus : Menambah saluran dan sungai baru, memperbaiki dan menambah rumah pompa, mengintegrasikan saluran air perkotaan

Bupati Bojonegoro Suyoto

Bencana : Banjir melanda setiap puncak musim hukan dan Sungai Bengawan Solo meluap, kekeringan di daerah pertanian setiap musim kemarau

Jurus: Mengubah jalan aspal menjadi jalan paving, mencanangkan gerakan 1.000 embung, menuntaskan proyek bendungan gerak di Kalitidu dan Trucuk

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil

Bencana : Banjir rutin di kawasan terendah Gede Bage, banjir dengan kedalaman 10 hingga 60 cm di kawasan segi tiga emas kosambi

Jurus : Program jangka pendek: penggalian gorong-gorong, membuat biopori pemukiman, dan membuat sumur resapan.

Program jangka panjang : membuat danai dan pengadaan ekskavator amfibi.

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Minta Dikerok, Batuk-Batuk lalu Pingsan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler