Kisah Mantan Guru Berpuasa di Balik Jeruji Besi (1)

Jumat, 24 Juni 2016 – 18:50 WIB
ILUSTRASI. FOTO: DOK.JPNN.com

jpnn.com - Puasa adalah bulan penuh rahmat. Ampunan bagi semua umat manusia yang bersedia memperbaiki diri. Tak terkecuali, bagi para penghuni ‘ruang pesakitan’ di lembaga pemasyarakatan (Lapas) Mataram. Berikut kisahnya.

LALU MOHAMMAD ZAENUDIN, Mataram

BACA JUGA: Indonesia Berduka, Seniman Legendaris ini Wafat Pagi Tadi

KETAT. Harus lewati pemeriksaan dulu. Di pintu pertama, sudah ada dua penjaga Lapas membrondong dengan sejumlah pertanyaan.

Setelah itu, seperti biasa, isi buku tamu. Sayang, waktu banyak terbuang percuma di sini. Hampir 15 menit. Tanpa makna.

BACA JUGA: BJ Habibie, Tanpa Ambisi yang Penting Cari Solusi

Seorang petugas, berewok dan berambut tipis duduk dibalik meja. Tubuhnya gempal. Duduk, santai. Tapi, sorot matanya awas sekali, menyelidik. Meski tak banyak bertanya.

Ia hanya melontarkan satu dua kata saat menanyai keperluan Lombok Post (JPNN Group). Selebihnya ia banyak berbincang dengan rekan-rekannya. Lalu mengisi sebuah kertas. Sepertinya, laporannya.

BACA JUGA: Mengenang Surat Ainun, Rudy Tertawa

“Harusnya bersurat dulu ke Kemenkumham, baru ke mari,” kata dia kemudian.

Meski banyak waktu terbuang percuma, hanya untuk menunggu hal yang tak dijelaskan, Lombok Post akhirnya diizinkan masuk ke dalam Lapas. Setelah sebelumnya menyerahkan bukti tanda pengenal wartawan.

Nama petugas itu, Purnatha. Ia meminta koran ini menemui Kasi Binadik. Muhammad Saleh, namanya.

Di dalam, koran ini ditanya lagi keperluannya untuk kesekian kalinya. Barulah, Saleh, berjalan cepat menuju samping Musala.

Di sana ada beberapa orang masih asyik ngobrol usai salat Dzuhur. Dari jauh nampak, beberapa orang menolak ajakan Saleh. Mereka sepertinya enggan di wawancara.

Tapi akhirnya, ada juga yang bersedia. Pria itu sangat siap. Bahkan, tak ada keraguan di wajahnya. Saat Lombok Post memperkenalkan maksud dan tujuannya.

“Oh mari,” katanya mantap.

Nama pria itu, Sahwan. Warga asli Lombok Tengah. Ia menekam di dalam “jeruji besi”, karena diduga tersangkut masalah tindak pidana Korupsi.

Sebelum akhirnya berada di balik Lapas, ia mengaku awalnya seorang guru.

“Saya guru di Jonggat,” jawabnya.

Tangan kirinya, tak henti-hentinya memutar tasbih. Setelan baju koko, kopiah dan sarung, membuat suasana bincang kami lebih gayeng.

Ia menjadi tahanan Mahkamah Agung. Menyusul pengajuan kasasinya yang masih dalam proses.

Hampir satu tahun ia berada di sana. Dua Ramadan pun telah dilaluinya. Termasuk Ramadan kali ini.

“Ia, sepertinya lebaran di sini juga,” kata Sahwan.

Wajahnya terlihat tegar. Bias-bias kesedihan tak lagi dominan menguasai gurat wajahnya. Sahwan, mengatakan Lapas telah memberi banyak pelajaran hidup baginya. Bahkan, lebih hebat dari pendidikan di luar.

“Ini bahkan lebih hebat dari pada pondok pesantren,” imbuhnya.

Bukan tanpa alasan Sahwan mengatakan Lapas telah mendrilnya lebih hebat dari Pondok Pesantren. Dulu, sebelum masuk ‘hotel prodeo’ itu, Sahwan mengakui hidupnya memang tak seintens sekarang. Khususnya dalam ibadah.

“Dulu, kalau salat, kita mudah saja menunda-nunda hingga akhir waktu. Bahkan ada yang terlewat. Tapi di sini, tak pernah tertinggal. Ibadah menjadi satu-satunya tempat untuk bercerita dan berkeluh kesah pada Tuhan. Ibadah pun jadi lebih khsuyuk,” tuturnya.

Tak hanya itu, Lapas baginya telah bermetamorfosa menjadi mihrab cinta antara dia sebagai hamba dan sang Maha Kekasih. Segala kesalahan di masa lalu, menjadi sangat mudah diingat dan ditangisi. Lalu dimohon ampunkan pada Ilahi.

“Khusus untuk kasus tipikor yang menjerat saya hingga masuk kemari, saya tidak bersalah. Tapi yang membuat tangis saya lebih panjang pada malam hari, karena teringat kesalahan-kesalahan di masa lalu,” jawab dia.

Ia mengaku, dalam Ramadan kali ini, kerap kurang tidur. Bukan karena harap-harap cemas menunggu hasil putusan kasasi. Tapi kontemplasi ibadah yang memang dirasanya jauh lebih dalam dan penuh makna.

Usai salat Isa dan Tarawih, ia langsung menyambungnya dengan iktikaf.

“Setiap malam, saya selalu membaca 10 sampai 20 kali surat Yasin. Di penghujung bacaan, biasanya sudah sangat larut. Saat itulah, hati bergetar hebat, hingga membuat air mata bercucuran,” ungkapnya.

Sahwan meyakini, apa yang dijalaninya bagian dari ujian. Sampai saat ini, ia meyakini tidak bersalah sama sekali terhadap semua tudingan yang akhinya menggiring ia masuk Lapas.

Namun, ia siap menjalaninya dengan ikhlas. Ia percaya, jika dirinya tengah diuji Sang Maha Kuasa.

“Jika Allah menghendaki hambaNya naik derajat ketakwaan, maka Dia akan menguji sesuai dengan kapasitas hamba-hambaNya. Allah menguji saya dengan ini (penjara, Red), berarti Dia tahu, saya mampu menjalani ini untuk meningkatkan kualitas ketakwaan,” ulasnya.

Karena itu, motivasi orang-orang beribadah di dalam Lapas jadi berlipat-lipat. Bahkan mengalahkan ibadahnya para santri di pondok pesantren sekalipun.(bersambung/r6/fri)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ah, Berbuka Puasa pakai Kolak Sudah Biasa, Ini Kopi Bro...


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler