Kisah Mantan Pecandu Narkoba, Sempat jadi Preman, Hendak Bunuh Pacar

Minggu, 15 Februari 2015 – 12:27 WIB
Aldi Novrudi di ruang konseling rehabilitasi UPT BNN Lido, Bogor. Foto: Raka Denny/Jawa Pos

jpnn.com - ”PAGI, Bro Aldi,” sapa seorang pria dari dalam gedung di kompleks UPT Terapi dan Rehabilitasi BNN (Badan Narkotika Nasional) di Lido, Bogor. Si penyapa lantas terlibat pembicaraan dengan orang yang disapa.

 

--------------------
Laporan Gunawan Sutanto, Bogor
--------------------
Pria yang menyapa itu sebut saja bernama Andi. Dia seorang residen, istilah bagi pecandu narkoba yang tengah menjalani rehabilitasi di UPT Lido. Sedangkan yang disapa dan diajak bicara adalah Aldi Novrudi, salah seorang konselor para residen.

BACA JUGA: Kami Reuni di Kamar Jenazah...

Andi dan Aldi sebenarnya memiliki latar belakang yang sama. Hanya, Aldi telah berhasil keluar dari jeratan narkoba. Dia kini menjadi konselor untuk para pecandu yang menjalani rehab seperti Andi dan kawan-kawan.

BACA JUGA: Cara Unik Rayakan Valentine: Gelar Festival Melupakan Mantan Pacar

Setiap hari Aldi bertugas mendampingi para residen di UPT Lido. Tugas pendampingan itu sangat kompleks, mulai memonitor kegiatan sampai melayani para residen yang ingin telepon ke keluarganya.

Para residen memang tidak diberi kebebesan menggunakan telepon seluler. Mereka hanya bisa menghubungi keluarga. Saat residen mendapatkan izin menghubungi keluarga, para konselor harus berada di sampingnya.

BACA JUGA: Fabio Ricardo Toreh, Desainer Spesialis Celana Dalam Pria

Para konselor harus memastikan tidak ada pembicaraan yang bisa mengganggu kegiatan rehabilitasi. Misalnya, si residen merencanakan penyelundupan narkoba atau hal lainnya.

Ada 50 konselor di UPT Lido, mayoritas merupakan mantan pecandu kelas berat. Pihak UPT selama ini melihat pendampingan yang dilakukan para mantan pecandu lebih efektif.

”Mungkin karena kami memiliki latar belakang yang sama dengan para residen. Jadi, apa yang kami lakukan bisa mereka terima,” ujar Aldi yang ditemui Jawa Pos di UPT Lido Jumat dua pekan lalu (6/2).

Panggilan ”bro” (brother) dibiasakan di UPT Lido juga sebagai upaya mendekatkan para residen dengan konselor. Pagi itu Aldi mengajak wartawan koran ini berjalan-jalan keliling UPT Lido. Sembari melihat fasilitas dan kegiatan yang ada, Aldi berbagi cerita masa lalunya.

”Keluarga dan lingkungan tempat tinggal yang membuat saya terjerumus narkoba,” ujar mantan pecandu berat putau itu.

Aldi mengaku menggunakan narkoba sejak usia sembilan tahun. Saat itu Aldi kecil tinggal bersama orang tua di daerah Cipete, Jakarta Selatan. Oleh teman sepermainannya yang lebih dewasa, Aldi kerap dicekoki pil nipam. ”Kalau sudah mabuk, saya jadi bahan tertawaan mereka,” kenangnya.

Ketika ayahnya memergoki, Aldi mendapat ”hadiah” pukulan. Namun, keluarganya tetap tak melakukan proteksi. Ayah dan ibunya justru terlibat konflik rumah tangga yang akhirnya berujung pada perceraian.

’’Saya anak kedua di antara lima bersaudara. Satu kakak perempuan dan dua adik laki-laki semuanya akhirnya jadi pengguna narkoba,’’ cerita Aldi.

Perceraian orang tua membuat Aldi dan saudaranya kehilangan kasih sayang. Mereka justru sering memanfaatkan kondisi itu untuk mendapatkan uang dari ayah dan ibunya.

’’Saya minta ke ayah dengan bilang tidak diberi uang oleh ibu. Begitu pula cara saya minta uang ke ibu. Ujung-ujungnya, uangnya untuk beli narkoba,’’ terangnya.

Akibatnya, Aldi makin terjerumus ke lembah narkoba. Bukan hanya nipam, sejumlah jenis narkoba mulai dicoba. Dia juga mengonsumsi miras (minuman keras) dan pil.

Menurut Aldi, saat itu efek narkoba masih begitu belum terasa. Baru ketika dia memasuki SMA, dampak buruk narkoba mulai dirasakan. Dia jadi malas sekolah. Padahal, saat SMP Aldi mengaku masih aktif di ekstrakurikuler dan selalu masuk sepuluh besar. ’’Saat SMA lagi ngetren putau, saya juga mulai coba-coba,’’ ungkapnya. Ketergantungan pada narkoba akhirnya membuat Aldi dikeluarkan dari sekolah. Sebab, dia jarang masuk sekolah.

’’Sebenarnya ibu berusaha membawa saya berobat. Saya sempat dibawa ke rumah sakit hingga ke paranormal untuk menyembuhkan,’’ ujar pria kelahiran Jakarta, 12 November 1980, itu.

Namun, upaya tersebut tak membawa hasil karena lingkungan di sekitar rumah Aldi tak mendukung. Ibunya juga lemah dalam pengawasan karena harus bekerja.

Pada usia 18 tahun, Aldi memutuskan untuk keluar rumah. ’’Saya agak diusir oleh ibu. Sebab, saya jadi influence bagi anak-anak kecil di lingkungan tempat tinggal saya,’’ ujarnya.

Aldi akhirnya tinggal di jalanan. Sejumlah pekerjaan dilakoni. Mulai jadi tukang parkir, penarik retribusi bus, sampai sesekali memalak orang. Empat tahun dia menjalani kehidupan jalanan. Aksi premanisme yang dilakoni Aldi juga sempat mengantarkannya ke bui. Beberapa kali dia ditangkap polisi, mulai Polsek Taman Puring, Blok M, sampai Setiabudi. Ayah dua anak itu sempat diproses dan ditahan di Lapas Cipinang selama empat bulan.

Di dalam tahanan, bukannya jera, Aldi malah semakin menjadi-jadi. Dia mengaku sering menggunakan narkoba di tahanan. ’’Terakhir, setelah saya keluar dari lapas, saya merasakan kondisi fisik makin turun,’’ kisahnya.

Untung, dia mendapatkan informasi pengobatan dari seorang teman. Saat itu Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) memiliki program penjangkauan ke para pengguna narkoba di jalanan.

’’Saat itulah titik balik kehidupan saya. Saya sempat merasa takut mati, karenanya saya pilih ikut program RSKO itu,’’ katanya. Maklum, ketika itu banyak teman Aldi yang meninggal karena terkena HIV/AIDS lewat jarum suntik.

Ada kejadian lain yang juga membuat Aldi tersadar. Dia sempat hendak membunuh pacar yang setia menungguinya, yang saat ini menjadi istrinya, Farah Yunita. ’’Saat itu saya sakau. Saya lihat dia ngobrol dengan seorang lelaki. Saya parno (paranoid) dan ingin membunuhnya,’’ kenangnya.

Selama 18 bulan Aldi melakoni rehabilitasi di RSKO. Di lingkungan yang save itu, Aldi bisa menahan diri dan akhirnya mulai bisa mentas dari ketergantungan zat adiktif. Dari sejumlah kegiatan rehabilitasi itu, Aldi mengaku banyak belajar dan berproses untuk kembali ke kehidupan normal. Banyak pelajaran yang dia dapat, baik dari konselor maupun temannya yang menjalani rehabilitasi di RSKO.

Selama mengikuti rehabilitasi, Aldi dinilai disiplin dan konsisten untuk melepaskan diri narkoba. Perubahan yang luar biasa itu akhirnya membuat dia terpilih untuk diikutkan dalam sejumlah pelatihan rehabilitasi oleh RSKO.

’’Saya sempat diikutkan pelatihan yang harganya saat itu Rp 15 juta per program. Modelnya, saya ikatan dinas di RSKO,’’ tuturnya.

Rezeki Aldi rupanya di BNN. Ketika itu BNN sedang melakukan studi banding ke RSKO untuk melihat metode rehab therapeutic community. BNN kemudian mengajukan peminjaman staf. Aldi-lah yang ditunjuk pihak RSKO.

Singkat cerita, Aldi ditawari bekerja di BNN sebagai konselor. Saat itu tempat rehabilitasi milik BNN belum di Lido, Bogor, melainkan masih di Cawang, Jakarta Timur.

’’Ternyata saya diizinkan RSKO. Bahkan, saya tidak diharuskan membayar training-training yang pernah saya ikuti,’’ terangnya.

Dari sejumlah kemudahan yang diberikan RSKO itulah, Aldi merasa harus total bekerja sebagai konselor pecandu narkoba. Sebab, dia menganggap apa yang didapat selama ini gratisan. Dengan begitu, dia harus bersungguh-sungguh mengamalkan ilmu yang didapatnya secara gratisan pula. Mulai Januari 2006, Aldi sudah berstatus konselor di BNN.

Setelah kehidupan pribadinya mulai ke jalan yang benar, Aldi memberanikan diri meminang Farah Yunita. Pasangan itu menikah pada September 2006. ’’Saat itu saya kembali ke ibu saya. Beliau kaget dengan kondisi saya. Ya, jadi tangis-tangisan seperti sinetron,’’ ujar ayah Kiara Valentina, 3, dan Brilian Videlia, 1, itu.

Sebagai wujud konsistennya di jalur konselor pengguna narkoba, kini Aldi menempuh kuliah psikologi di sebuah kampus swasta di Jakarta. Tiap akhir pekan dia mesti meninggalkan keluarganya di Bogor untuk mengikuti perkuliahan.

Kini Aldi tidak sekadar lepas dari jeratan narkoba. Dia juga sudah bisa membangun bisnis bersama istrinya. Aldi dan Farah memiliki bisnis kue di Bogor. Aldi juga merangkul kembali ayahnya dengan mengajak berbisnis restoran Padang di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan.

Kebetulan, ayah Aldi berasal dari Padang. ’’Orang Padang kan tak lengkap kalau belum punya warung makan,’’ kelakarnya.

Bukan hanya itu, kini kakak dan adik-adiknya telah lepas dari ketergantungan narkoba.

Aldi berpesan kepada siapa pun yang memiliki keluarga ketergantungan pada narkoba agar tidak meniru apa yang pernah terjadi pada dirinya. Dia juga meminta keluarga harus bijak melihat permasalahan penyalahgunaan narkoba yang dialami anak-anaknya.

’’Ini penyakit otak kronis, tak akan berubah kalau tidak ada terapi yang tepat. Semakin kita diamkan mereka, semakin parah,’’ ujarnya.

’’Karena itu, para orang tua tidak perlu malu untuk membawa anaknya ke tempat-tempat rehabilitasi sebelum semua terlambat,’’ tandas dia. (*/c10/ari)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Aktivitas Jenderal (Pol) Sutarman setelah Lengser dari Jabatan Kapolri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler