Kisah Mencari Musik Horor Menyayat Hati Film G 30 S/PKI

Sabtu, 30 September 2017 – 07:44 WIB
Embi C.Noer, penata musik Film G 30 S/PKI. FOTO : FEDRIK TARIGAN/ JAWA POS

jpnn.com - Embi C Noer merupakan penata musik film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI. Dia adalah adik sang sutradara Arifin C. Noer.

Mereka sudah sangat tahu kualifikasi masing-masing. Seperti halnya Butet Kartaredjasa yang penampilannya selalu diiringi sang adik Djaduk Ferianto.

BACA JUGA: Amoroso Katamsi Cerita soal Komentar Pak Harto dan Bu Tien

Ditemui Jawa Pos di rumahnya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (28/9), Embi menyebut film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S/PKI adalah salah satu karya terbesar dalam karirnya.

Bahwa film tersebut selalu menjadi bahan pembicaraan, kontroversi, seperti saat ini, itu adalah bagian dari kebesaran film berdurasi 271 menit tersebut.

BACA JUGA: Film G 30 S/PKI, Ternyata Adegan Penyiksaan Sudah Diperhalus

”Film Pengkhianatan G 30 S/PKI adalah proyek raksasa ketika itu. Butuh perjuangan untuk menyelesaikannya,” kata Embi.

Sebelum berkolaborasi dalam film yang menghabiskan Rp 800 juta tersebut, Embi dan Arifin sering kerja bareng.

BACA JUGA: Kontroversi Soal PKI Bakal Berakhir Setelah 1 Oktober

Baik itu dalam pembuatan film maupun pertunjukan teater. Selain bersaudara, mereka sangat dekat karena Embi sejak SD sudah tinggal bersama Arifin.

’’Mbi, kita mau bikin film horor.’’ Itulah kalimat singkat yang diucapkan Arifin kepada Embi menjelang pembuatan film tersebut pada 1981.

Ya, meski kali pertama dirilis pada 1984, proses pembuatan film itu dimulai sejak awal 1981.

Langsung saja Embi melakukan riset begitu mendapat instruksi dari Arifin. Mulai observasi, mengumpulkan data literatur, hingga diskusi dengan banyak narasumber.

’’Bagi dia (Arifin, Red), inspirasi itu riset. Saya juga kurang lebihnya seperti itu,’’ ucapnya.

Embi bersama tim Arifin setidaknya butuh waktu dua tahun untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan bagi pembuatan film.

Khusus musik, Embi rajin mengumpulkan literatur untuk pembuatan musik film horor seperti pesan Arifin.

Untuk mencari referensi musik film horor yang menyayat hati, anak kelima di antara delapan bersaudara itu juga rela jongkok berjam-jam di Jalan Surabaya, Menteng, Jakarta Pusat.

Di sana dia mencari piringan hitam yang bisa menghadirkan lagi suasana tahun 1960-an, ketika tragedi G 30 S/PKI terjadi.

’’Kalau kita lihat, di film Pengkhianatan G30S/PKI itu opening-nya piringan hitam Help dari The Beatles. Tapi, waktu itu oleh pemerintah kita dilarang untuk menggunakan lagu Help. Karena itu, saya ganti dengan lagu Bis Sekolah (punya) Koes bersaudara. Tapi, piringannya saya tetap (pakai) Help (The Beatles),’’ katanya, lantas tertawa.

Embi memasukkan banyak lagu populer tahun 1960-an ke musik film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Pria kelahiran 1955 itu juga mencomot musik lokal yang relevan.

Mulai musik Jawa, Sunda, hingga daerah lain. Tidak terkecuali dengan lagu Genjer-Genjer yang makin terkenal karena film tersebut.

”Sebetulnya lagu Genjer-Genjer sangat dikenal luas ketika itu lewat lantunan Bing Slamet,” papar Embi.

”Namun, selanjutnya ada dua popularitas yang berbeda. Yang satu sebagai lagu rakyat, orang senang. Kemudian tiba-tiba dikaitkan dengan background peristiwa politik pada waktu itu,” lanjutnya.

Di film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI, Embi menyatakan, ada tiga lapisan warna utama dalam menata musik.

Pertama, warna horor untuk membangun kengerian. Kedua, warna yang menunjukkan kemanusiaan.

Contohnya saat Arifin menggambarkan bagaimana keadaan rakyat saat itu yang susah makan, serba mengantre untuk mendapatkan barang, gelandangan, dan keluarga.

Terakhir, warna yang menyimbolkan gabungan antara kengerian dan kemanusiaan. ”Misalnya saat memasukkan lagu Gugur Bunga. Itu spiritnya sejarah,’’ ucapnya.

Selain mencomot sana sini dari musik piringan hitam, Embi menegaskan, dirinya juga membuat musik dari paduan suara langsung.

Salah satunya dipakai untuk adegan di Lubang Buaya. Embi ingat, saat itu dirinya didukung beberapa remaja yang aktif berkesenian di daerah Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Embi mengisahkan, karena film negara, segala kebutuhan proses pembuatan film dipenuhi pemerintah. Untuk pengamanan, mereka dikawal tentara.

Termasuk perizinan untuk syuting di rumah Nasution, Ahmad Yani, dan tokoh lain. ”Meski demikian, tidak ada tekanan dalam pembuatan film yang dilakukan TNI,” kenang Embi. (glo/c10/ang)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Soal Film G30S/PKI, TGB: Pemerintah Harus Satu Suara


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler