Meskipun memegang dua gelar master di bidang teknologi informasi, Manu Kaur kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan di sektor tersebut. Akhirnya ia bekerja di sebuah 'laundry' atau tempat cuci baju di Tasmania. Perusahaan 'Blueline Laundry' mempekerjakan orang disabel dan pekerja migran Perusahaan nirlaba ini kehilangan 83 persen pelanggan selama 'lockdown' COVID-19 di Tasmania Sejumlah pekerjanya yang memiliki latar belakang pendidikan S2 dipromosi ke posisi yang lebih sesuai

 

BACA JUGA: Mempersiapkan Dompet untuk Menghadapi Badai Resesi di Indonesia

Ketika masih kuliah, Manu merasa aturan pembatasan jam kerja bagi pemegang visa pelajar menyebabkan dirinya ditolak bekerja di bidang Teknologi Informasi (TI).

Pemegang visa pelajar di Australia memang hanya boleh bekerja maksimal 40 jam dalam dua minggu.

BACA JUGA: Waduh, Turis Amerika Terancam Dipenjara Tulis Review Buruk soal Hotel Thailand

"Hal itu membuat saya frustrasi, terkadang juga sangat tertekan," katanya kepada ABC.

Setelah lulus dari Universitas La Trobe di Melbourne, upayanya mencari kerja berakhir ke 'Blueline Laundry' di Kota Hobart.

BACA JUGA: Kenali Aturan Perjalanan Internasional Saat Ini, Mana Saja Daerah Terlarang?

Perusahaan 'laundry' ini beroperasi di Hobart dan Launceston dengan mencuci hingga 50.000 pakaian sehari.

Pakaian tersebut berasal dari hotel, rumah sakit, dan panti jompo di negara bagian Tasmania.

"Meski senang rasanya mendapatkan pekerjaan tapi kadang saya berpikir, 'mengapa saya jadi pekerja pabrik begini?'," ujar perempuan asal India itu. Photo: Kebanyakan pekerja 'Blueline Laundry' berasal dari latar belakang disabel dan pekerja migran. (ABC News: Selina Ross)

 

Dua bulan lalu, saat mengobrol dengan bosnya di sela-sela jeda makan siang, latar belakang pendidikan Manu pun akhirnya diketahui oleh si bos: ia menyandang dua gelar S2.

"Sekarang saya ditempatkan sebagai koordinator sistem, bertugas memelihara sistem dan perlindungan data. Saya mengurus semua dokumentasi," katanya.

"Saya juga menyiapkan komputer dan dukungan teknis. Saya menikmati pekerjaan ini," kata Manu.

Latar belakang pendidikan Manu terungkap sebagai bagian dari upaya perusahaan nirlaba ini bertahan dari dampak penurunan ekonomi akibat pandemi virus corona. Photo: Direktur utama 'Blueline Laundry' Michael Sylvester menemukan 25 orang pekerja binatu di perusahaannya memiliki gelar sarjana. (ABC News: Selina Ross)

 

Lebih dari sepertiga pekerja 'Blueline Laundry' merupakan penyandang disabilitas dan 20 persen lainnya berasal dari latar belakang budaya dan bahasa yang beragam.

Diektur utama perusahaan ini, Michael Sylvester, mengatakan pihaknya berusaha mencari potensi yang belum dimanfaatkan di antara para pekerja lepas.

"Salah satu pemborosan dalam bisnis adalah tidak terpakainya potensi secara maksimal," katanya.

Michael mengatakan di tengah pandemi seperti ini mereka berusaha mencari setiap peluang untuk mempertahankan bisnis agar usahanya tetap terbuka dan berlanjut.

"Kami kehilangan 83 persen pelanggan. Kami sangat terpukul," kata Michael.

Pihaknya lalu menghubungi para pekerja untuk lebih menanyakan kualifikasi mereka. Khususnya para pekerja migran yang bekerja di sana.

"Dari 25 orang pekerja migran yang bekerja di Hobart, ternyata ada 31 gelar sarjana atau gelar lebih tinggi, karena beberapa di antaranya memiliki lebih dari satu gelar master," jelasnya. Photo: Pramila Maharjan asal Nepal mulai bekerja sebagai tukang cuci pakaian dan memiliki gelar S2 bidang TI. Kini dia ditempatkan di bagian kendali mutu. (ABC News: Selina Ross)

 

Menurut Michael, para pekerja migran umumnya berada di posisi inti dalam bidang operasional, yang selama ini sulit diisi oleh pekerja lokal.

Misalnya posisi tukang cuci, seperti yang dijalani Pramila KC Maharjan, pekerja asal Nepal, yang mulai bekerja di sana sejak November tahun lalu.

Pramila memiliki gelar sarjana farmasi dari Nepal dan gelar master bidang teknologi dan informasi dari Universitas Tasmania.

Sebelumnya, ia tidak memiliki pengalaman bekerja di bidang yang sesuai di Australia.

Sejak bulan lalu, Pramila pun mulai magang membantu manajer operasi di Blueline dalam bidang jaminan mutu.

"Bidang pekerjaan ini sangat memuaskan bagi saya," katanya.

"Saya bisa mengetahui soal administrasi di sini, bisa mengenal budaya kerja Australia seperti apa. Saya mendapatkan pengalaman baru," ujar Pramila.

Pekerja migran lainnya, Malis Yunn aal Kamboja, juga memulai karir sebagai tukang cuci di perusahaan itu.

Kini, ia menjadi pemimpin tim di bagian menjahit, sesuai dengan latar belakang keterampilan yang dimilikinya ketika masih berada di Kamboja.

Malis mengaku senang bisa memimpin tim di bagian menjahit, yang umumnya merupakan pekerja pendukung di perusahaan itu.

"Awalnya saya sedikit gugup, tapi ketika saya sudah menjalaninya, saya menyukai mereka dan mereka pun menyukai saya," katanya.

"Mereka membantu saya dan juga mendengarkan saya," tambah Malis. Photo: Salah satu pekerja di 'Blueline Laundry' asal Kamboja, Malis Yunn. (ABC News: Selina Ross)

 

Pekerja di bagian menjahit membuat pesanan tas khusus untuk hotel, panti jompo dan rumah sakit yang digunakan selama pandemi, untuk menampung cucian yang berpotensi terkontaminasi.

Tas khusus ini dirancang terbuka, sehingga bisa memasukkan pakaian kotor langsung ke dalam mesin cuci agar para pekerja tidak perlu menyentuhnya.

"Kita hanya perlu memasukkan semuanya di sana dan akan terbuka dengan sendirinya," kata Malis.

Menurut Michael pihaknya telah memberikan kesempatan bagi para pekerja untuk meniti karirnya.

Ia menilai para pekerjanya sangat efisien dan efektif serta selalu bersemangat menjalani pekerjaan mereka. Photo: Blueline Laundry mengerjakan 170 ton cucian setiap minggu, terutama pesanan dari hotel dan rumah sakit di Tasmania. (ABC News: Selina Ross)

 

Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News.

Ikuti berita seputar pandemi COVID-19 di Australia lainnya di ABC Indonesia.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Vanuatu Curiga Ada yang Mengoordinasi Komentar Rasis Netizen Indonesia

Berita Terkait