jpnn.com - BANYAK cerita di balik terdamparnya para pengungsi Rohingya, Myanmar, yang kini ditampung di Pelabuhan Kuala Langsa, Langsa, Aceh Utara. Tidak hanya menahan lapar dan letih, mereka juga menahan rasa dendam.
------------
Laporan Aqwam Hanifan, Kuala Langsa, Aceh Utara
------------
Lelaki itu tidak bisa tidur. Malam sudah larut. Tidak ada angin yang bersilir. Tetapi, udara terasa lebih dingin dan lembap. Meski begitu, lelaki tersebut tidak bisa merasakannya. Dadanya berdesir. Hatinya bergidik.
BACA JUGA: Kisah SMK 1 Juarai Lomba Pidato dan Poster Design di Thailand dan Hongkong
Dia beranjak ke luar tenda, menghampiri saya yang sedang asyik berbincang dengan para penduduk lokal Pelabuhan Kuala Langsa, Kota Langsa.
BACA JUGA: Jembatan Lantainya Terbuat dari Batu Bacan, tak Ada yang Berani Mencukil
’’Hei, kenapa tidak tidur?’’ tanya saya yang sedikit mengagetkannya. Dengan bahasa Inggris yang cukup fasih, Muhammad Tayub Ali, 28, salah seorang pengungsi etnis Rohingya itu, pun mulai bercerita.
Ali belum percaya dengan nasib yang menyeretnya. Semua kejadian itu di luar rencana yang telah disusunnya selama ini. ’’Malaysia. Di sana ada harapan dan pekerjaan,’’ ungkapnya Rabu (20/5).
BACA JUGA: Cinta Segitiga di Taman Marga Satwa, Duo Pejantan Birahi, Sari Mati Diperkosa
Dia mengaku tidak pernah tahu perjalanan nasib. Masa depan pun tidak dihiraukannya agar berjalan sendiri. Namun, ada makhluk jahat bernama masa silam yang membelit kenangan orang-orang seperti dirinya dan tidak ingin lepas: kisah horor di tengah laut. Kenangan buruk itu bahkan terbawa sampai alam mimpi.
Malam itu saya memang sengaja datang ke kamp pengungsi tengah malam, saat pengungsi terlelap. Saya ingin tahu kondisi para pengungsi ketika tidur. Sebab, dalam teori psikologi, tingkat stres dan trauma seseorang bisa terlihat dari cara mereka tidur.
Meski terpejam, sayup-sayup terdengar igauan pengungsi yang menangis, meringis, meminta tolong, atau menyebut nama-nama keluarga. Hal itu dialami pengungsi beragam usia, dewasa hingga balita, perempuan serta laki-laki.
’’Itu adalah momen yang mengerikan. Benar-benar mengerikan. Saya tidak ingin lagi mengingatnya,’’ ujar Ali lantas menengadah.
Setelah terkatung-katung selama 41 hari di tengah laut dari Myanmar hingga terdampar di Aceh, perahu yang disesaki 363 pengungsi Rohingya itu mendapat tambahan 558 pengungsi lain dari tiga perahu kecil yang berdatangan. Kebanyakan adalah warga Bangladesh dewasa yang juga meninggalkan negara mereka.
Kondisi itu diperparah kaburnya kapten kapal dan smugglers (penyelundup orang) yang meninggalkan mereka. Kapal pun terombang-ambing di tengah laut tanpa arah dan tujuan. ’’Meski begitu, kami bersahabat dengan mereka. Saling membaur dan berinteraksi,’’ tutur Ali.
Dalam kondisi yang tidak menentu tersebut, persediaan air dan makanan makin lama makin habis. Untung, beberapa kali nelayan lokal serta kapal TNI-AL Indonesia dan Malaysia datang memberikan bantuan makanan. Namun, setelah itu, mereka pergi dan membiarkan 921 pengungsi tersebut kembali terkatung-katung di tengah laut.
’’Stok air tinggal empat botol. Itu pun hanya untuk perempuan dan bayi-bayi kami. Namun, Bangla (orang Bangladesh, Red) marah tidak bisa menerima. Gara-gara itu, di dek kapal, orang jadi terbagi dua. Mereka di depan, kami di belakang bersama anak-anak dan para perempuan,’’ ungkap satu-satunya pengungsi Rohingya yang bisa berbahasa Inggris tersebut.
Senja yang jingga mulai turun di Selat Malaka. Matahari berbinar dan tempias ombak yang relatif tenang. Namun, di atas dek kapal, ketenangan itu sama sekali tidak terasa. Tiba-tiba saja, kata Ali, terjadi tawuran masal di sana. Dek kapal yang hanya berukuran 10 x 20 meter itu jadi arena saling bantai. Kayu, besi, pisau, parang, dan tombak mereka gunakan untuk menghabisi lawan.
Para lelaki yang takut berkelahi memilih mencebur ke laut. Setelah itu, nasib mereka tidak diketahui. Para perempuan dan anak-anak tidak henti menjerit histeris di bagian belakang. Kalah jumlah, para pengungsi Myanmar pun terdesak. Setelah itu, yel-yel ’’Joy Bangla (Kejayaan untuk Bangladesh, Red)’’ bergema di atas kapal. Perkelahian tersebut berakhir setelah puluhan korban berjatuhan.
’’Ada 93 orang Myanmar yang terbunuh. Sembilan di antaranya perempuan. Mayat-mayat yang masih di atas dek langsung dibuang ke laut,’’ jelas Ali.
Menurut Maynubbin, 23, pengungsi Bangladesh, sebenarnya persoalan yang menyulut perkelahian itu hanya sepele. Orang Bangladesh meminta air minum, namun tidak diberi.
’’Jika mereka (Myanmar, Red) memberi kami air, hal itu tidak akan terjadi. Sebab, sebelumnya kami berhubungan baik di atas kapal. Sungguh menyedihkan, kami saling membunuh karena hal sepele. Ada sekitar 50 orang Bangla yang tewas gara-gara kejadian itu,’’ ucap Maynubbin yang mengaku memilih mencebur ke laut daripada bertarung di atas kapal.
Di antara puluhan anak yang menyaksikan kengerian di atas kapal itu, Jamal Husein, 8, hanya bisa menangis dan bersembunyi di balik kayu di dekat ruang kapten. Dia menangis sambil mendekap adiknya, Rizuana, 3, yang ketakutan.
Dalam tawuran masal di kapal itu, ayah, ibu, dan dua saudara Jamal terbunuh oleh amukan orang Bangladesh. Mayat mereka di buang ke laut. Bahkan, memori Jamal masih ingat dengan sangat dalam adegan per adegan.
’’Mereka memukul ayahku dengan kayu dan pisau. Ibu dan saudaraku yang berusaha menyelamatkan ayah dibunuh juga oleh mereka. Setelah keluargaku meninggal, mereka membuang mayatnya di laut,’’ ungkap Jamal lirih seperti diterjemahkan Ali.
’’Saya hanya bisa menangis dan menangis mengingat ayah dan ibu,’’ lanjutnya memelas.
Zaqiz Hussein dan Nomu Begum, orang tua Jamal, adalah pasangan petani miskin di Pompaja, Myanmar. Dengan modal nekat, Zaqiz hendak membawa istri dan empat anaknya merantau ke Malaysia. Mencari kehidupan baru. Tetapi, siapa sangka, nasib telah memisahkan mereka dari dua anak mereka yang masih kecil-kecil.
’’Saya tidak tahu harus ke mana. Saya tak punya saudara di sini,’’ kata Jamal.
Manu, gadis 18 tahun, yang merasa iba akhirnya merawat Jamal dan Rizuana. ’’Saya tidak mengenal Jamal dan Rizuana. Tetapi, kami berasal dari distrik yang sama. Jadi, mereka akan bersama saya selamanya,’’ tegasnya.
Kematian keluarga Jamal dilihat langsung oleh Manu. Dia hanya bisa diam, bersembunyi dan mengintip dari celah-celah dinding kayu kapal. ’’Kami seluruh perempuan hanya bisa diam. Takut. Tidak ada yang berani melawan.’’
Saat orang tua Jamal tewas, pada waktu bersamaan, Hasima Begum, 18, berusaha mempertahankan hidup. Seorang warga Bangladesh mendekatinya dan hendak melemparkannya ke luar perahu. Namun, Hasima bisa berpegangan di tiang kayu dengan erat. Frustrasi, lelaki Bangladesh itu hanya memukul kepalanya dan melenggang pergi.
Namun, bukan itu yang membuat Hasima akhirnya mendendam. Beberapa menit sebelumnya, dengan mata kepala sendiri, dia menyaksikan dua adiknya yang berusia 17 tahun, Amma Haizun dan Januaza, meregang nyawa setelah dipukul dengan besi di kepalanya.
’’Saya tidak tahu ketika itu adik saya masih hidup atau tidak. Sebelum saya sempat mendekati jenazahnya, mereka langsung mengangkat dan melempar tubuhnya ke laut,’’ ungkapnya sedih.
Kondisi semrawut di atas kapal juga membuat Muhammad Ami takut. Lelaki Rohingya berusia 48 tahun itu akhirnya memilih mencebur ke laut, menjauh dari kapal dan berenang 5 kilometer selama empat jam untuk mencari bantuan. Dia berenang di tengah kondisi laut yang gelap gulita karena waktu itu tidak ada sinar bulan sama sekali.
’’Setelah diselamatkan nelayan, saya langsung kembali ke kapal. Orang-orang Myanmar yang takut melihat saya langsung loncat ke laut. Begitu pula orang Bangladesh, mereka juga mencebur ke laut,’’ ujar Ami.
Di kamp penampungan Kuala Langsa, dua kubu pengungsi yang dulu berseteru dan saling bunuh itu kini berkumpul. Meski begitu, dendam di antara mereka masih membara.
Kepada saya, Manu dan Hasima menyatakan masih ingat betul wajah-wajah yang menghabisi keluarga mereka di atas kapal. ’’Mereka ada di sini. Mereka hilir mudik dan sering bertatap wajah dengan saya. Kebencian kepada Bangla tidak akan mudah dihilangkan,’’ tegas Hasima.
Hal yang sama dialami Jamal. Membayangkan bocah 8 tahun bertatapan dengan pembunuh keluarganya yang kini berkeliaran bebas merupakan hal yang amat mengerikan. ’’Dia ada di sini. Saya melihatnya. Saya takut kepada dia. Sangat takut,’’ katanya pelan.
’’Itu orang yang memukul saya. Itu orang yang melempar saudara saya ke laut. Itu orang yang menusuk teman saya dengan pisau,’’ ujar Abdul Rosyid, 35, warga Bangladesh yang tanpa takut menunjuk sekumpulan orang Rohingya yang duduk-duduk di sekitar kamp. (*/c5/ari/bersambung)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Terlahir Miskin dan Dilecehkan, Angkat Derajat Keluarga dengan Prestasi
Redaktur : Tim Redaksi