Dengan mengenakan bra dan celana pendek, seorang perempuan berdiri tegak di atas alat penggali tanah dan menangkis upaya pria di sekitarnya untuk menutupi bagian atas tubuhnya.

Dalam video yang dibagikan kepada ABC Indonesia, terlihat warga desa yang menonton sambil berteriak-teriak, ketika mencoba lagi memakaikan baju kepada perempuan itu dan mengusirnya dari alat berat tersebut.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Paus Fransiskus Setujui Pemberkatan Pasangan Sesama Jenis Kelamin

Rekaman bentrokan antara petani dan penambang ini terjadi di pulau Wawonii, bulan Februari lalu.

"Selagi masyarakat punya hak atas tanah ini, saya tidak mau menjualnya karena inilah hidup saya," tutur Amlia, yang hadir saat bentrokan tersebut terjadi.

BACA JUGA: Petani Menyetujui Imbauan Tentara Membantu Menanam Padi di Tengah Fenomena El Nino

Wawonii adalah pulau yang terletak di Sulawesi Tenggara. Secara administratif, kawasan itu kini dikenal sebagai Kabupaten Konawe Kepulauan.

Pulau Wawonii adalah daerah otonomi baru yang resmi mekar pada 2013, dengan jumlah penduduk sebanyak 37.050 jiwa yang tersebar di tujuh kecamatan.

BACA JUGA: Calon Pelajar Indonesia di Australia Menanggapi Strategi Baru Migrasi Australia

Mayoritas warganya menggantungkan hidup pada sektor pertanian, perkebunan, kehutananan, dan perikanan. Komoditas andalannya termasuk kelapa, mente, pala, kopra, dan cengkih.

Dengan menumpang perahu nelayan dari dermaga Amulengo yang berjarak hampir 100 kilometer dari Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara, kami mengunjungi Desa Roko Roko Raya di Wawonii.

Setidaknya sudah enam tahun warga Pulau Wawonii berjuang mempertahankan ruang hidupnya, menolak kehadiran perusahaan tambang nikel PT Gema Kreasi Perdana (GKP) milik Grup Harita,

Ratna, yang kini berusia 67 tahun adalah salah satunya.

Menurut Ratna, kehadiran PT GKP di pulaunya hanya membawa masalah.

"Yang pertama soal air ... airnya sudah keruh dan tidak bisa kami konsumsi," kata Ratna.

Ratna menuding aktivitas penambangan di area tutupan hutan yang lebih tinggi telah mencemari mata air warga, sehingga di musim hujan air berubah menjadi coklat dan berlumpur.

"Padahal 1 kali 24 jam manusia memerlukan air ...  jangankan manusia, binatang pun memerlukan air," katanya yang kemudian memutuskan menggali sumur untuk memenuhi kebutuhan air bersih.

Selain soal air, Ratna juga menuturkan masalah lain, seperti penyerobotan lahan milik warga yang dilakukan perusahaan dan debu yang berdampak pada kebun warga.

"Sudah dua tahun saya tidak bisa lagi menikmati hasil pohon jambu mente saya karena debu," kata Ratna.

"Kalau debu itu menutup bunganya, jambu mente kami tidak bisa berbuah," tambahnya.

Ratna tidak sendiri.

Bagi perempuan yang lain, mereka bahkan harus berjalan berkilo-kilo meter untuk mengakses air bersih.

Sekelompok perempuan yang terdiri dari petani perempuan dan ibu rumah tangga ini beberapa waktu lalu melakukan aksi menghalangi kendaraan berat milik PT GKP. 

Amlia yang ikut dalam aksi itu mengatakan penolakan para perempuan sebagian besar karena dampak tambang terhadap keseharian dan sumber penghidupan mereka.

Kebun miliknya juga terancam digusur perusahaan.

"Katanya untuk jalan hauling, saya juga tidak tahu apa artinya itu hauling."

"Mereka bilang terserah ibu mau minta berapa, ditawarkan juga anak saya kuliah sambil kerja perusahaan, atau dapat gaji tapi tidak perlu kerja."

Tetapi tawaran itu ditolak Amlia.

Setelah terang-terangan menolak dan aktif dalam berbagai aksi, Amlia mendapat panggilan sebagai saksi dari polisi dan menurutnya ia kerap dicari-cari oleh pihak perusahaan.

"Saya bingung juga [mengapa dipanggil polisi], dan saya khawatir nanti lahan kami diserobot saat kami sedang memenuhi panggilan karena semua yang dipanggil itu pemilik lahan."

Karena itu, Amlia sempat memutuskan untuk bersembunyi dan tinggal berpindah-pindah di hutan selama dua bulan.

Muslimin juga menggantungkan hidup pada kebun jambu mente miliknya seluas lebih dari satu hektare.

Sama halnya seperti Amlia, Muslimin juga menolak beberapa kali tawaran untuk menjual lahannya.

"Karena kalau saya menjual, berarti saya memberi ruang kepada perusahaan sehingga lebih luas lagi lahan perusahaan ... dan lahan-lahan yang lain akan tercemar juga."Ancaman penyakit kulit

Sementara itu, Ristan, seorang warga Desa Mosolo Raya, berhadapan dengan penyakit kulit yang diderita anaknya.

"Tiba -tiba saja muncul, awalnya dari kaki, telapak kaki, kemudian di jari-jari, ... barulah dari situ mulai naik ke paha terus sampai kepalanya," ujar ibu dari Abian, yang belum berusia dua tahun.

Karena tidak tahu pasti apa penyebabnya, Ristan mengobati anaknya secara sporadis.

"Saya beli saja [obat-obat penghilang gatal] di apotek ... ini salep yang paling mempan sekarang, kalau tidak mempan saya kasih obat yang lain, kalau tidak mempan lagi, saya kasih yang ini," kata Ristan sambil menunjukkan beragam obat-obatan yang ia miliki.

Penyakit gatal-gatal ini sudah umum di beberapa desa di Wawonii, seperti desa Mosolo Raya, Sinar Mas, dan Sinar Ulu.

Sejumlah anak yang kami temui juga mengalami keluhan yang sama sejak setahun yang lalu.

"Saya tidak begitu yakin juga apakah air yang tercemar penyebabnya, tapi air yang saya pakai untuk mandi sekarang selalu saya masak," kata Ristan.

Dekarno, warga dari Mosolo Raya, yang juga aktif mendampingi warga menilai penyakit gatal-gatal ini ada setelah masuknya perusahaan tambang.

"Air kami kan dari atas [wilayah penambangan], ini banyak dikeluhkan ibu-ibu, kok tiba-tiba kotor, padahal selama saya hidup di sini tidak pernah sebelumnya ada kejadian seperti itu."    

Baik Ristan maupun Dekarno mengatakan belum pernah ada pihak mana pun yang datang untuk meneliti mata air mereka, untuk memastikan apakah air mereka benar-benar tercemar akibat aktivitas tambang.

Kami sudah menghubungi Kementerian Kesehatan untuk menanyakan dampak tambang terhadap kesehatan warga Wawonii namun tidak mendapat jawaban.Menggugat dan menang, tapi belum selesai

Penolakan warga Wawonii tidak berhenti sampai di aksi unjuk rasa atau audiensi. 

Upaya hukum warga Wawonii melawan PT GKP sudah melewati Mahkamah Agung, Pengadilan Tata Usaha Negara Kendari hingga Jakarta.

Ketiga gugatan itu dikabulkan hakim.Desember tahun lalu, Mahkamah Agung mengabulkan semua gugatan warga dan membatalkan sejumlah pasal dalam peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah terkait dengan pertambangan di Wawonii.Februari tahun ini, warga kembali menang di Pengadilan Tata Usaha Negara Kendari terkait gugatan  izin pertambangan PT GKP dengan membatalkan Persetujuan Perubahan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi milik PT GKP.September lalu, giliran PTUN Jakarta yang membatalkan izin pinjam pakai penggunaan kawasan hutan PT GKP di Pulau Wawonii.

Namun, PT GKP kini menggugat UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ke Mahkamah Konstitusi.

Manager Strategic Affair PT GKP Alexander Lieman mengatakan, alasan PT GKP menggugat ke MK adalah untuk memperoleh kepastian hukum.

"Sangat sulit dan merugikan saat kita sudah mulai eksplorasi, mobilisasi, start operasi, dan merekrut banyak karyawan dan tiba-tiba diminta berhenti," katanya kepada wartawan.

Ia juga membantah tudingan warga soal aktivitas PT GKP yang menyebabkan keruhnya air laut dan sungai di Wawonii.

Alex mengatakan air di Desa Roko Roko Raya, tempat PT GKP beroperasi, pasti keruh ketika turun hujan dengan intensitas tinggi. "Ketika kekeruhan ini terjadi dan menyebabkan krisis air bersih, kami dari PT GKP tergerak untuk membantu mencari solusi air bersih warga. Kami buatkan sumur cincin untuk masyarakat, bantu supply water truck selama air keruh, dan kami juga bantu kuras bak air penampungan di desa," ujar Alex seperti yang dilansir CNN Indonesia.

Tetapi Ratna dan Amlia bergeming.

"Perusahaan harus angkat kaki dari pulau Wawonii, itu saja, tidak ada yang lain," tutur Ratna.Kemiskinan malah meningkat

Warga Wawonii juga membantah klaim yang menyebutkan keberadaan tambang nikel di pulaunya akan menyejahterakan warga lokal.

"Tidak ada sejarahnya perusahaan menyejahterakan masyarakat, buktinya yang kami rasakan detik-detik ini, yang menikmati hanya segelintir orang," kata Ratna.

"Semenjak saya lahir dan besar di sini sampai kuliah, bukan tambang menjadikan kami sarjana, semua karena hasil panen kebun seperti cengkih dan yang lainnya," tambah Dekarno.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sulawesi Tenggara, Johanes Robert, membenarkan jika keberadaan tambang dan hilirisasi nikel di provinsi itu tidak serta-merta menyejahterakan masyarakat, dengan menggunakan indikator angka kemiskinan.

"Kontribusi sektor pertambangan untuk pendapatan negara berkembang dari Rp117 miliar di tahun 2017 menjadi Rp4 triliun di tahun 2022, jadi memang besar, tapi terlihat seperti tidak ada korelasinya dengan kesejahteraan masyarakat."

Sulawesi Tenggara merupakan provinsi dengan izin usaha pertambangan nikel (IUP) terbanyak dan kawasan nikel terluas di Indonesia.

Setelah eksplorai dan hilirisasi nikel giat dilakukan di provinsi itu, ekonomi di provinsi ini tumbuh 5,53 persen pada tahun 2022 dan pada triwulan I-2023 tumbuh 6,48 persen.

Namun, Badan Pusat Statistik mencatat persentase penduduk miskin Sulawesi Tenggara pada Maret 2023 sebesar 11,43 atau naik 0,16 persen dibandingkan September 2022 dan naik 0,26 persen dibandingkan Maret 2022.

Penduduk miskin di Sultra pada Maret 2023 berjumlah 321.530 orang, naik 6.790 orang dibandingkan September 2022 dan naik 11.740 orang dibandingkan Maret 2022.

"Yang terjadi sekarang adalah penduduk atau masyarakat yang selama ini hidup dari sektor pertanian mengalami problem kehilangan lapangan kerja karena alih fungsi lahan, dan dinamika perputaran uang yang kencang dari sektor tambang ini tidak dinikmati oleh masyarakat sehingga daya beli menurun," kata akademisi Universitas Halu Oleo, Syamsir Nur. 

Bagi Ratna, menjual lahan ke perusahaan tambang sama sekali bukan pilihan yang menyejahterakan, bahkan jika tanahnya ditawar mahal.

"Uang itu hanya sesaat saja, tapi kalau tanaman kami habis, habis pula harapan kami," pungkasnya.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Australia Berubah Haluan, Kini Mendukung Gencatan Senjata di Gaza

Berita Terkait