Kisah Penghuni Barak, Empat Tahun setelah Tragedi Tsunami

Bersama Anak Ketujuh Menunggu Rumah Idaman

Jumat, 26 Desember 2008 – 01:24 WIB
Foto : Khaddin Idris/Rakyat Aceh/JPNN

Hingga ulang tahun keempat tragedi tsunami yang jatuh hari ini, masih banyak korban yang nasibnya belum terentasPadahal, tugas Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias berakhir empat bulan lagi

BACA JUGA: Mary Astuti, sang Penemu yang Bangga Dijuluki Profesor Tempe

Bagaimana kondisi mereka?

Laporan KHADDIN IDRIS, Banda Aceh


TRILIUNAN
dana sudah mengalir ke Aceh
Berbagai proyek infrastruktur dikebut untuk membangun kembali provinsi yang porak-poranda akibat gempa disusul badai tsunami pada 26 Desember 2004 tersebut

BACA JUGA: Merasakan Gairah Universal Natal di Kota Besar Jepang



Namun, bagi sebagian rakyat Aceh, air mata mereka tetap belum kering untuk menanggung bencana dahsyat yang membawa korban lebih dari 200 ribu orang tewas itu.

Pagi sekitar pukul 09.00, tepat hari Natal kemarin (25/12), Rakyat Aceh (Jawa Pos Group) memilih mengunjungi Desa Bakui, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar, tempat barak pengungsi korban tsunami yang kondisinya belum tersentuh


Untuk menembus desa itu, apalagi ke tempat barak-barak pengungsi korban tsunami, sudah lama dikenal susah

BACA JUGA: Kesibukan Jelang Inaugurasi Presiden Terpilih Barack Obama

Terlebih pada musim hujan seperti sekarang

Benar sajaBegitu tiba di Jembatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, atau sekitar 300 meter dari barak pengungsi Desa Bakui, motor saya harus terjebak kubangan air dan lumpur di mana-manaBeberapa motor terlihat mogok, sehingga pengendaranya harus menuntun.

Setelah melewati perjuangan berat untuk menjaga sepeda motor tetap jalan, rasanya lega setelah sampai di barak pengungsi Desa BakuiMeski awalnya beberapa pengungsi menatap dengan pandangan curiga, Rakyat Aceh berhasil menemui korban tsunami’’Warga sudah empat tahun tinggal di barak ini,’’ kata Adiwar Ahmad, 38, salah seorang pengungsi
Meski masih cukup kukuh, cat dinding tripleks barak yang ditempati Adiwar terlihat sudah memudarBanyak kamar mandi yang sudah rusak dan terkesan jorokMenurut dia, selama ini banyak yang datang ke barak mereka hanya ingin mengetahui keadaan sajaSetelah itu pergi tak jelas tujuannya’’Makanya, sekarang kami agak sedikit hati-hati dengan tamu luar,’’ ujar Adiwar tentang sikap warga yang kurang hangat terhadap tamu.

Dia mengaku, para pengungsi korban tsunami sudah jenuh dengan pertanyaan demi pertanyaan’’Banyak yang datang menanyakan ini-ituBahkan ikut mengambil fotoKemudian, tak jelas juntrungannya,’’ katanya

Adiwar menyatakan sudah tiga tahun tinggal di barak tersebutSebelumnya, dia menetap di barak Desa Bada di kecamatan yang samaSaat tsunami terjadi, Adiwar tercatat sebagai penduduk Desa Pasi Laweu, Kecamatan Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie

Tepat pada 26 Desember, dia pulang ke kampung halaman dari tempatnya berniaga di Langsa’’Dari Langsa, saya pulang untuk membangun rumahTapi, kemudian kena musibah,’’ tutur pria berjambang itu

Saat gelombang tsunami datang, Adiwar terbawa hanyut bersama rumahnya hingga puluhan kilometer’’Kaki saya patah,’’ imbuhnyaDia lalu menggulung celana dan memperlihatkan bagian kakinya yang sempat patah

Karena berprofesi sebagai pedagang rokok, dia hanya bertahan enam bulan di desa kelahirannyaLalu, dia memutuskan pindah ke Banda Aceh untuk mencari penghidupan karena di kampung sulit mendapatkan pekerjaan.

Berbekal surat pindah dan surat keterangan tsunami dari kepala desa setempat, Adiwar bersama keluarganya hijrah ke Banda Aceh dan tinggal di barak Desa BadaDelapan bulan tinggal di barak tersebut, dia lalu pindah ke barak Bakui yang lokasinya tak jauh dari barak sebelumnya

Di barak itu pula, harapan baru muncul dengan kelahiran putra ketujuhnyaSang buah hati yang diberi nama Sipan itu pun kini telah beranjak setahunDia sejak dua tahun lalu menanti bantuan rumah, namun baru sekarang ini masuk dalam daftar penerima’’Selama penantian itu, mau tidak mau kami harus tinggal di barakTidak ada pilihan lain karena kami orang miskin,’’ tegasnya

Saat ini, tak ada pilihan lain karena dia juga tak mengambil bantuan rumah di kampung halamannyaAdiwar hanya salah satu di antara sekian korban yang belum jelas nasibnyaKoordinator Barak Desa Bakui Muhammad Nasir saat ditemui Rakyat Aceh menyatakan, di baraknya (Bakui 11) masih terdapat 216 korban tsunami

Namun, data yang sudah diverifikasi dan berhak mendapatkan rumah ada 110 kepala keluarga (KK)Proyek itu dibangun empat LSM asingDi antaranya, ADB (15 unit rumah), Amcor (16 rumah), Arab Saudi (76 rumah), dan BRR Regional I kebagian 110 rumah

Selain itu, data 61 KK belum valid dan 45 lainnya belum lengkap berkas administrasinyaDia menjamin warga yang nasibnya belum jelas masih terus diproses’’Warga yang tinggal di barak akan direlokasiKami rencananya dipindah ke Desa Labuy, Aceh Besar,’’ ujar pria murah senyum itu.

Menurut Nasir, ada 52 KK korban tsunami yang sebelumnya tinggal di baraknya sudah pindah ke rumah permanen di Desa Pante Irek JanthoPembangunan rumah bagi korban tsunami dilakukan berdasar pengecekan ke lapanganNamun, dia mengharapkan data tersebut tidak berubah-ubah lagi’’Rumah bantuan BRR Regional I dan ADB diperkirakan sudah bisa ditempati pada Februari 2009,’’ katanya

Kisah senada diutarakan pengungsi di rumah hunian sementara (shelter) berkonstruksi kayu di Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh’’Saya sudah empat tahun tinggal di tempat ini,’’ kata Nurhayati.

Bedanya, Nurhayati lebih beruntungDia sudah mendapatkan rumah bantuan di Dusun Kuntaran, tak jauh dari lokasi rumah pribadinya sebelum tsunamiTapi, dia bersama suaminya memilih bertahan di shelterSebab, rumah bantuan tersebut belum selesai dibangun’’Belum tahu kapan kami bisa pulang ke rumah baru karena sedang dipasang genting,’’ ungkapnya

Nurhayati mengaku, sebenarnya dirinya beserta keluarga sangat ingin tinggal di rumah tersebut untuk melanjutkan kehidupan dan masa depan keluarganya

Dia juga sudah lelah berpindah-pindah tempat tinggalPascabencana gempa dan tsunami di Aceh, dia mengungsi ke Ulee KarengSetelah beberapa bulan, dia pindah ke sebuah bukit di Desa Neuhun, Aceh BesarBeberapa bulan berada di tempat tersebut, dia pindah ke barak di bantaran sungai di Alu Naga, Banda Aceh.

’’Enak maupun tidak, terpaksaKami mau tinggal di mana lagi?’’ kata perempuan yang pernah menjanda itu
Saat tsunami, Nurhayati berada di kampung halaman di pesisir pantai AcehMeski terbawa hanyut sampai ratusan meter dari tempat tinggalnya, dia bersama dua anaknya selamat, sedangkan suaminya meninggal

Korban tsunami lainnya, Maryani, 38, warga Pidie, mengaku sudah empat tahun tinggal di shelter tersebutMeski sudah mendapatkan rumah bantuan di Desa Beunot Alue Naga, dia dan suami barunya, Usman, 60, tetap tinggal di shelterRumah bantuan itu dipinjamkan ke putri tirinya yang sudah berkeluarga’’Kalau anak-anak sudah mendapatkan rumah semua, baru kami pulang ke rumah baru,’’ ujar perempuan pencari tiram itu(el)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ny Roesmiati Soepandji, Ibu Hebat yang Punya Anak-Anak Sukses


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler