Kisah Penjual Kursi Bambu Paling Sepuh di Ternate: Kalau Sampai Sudah Allahu Akbar...

Langkah Kakinya Mulai Terseok-seok

Minggu, 17 Januari 2016 – 07:35 WIB
Penjual kursi bantu di Kota Ternate, Mahmud Jiko. FOTO: Malut Post/JPNN.com

jpnn.com - Di usia 85 tahun, Mahmud Jiko masih belum bisa hidup santai dan menikmati hari-hari tuanya. Tak ingin bergantung pada orang lain, ia rela berkeliling Kota Ternate sambil memikul kursi bambu atau rosban dalam bahasa Ternate.

Ika Fuji Rahayu, Ternate

BACA JUGA: Untung Tembaki Dada Teroris, Tamat: Sudah Bang, Kita Amankan Dulu Bom yang Lebih besar

Postur tubuh Mahmud Jiko tergolong kecil. Tinggi badannya kurang lebih 150 meter. Kurus, hingga tulang-tulangnya tampak menonjol. Langkah kakinya mulai terseok-seok. Kulitnya legam terbakar matahari yang tiap hari harus ia akrabi. Kerut di wajahnya menunjukkan usia yang tak lagi muda. Sudah 85 tahun. Separuh lebih dari usia tersebut ia habiskan bergelut dengan bambu.

Membuat dan menjual kursi santai yang terbuat dari bambu (oleh warga lokal disebut rosban, red) memang pekerjaan Mahmud sehari-hari. Bahkan ketika usianya telah sepuh, dan kondisi tubuhnya makin merapuh, ia masih harus berjalan kaki puluhan kilo untuk menjajakan kursi bambunya.

BACA JUGA: Cerita Perempuan Bos Sarinah, Menyaksikan Kepulan Asap di Tubuh Pelaku Bom Bunuh Diri

”Sekarang tidak buat rosban lagi. Hanya jual. Salah satu anak saya yang buat,” tutur Mahmud kala ditemui Malut Post (Grup JPNN) di rumahnya di Kelurahan Marikurubu, Kecamatan Ternate Tengah, Kota Ternate baru-baru ini.

Rosban yang dijual ayah lima anak ini terbuat dari bambu mentah. Beratnya sekitar 5 kilogram, dengan panjang yang melebihi tinggi tubuh Mahmud. Setiap hari, Mahmud harus memikul satu buah rosban berkeliling Kota Ternate untuk dijual.

BACA JUGA: Detik-detik Serangan Bom Jakarta Berdasarkan CCTV, Warga Hendak Peluk Pelaku

Perjalanan dari Marikurubu ke pusat Kota Ternate saja sudah merupakan sebuah tantangan, sebab kelurahan ini terletak di lereng Gunung Gamalama. Belum lagi Mahmud masih harus melanjutkan perjalanannya ke kecamatan lain.

“Biasanya pikul rosban sampai ke Akehuda, Tobololo, Jambula, dan Sulamadaha,” kata pria yang tak bisa baca tulis ini.

Tiga kelurahan terakhir yang disebut Mahmud terletak di Kecamatan Pulau Ternate. Jaraknya mencapai puluhan kilometer. Jika ada yang sudah memesan rosban terlebih dahulu, ia harus menambah pikulannya menjadi dua buah. Jika rosban yang dibawa tak laku, ia terpaksa membawa pulang kembali ke rumahnya. Bagian paling melelahkan tentu saja adalah mendaki jalan ke Marikurubu.

”Hosa (terengah-engah, red), tapi ya mau bagaimana lagi? Tidak bisa naik ojek, karena kalau belum laku berarti belum punya uang,” ujar kakek dari 11 cucu ini.

Satu buah rosban dipatok seharga Rp 400 ribu. Namun sering pula rosban tersebut ditawar hingga Rp 300 ribu. Butuh waktu berhari-hari bagi Mahmud untuk bisa menjual satu buah rosban. Terkadang, ada warga yang memberinya uang alakadarnya lantaran kasihan melihat kakek tua itu.

”Kalau ada yang kasih uang, bisa untuk naik ojek pulang. Biasanya dikasih Rp 20 ribu,” kata suami dari almarhumah Ramisa Wahab itu.

Mahmud sendiri memiliki kebun pala yang tak terlalu luas. Tanaman tahunan itu dulunya bisa sedikit membantu ekonomi keluarganya. Namun setelah terkena abu vulkanik letusan Gamalama 2011 lalu, semua tanaman pala milik Mahmud mati. Ia tak bisa mengganti dengan tanaman yang baru lantaran tak memiliki biaya.

”Jadi sekarang hanya rosban ini satu-satunya yang saya harapkan,” tuturnya sendu.

Anak-anak Mahmud bukannya tak pernah menyuruh sang ayah berhenti berkeliling untuk jualan. Namun Mahmud tetap bersikeras memikuli rosban-rosban itu. Meskipun rasa lelah kerap menghampiri, ia tak pernah bertekat untuk berhenti menjual rosban.

Rupanya, pria yang hanya sekolah hingga bangku kelas 1 SD ini tak ingin menggantungkan diri pada anak-anaknya. Ia juga ingin membantu anak-anaknya menyekolahkan cucu-cucunya.

“Kalau saya tidak kerja, terus cucu minta uang untuk jajan, mau ambil dari mana untuk dikasih?” ujarnya.

Mahmud sendiri tak pernah berharap yang muluk-muluk mengenai hidupnya. Cukuplah cucu-cucunya sehat dan bisa bersekolah melebihi dirinya dan anak-anaknya. Anak-anak Mahmud sendiri rata-rata adalah petani. Meskipun sedikit, ia senang bisa membantu meringankan beban mereka.

Mahmud bertekat untuk terus memikul rosban berkeliling hingga ia tak sanggup lagi melakukannya. ”Kalau sampai sudah Allahu akbar (dipanggil Yang Maha Kuasa, red), baru berhenti jualan. Selama masih hidup ya berarti tetap keliling,” pungkasnya.(kai/fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Blaar! Perempuan Muda Itu Tersungkur, Merangkak ke Jendela, Lantas...


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler