jpnn.com - DI hadapannya, seekor harimau sumatera tak kuasa bergerak karena terperangkap jerat. Tapi, tak ada sumpit yang memadai. Untuk bisa membius si raja hutan sebelum nanti dibebaskan dari perangkap itu, Erni Suyanti Musabine pun harus melakukannya dengan tangan.
EKI KURNIA, Kota Bengkulu
BACA JUGA: Saat itu Bung Karno bilang ke Pak Edhi, Begini lho, Ed
Perlahan dokter hewan yang akrab disapa Yanti tersebut bergerak mendekat. Tak ada reaksi. Namun, seiring kian dekatnya jarak, hewan bernama Latin Panthera tigris sumatrae itu mulai mengaum.
Badannya memang terperangkap. Tapi, auman harimau dari jarak sedekat itu hampir pasti bisa merontokkan nyali. Untung, ketenangan Yanti akhirnya turut menenangkan si harimau.
BACA JUGA: Pianis Berprestasi Ini Akan Sepanggung dengan Pianis Dunia
Si raja hutan itu bagaikan paham, Yanti datang untuk menolong. Pembiusan pun berjalan lancar. Harimau itu berhasil dilepaskan dari jerat yang memerangkapnya di pedalaman Bengkulu Utara tersebut sebelum kemudian direlokasi.
’’Rasa takut pasti ada, apalagi itu pengalaman pertama,’’ ujar Yanti mengenang pengalaman perdananya membebaskan harimau dari jerat pada 2007 itu.
BACA JUGA: JK Makan Siang Bersama Megawati, Jokowi Makan Malam dengan Wartawan, Ha ha ha
Tapi, perempuan 39 tahun asal Nganjuk tersebut mengungkapkan, asalkan punya pengetahuan tentang perilaku satwa yang ditangani, rasa takut itu akan hilang sendiri.
’’Harimau tidak akan mengganggu bila tidak diganggu dan bahkan mau menolong,’’ katanya kepada Rakyat Bengkulu (Jawa Pos Group), Selasa (5/1).
Seperti Piscine Molitor ’’Pi’’ Patel, tokoh utama dalam novel yang kemudian difilmkan, Life of Pi, Yanti percaya, harimau sejatinya binatang yang baik dan berperasaan seperti manusia. Seperti Pi yang jadi mengenal baik harimau bengala bernama Richard Parker setelah 227 hari terombang-ambing di Pasifik bersamanya, keyakinan Yanti itu juga datang dari interaksi dalam rentang panjang dengan si raja hutan.
Oktober tahun lalu, dokter hewan di BKSDA Bengkulu tersebut bahkan seperti mereplika potongan adegan dalam film yang disutradarai Ang Lee itu. Untuk merelokasi dua harimau sumatera korban konflik dan perburuan secara bergantian menuju Taman Wisata Alam Seblat, Bengkulu, dia harus seperahu dengan mereka.
Selama sejam menyeberangi sungai, Yanti hanya ditemani si tukang perahu. ’’Saya harus terus memantau kondisi harimau sembari memegangi dan mengelusnya,’’ ungkapnya.
Dua ’’Richard Parker’’ itu memang dalam kondisi dibius. Sebab, tak mungkin menangani mereka bila tidak dalam kondisi demikian. Pembiusan dilakukan sebelum mereka dinaikkan perahu.
Yanti harus terus berada di dekat mereka karena dikhawatirkan terjadi komplikasi selama si binatang terbius. Entah karena cuaca panas atau penyebab lain.
’’Jadi, kondisinya harus dipantau setiap lima menit. Karena itu, harimaunya tak boleh dikerangkeng setelah dibius,’’ terang lajang berusia 39 tahun tersebut.
Tak ada kegentaran waktu itu. Justru sebaliknya, kegembiraan yang meluap. Sebab, dia bisa memindahkan binatang yang disayanginya itu ke tempat yang lebih baik. Tempat yang lebih aman.
Di lain kesempatan, untuk menyelamatkan harimau yang terjerat, Yanti bersama tim harus menempuh perjalanan selama tiga hari. Dua hari di antaranya berada di medan yang cukup berat di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu.
Kemudian, pada 2014, dia bersama tim harus membius harimau yang sudah terlepas dari jerat. Jadilah Yanti dan tim harus mengintai harimau yang bersembunyi di dalam semak belukar tersebut.
Dengan risiko, merekalah yang justru diintai si raja hutan. Sebab, di luar si harimau yang diintai itu, ada dua harimau lain yang berkeliaran di hutan di Kabupaten Kaur tersebut.
’’Kami juga pernah berjalan diikuti harimau dalam jarak dekat saat penanganan konflik harimau di wilayah Bengkulu Utara,’’ ujar Yanti.
Adalah Born Free, film Inggris rilisan 1966, yang menumbuhkan kecintaan Yanti kepada satwa liar. Film tersebut bercerita tentang sepasang suami istri warga Inggris yang merawat seekor singa sejak kecil sebelum kemudian melepaskannya kembali di Kenya ketika telah dewasa.
Nah, di antara semua satwa liar, harimau paling menarik perhatian Yanti. Selain karena bentuk fisiknya yang gagah, perilakunya sangat menarik. Perhatian khusus itu kemudian membulatkan tekad Yanti untuk menjadi dokter hewan.
Sejak 2002, Yanti tercatat menjadi relawan dokter hewan di Pusat Penyelamatan Satwa Petungsewu di Malang, Jawa Timur. Kemudian, dia ditunjuk menjadi koordinator medis sampai Maret 2004.
Tugasnya adalah menangani satwa liar hasil penyitaan dari perdagangan ilegal, pemeliharaan ilegal, serta perburuan di wilayah Jawa Timur dan Bali, lalu merehabilitasi dan melepasliarkannya kembali.
Mulai 2004, dia pindah ke Sumatera dan menjadi dokter hewan di BKSDA Bengkulu hingga saat ini. ’’Selain itu, saya pernah menjadi konsultan medis untuk rehabilitasi orang utan sumatera di Frankfurt Zoological Society di Jambi pada 2005 sampai 2009,’’ jelas Yanti yang selain harimau juga pernah menangani gajah sumatera serta orang utan itu.
Dia juga aktif dalam beberapa organisasi serta lembaga swadaya masyarakat seperti Forum Konservasi Harimau Sumatera (Forum Harimau Kita). Juga, anggota Dewan Penasihat LSM Centre for Orangutan Protection plus Animals Indonesia yang bekerja di bidang konservasi satwa liar.
’’Kalau tidak sedang menangani satwa liar yang membutuhkan pertolongan, saya juga membantu memberikan pelatihan untuk dokter hewan lokal. Yakni, tentang pembiusan dan penanganan harimau korban konflik dan perburuan,’’ paparnya.
Selain itu, Yanti memberikan pelatihan untuk petugas lapangan seperti polisi kehutanan, SPORC dan tim patroli, sektor swasta atau perusahaan, masyarakat, serta LSM tentang cara penanggulangan konflik harimau dan pemeriksaan forensik veteriner.
’’Terkadang saya juga mendapat undangan untuk mengajar di fakultas kedokteran hewan tentang medis konservasi. Juga, terlibat dalam beberapa penelitian harimau dan kucing besar lainnya,’’ katanya.
Selama sekitar delapan tahun menangani harimau korban konflik, tantangan terbesar yang dihadapi Yanti malah tidak berhubungan dengan cara pengobatan. Melainkan fasilitas perawatan yang kurang memadai.
Padahal, per tahun, rata-rata dia menangani 1–2 ekor harimau korban konflik. ’’Jadilah kami sering terpaksa merawat harimau di kandang sempit atau kandang jebak,’’ ujarnya.
Bagi dia, itu tak ’’manusiawi’’. Binatang sepatutnya juga diperlakukan secara beradab seperti juga manusia.
’’Selama delapan tahun bekerja dengan harimau, kami juga belum memiliki peralatan rescue yang memadai. Selama ini, saya sendiri berusaha mendapatkannya dari teman kolega dokter hewan di Australia, Eropa, dan Amerika,’’ ungkapnya.
Belum lagi kendala minimnya pihak yang mau mengulurkan tangan untuk bidang medis konservasi. Alias menolong harimau yang telanjur menjadi korban. Sebagian besar bantuan masih terfokus pada studi populasi, ekologi, dan wildlife crime.
Dihadapkan pada berbagai kesulitan itu, Yanti mengaku kerap hampir putus asa. Namun, seperti Pi Patel yang harus menghabiskan hari-hari yang panjang di tengah Pasifik yang luas bersama Richard Parker, Yanti tak pernah putus harapan.
’’Saya sudah berkomitmen untuk mengabdi dan fokus bekerja melakukan konservasi harimau sumatera di habitatnya,’’ tegasnya. (*/JPG/c5/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ingat Kekasih, Aremania Itu Dihajar, Darah Mengucur Deras...Ya Allah
Redaktur : Tim Redaksi