jpnn.com, KHARTOUM - Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Prinsip itu diterapkan oleh Abdirahman Moalim. Dia ikut aksi demonstrasi di Sudan sambil membawa banyak buku. Tujuannya, rekan seperjuangannya memiliki budaya baca.
Puluhan buku berjajar rapi di atas aspal dekat pusat militer Sudan di Khartoum. Beberapa pemuda dan pemudi membaca dengan asyik. Sebagian lain memilih-milih buku yang bakal dibaca. Ada yang melakukannya sambil duduk, berdiri, bahkan jongkok. Pemandangan itu dijumpai bukan di pasar kaget. Mereka juga bukan orang-orang biasa. Melainkan massa yang menuntut pergantian pemerintahan.
BACA JUGA: Tingkatkan Literasi Anak dengan Bolam - Torpin
"Ini kali pertama saya di sini dan saya sangat menyukainya. Banyak buku bagus untuk dibaca dan sebagian besar sebelumnya tidak beredar," ujar Arif Abdala, guru SD yang ikut aksi, sembari membaca buku di lokasi.
Abdirahman Moalim adalah sosok di balik ide menggelar buku di lokasi demonstrasi itu. Sejak 19 Desember tahun lalu, penduduk Sudan memang turun ke jalan. Mereka menuntut Presiden Omar Al Bashir mundur dari kekuasaannya. Dia akhirnya dikudeta militer pertengahan April lalu. Namun, rakyat juga tak ingin dipimpin militer. Karena itu, aksi massa yang mayoritas damai tersebut tetap berlangsung.
BACA JUGA: 36,22 Persen SD Belum Punya Perpustakaan
Moalim ikut aksi sejak awal. Pustakawan itu merasa sayang jika aksi yang didominasi dengan duduk diam tersebut hanya dihabiskan untuk sekadar berbicara dengan teman di samping atau membuka media sosial. Terlebih, mayoritas demonstran masih muda. Dia lalu memutuskan untuk membawa beberapa buku dan menggelarnya di dekat aksi massa. Ternyata, respons mereka positif. Banyak yang akhirnya tertarik untuk meminjam dan membaca buku di lokasi.
"Mayoritas membaca buku tentang politik dan kekuasaan. Hampir tidak ada yang membaca buku fiksi," tegas pustakawan Perpustakaan Modern Kabo itu seperti dikutip Al Jazeera.
BACA JUGA: Ayah Bejat Lelang Putrinya di Facebook, Pejabat Ikut Menawar
Pria 35 tahun itu mengungkapkan, banyak di antara buku-buku yang dia bawa yang tidak tersedia di toko buku. Misalnya saja buku tentang konflik di Darfur. Juga kisah-kisah tentang revolusi di berbagai belahan dunia.
"Mereka (pemerintah Sudan, Red) paranoid. Mereka takut penduduk mengetahui apa yang sedang terjadi. Mereka ingin membuat penduduk tetap dalam kegelapan," terang dia.
Pernyataan Moalim itu diamini Arif Abdala. Buku yang dibawa Moalim memang sulit ditemui di pasaran. Termasuk buku yang dia baca, yaitu otobiografi mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela yang berjudul Long Walk to Freedom.
Moalim dan perpustakaan di atas aspalnya sudah cukup terkenal. Banyak yang membicarakan dia di media sosial. Beberapa orang justru sengaja datang setelah melihat informasi di media sosial (medsos). Salah satunya Rafaa Muhammad. Dia datang bersama beberapa teman. Menurut dia, buku-buku itu begitu bagus sehingga dirinya tidak bisa memutuskan mana yang akan dibaca lebih dulu.
"Saya juga akan membagikannya ke medsos agar banyak anak muda yang tahu dan mendapat keuntungan. Ini luar biasa," ujar mahasiswa 23 tahun itu.
Agar pengunjung tak bosan, Moalim mengganti buku-bukunya setiap hari. Beberapa pengunjung akhirnya membeli bukunya untuk koleksi pribadi. Tentu tak semua buku bisa dibeli. Karena pengunjung terus naik, Moalim akhirnya harus minta bantuan dua temannya untuk ikut berjaga.
"Remaja kita membutuhkan informasi dan tidak ada yang lebih baik selain lewat buku. Saya ingin melihat perubahan di negara kami. Dan itu hanya bisa terjadi jika kita mendapat informasi dengan cara yang baik," tegas Moalim. (sha/c11/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nova Iriansyah Puji Aksi Serbuan TNI di Aceh
Redaktur & Reporter : Adil