Kisah Pertapa Maha Guru Aertrya Narayana, Ingin Moksa di Tengah Hutan

Senin, 21 Agustus 2017 – 00:41 WIB
Maha Guru Aertrya Narayana (dua dari kiri) saat dievakuasi dari hutan wilayah Desa Tambakan, Kubutambahan, Buleleng, beberapa waktu lalu. Foto: Istimewa

jpnn.com - Keberadaan pertapa bernama Maha Guru Aertrya Narayana di tengah hutan, di lereng perbukitan Desa Tambakan, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, Bali, menjadi perbincangkan masyarakat luas.

Bagaimana tidak, pertapa yang mengaku berasal dari Denpasar ini sedang menjalankan masa wanaprastha di tengah hutan dan ingin mencapai moksa di sana.

BACA JUGA: Junaidi Membuat Paving dan Batako dari Limbah Tahu Tempe, Awalnya Dicibir

I PUTU MARDIKA, Kubutambahan

SAAT dievakuasi pada Jumat (18/8) lalu, pertapa yang mengaku bernama Maha Guru Aertrya Narayana memang tengah menjalani masa wanaprastha (mengasingkan diri di tengah hutan, Red). Bukan tanpa alasan, sang pertapa benar-benar ingin mengamalkan ajaran Catur Asrama.

BACA JUGA: Sudah 20 Anak Merasakan ASI Milik Rena Meta

Bahkan ketika puluhan petugas gabungan dari KRPH Provinsi Bali, Petugas Kehutanan Bali Utara, Sekdes dan Linmas Desa Tambakan bersama Bhabinkamtimbas dan Babinsa datang, Sang Pertapa sempat enggan dievakuasi.

Petugas khawatir dengan keselamatan pertapa tersebut. Akhirnya melalui negosiasi yang cukup alot, sang pertapa berhasil dibujuk untuk dibawa keluar hutan.

BACA JUGA: Rombongan Kemendes PDTT dan Wartawan Terdampar di Pulau tak Berpenghuni

Namun setelah dievakuasi, ternyata Maha Guru Aertrya Narayana enggan diajak ke Desa Tambakan. Ia memilih tinggal di kandang sapi milik salah satu pengikutnya, Komang Awit, 40.

Komang Awit juga merupakan warga Dusun Sanglangki, Desa Tambakan, Kecamatan Kubutambahan.

Bali Express (Jawa Pos Group) berusaha menggali informasi dari Komang Awit. Pria yang berprofesi sebagai petani, ini mengaku mengenal Sang Pertapa sejak sekitar setahun lalu dari pengikutnya.

Hanya saja, Sang Pertapa disebutnya baru tinggal di hutan wilayah Desa Tambakan sejak 6 Juli lalu.

“Sang Maha Guru ini sudah melanglangbhuana. Bahkan sempat ke Gunung Rinjani. Bertapa juga. Pernah juga bertapa di Batu Belah dan Batu Bolong di wilayah Mengandang. Namun untuk tinggal di hutan Pucak Antap Sai, Wilayah Desa Tambakan sejak 6 juli,” ungkap Komang Awit, saat ditemui di kediamannya, Minggu (20/8) kemarin.

Bahkan, Komang Awit mengaku baru saja datang dari tempat pertapa sebelumnya untuk mengambil sejumlah barang-barang yang dipergunakan tempat tinggal sang pertapa, di hutan lerang perbukitan.

Rencananya barang tersebut akan ia bawa menuju tempat bertapa di Goa Panca Pandawa, di hutan wilayah Dusun Mengandang, Desa Pakisan, Kecamatan Kubutambahan.

“Saya baru saja datang dari tempat bertapa sebelumnya. Untuk mengambil barang Beliau. Seperti terpal, ember, selimut serta logistik untuk kebutuhan sang Maha Guru. Saya akan bawa ke Goa Panca Pandawa. Beliau sekarang ada di sana. Sabtu kemarin beliau dijemput oleh pengikutnya untuk diajak ke Goa Panca Pandawa untuk melanjutkan tapa semedi,” beber Komang Awit kepada Bali Express.

Disinggung terkait asal-usul nama Goa Panca Pandawa, Awit menyebut nama goa itu diberikan oleh Maha Guru Aertrya Narayana.

”Goa itu Beliau sendiri yang beri nama. Saya sekarang mau ke sana. Kalau Bapak mau ikut boleh, beliau terbuka untuk didatangi siapa saja,” ajaknya kepada Bali Express.

Menurut Komang Awit, berdasarkan penjelasan yang ia peroleh dari Sang Pertapa, semedi yang dilakukannya di tengah hutan tersebut bertujuan untuk mencapai moksa.

Awit menyebutkan Sang Pertapa sudah tidak takut lagi akan bahaya yang mengancam jiwanya saat berada di hutan.

“Beliau ingin moksa. Itu kan tersurat dalam ajaran Agama Hindu khususnya Catur Asrama dan Catur Purusha Artha. Apa pun risikonya di dalam hutan, termasuk dimakan binatang buas, berarti itu moksa,” kata Komang Awit sembari berjalan membawakan perlengkapan Sang Pertapa.

Bukan hanya itu. Sang Pertapa disebut Komang Awit memiliki banyak pengikut, yang berasal dari berbagai daerah.

Hanya saja pengikutnya tidak ikut tinggal di sana, tetapi sesekali saja mengunjungi Sang Pertapa.

“Pengikutnya ada yang dari Tejakula, Tajun, Tambakan, dan Pakisan. Mereka datang ke lokasi untuk menemui Sang Maha Guru untuk ikut bersemedi. Ini logistiknya seperti makanan dan dupa untuk keperluan para pengikutnya,” terangnya.

Terpisah, Kepala Desa Tambakan, Nyoman Surama menuturkan masyarakat Desa Tambakan, khususnya warga Dusun Sanglangki kelompok Padang Lumbung sempat dibuat waswas akan kehadiran Maha Guru Aertrya Narayana.

Pasalnya Sang Pertapa dianggap sudah mencemari mata air bersih menjadi andalan keberlangsungan hidup ratusan warga setempat.

"Memang warga kami di Sanglangki sempat komplin. Selain tinggal tanpa izin, pertapa itu juga telah mencemari sumber mata air bersih di Puncak Antap Sai," beber Perbekel Desa Tambakan, Nyoman Surama ditemui di kediamannya, Minggu (20/8) sore.

Rasa keberatan warga pun mencuat setelah warga mengetahui air sumber kehidupan yang disakralkan oleh ratusan warga Sanglangki, namun air itu dimanfaatkan oleh petapa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti mandi dan minum.

"Ketika pertapa tinggal di hutan, mata air bersih di Puncak Antab Sai itulah yang digunakan untuk mandi. Apa itu bukan pencemaran? Jadinya, warga kami secara tidak langsung mengonsumsi air bekas pertapa," ungkapnya.

Disinggung terkait keberadaan pertapa tinggal di kandang sapi milik Komang Awit di Dusun Sanglangki, Perbekel Surama kembali menjelaskan bahwa pertapa saat ini sudah meninggalkan wilayah Desa Tambakan.

"Tadi dengar informasi kalau pertapa sudah meninggalkan desa ini. Katanya sudah dijemput, dan melanjutkan tapa semedi di kawasan hutan Desa Pakisan," katanya.

Nyoman Surama hanya berharap kehadiran pertapa tersebut tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.

“Kalau pun mau tinggal di kawasan kami, setidaknya Beliau melapor. Takutnya kalau Beliau kenapa-kenapa, siapa yang mempertanggungjawabkan. Selain itu tetap juga meminta izin dari pihak KRPH, karena itu kan hutan yang dilindungi,” jelasnya.

Sementara itu, Kapolsek Kubutambahan AKP Sura Maryantika menegaskan jika Sang Pertapa tersebut memang hendak menjalani masa wanaprastha. Sebab tidak ada indikasi perusakan hutan.

Bahkan berdasarkan penelusurannya, Sang Pertapa disebutnya pernah menjadi pangempon Pura Campuhan di Padanggalak, Sanur Denpasar.

“Saya sempat buka di youtube kalau Pura Campuhan di Padanggalak itu sangat megah. Beliau adalah pangempon di pura itu. Sebelumnya beliau sempat sakit, nah setelah itu menjalani masa wanaprastha. Mungkin itu kaulnya beliau untuk menjalani masa wanaprastha,” tegasnya. (*/yes)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Cerita Penjahit Baju Adat Banjar yang Dikenakan Presiden Jokowi


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler