Kisah Pilu Kakek Penjual Taplak Menjaga Jiwa Aleppo

Senin, 25 Desember 2017 – 22:06 WIB
Mohammad Shawash duduk dengan tenang di depan tokonya di Souk al-Jumruk, Kota Tua Aleppo, Syria. Foto: AFP

jpnn.com, ALEPPO - Mohammad Shawash duduk dengan tenang di depan tokonya di Souk (pasar) al-Jumruk, Kota Tua Aleppo, Syria. Pria 62 tahun itu menanti pembeli taplak meja dagangannya.

Namun, sepanjang hari, hanya satu dua orang yang berlalu-lalang di depan tokonya. Denyut kehidupan di kota yang pernah dinobatkan sebagai situs warisan budaya dunia oleh UNESCO itu memang belum kembali seperti semula.

BACA JUGA: Bagaimana AS Malah Berakhir Mempersenjatai ISIS

’’Saya menangis saat kali pertama kembali (ke Aleppo). Saya melihat kehancuran di mana-mana. Toko-toko rusak parah dan jalanan penuh batu dan reruntuhan serta gedung-gedung ambruk,’’ ucap Shawash seperti dilansir oleh kantor berita AFP.

Perang di Aleppo berhenti pada Desember tahun lalu saat kota tersebut kembali dikuasai oleh pemerintah Syria. Penduduk mulai kembali ke rumahnya masing-masing, termasuk Shawash yang kembali ke Khan al-Harir, Kota Tua Aleppo.

BACA JUGA: AS Sebut Klaim Kemenangan Rusia atas ISIS Penuh Omong Kosong

Lansia yang rambut dan jenggotnya sudah memutih itu tidak mau bersedih terlalu lama. Dia memutuskan kembali berjualan.

Selama berminggu-minggu, Shawash memperbaiki tokonya. Dia juga memperbaiki jalan di depan toko kecilnya agar pembeli nyaman.

BACA JUGA: ISIS Temukan Rumah Baru di Negara Ini

Toko itu akhirnya dibuka lima bulan yang lalu. ’’Saya memperbaikinya sendiri untuk membuktikan pada dunia bahwa Kota Tua Aleppo masih memiliki jiwa,’’ tuturnya.

Shawash menjadi orang pertama yang membuka tokonya lagi di Souk al-Jumruk, pasar yang pernah dinobatkan sebagai yang terbesar di dunia.

Dulu di dalamnya ada 4 ribu toko dan karavanserai, tempat parkir berkapasitas sekitar 40 mobil karavan untuk istirahat pedagang maupun pelancong. Toko-toko di pasar itu selalu ramai dan tidak pernah sepi pengunjung.

Tetapi, semua berubah saat perang terjadi dan Aleppo dibombardir habis-habisan. Pasar yang dulu megah tersebut kini memang masih berdiri, tetapi dalam kondisi yang mengenaskan.

Puing-puing yang menunjukkan bekas serangan udara tampak di mana-mana. Beberapa bulan lalu sebagian pasar itu diperbaiki. November lalu area yang direnovasi tersebut dibuka untuk pedagang. Tetapi, area yang dipoles lagi oleh pemerintah Syria itu bukan yang ditempati Shawash saat ini.

Shawash harus bersabar. Tidak setiap hari ada pembeli di tokonya. Kadang seharian dia hanya duduk berjam-jam menanti pembeli yang tak kunjung datang dan akhirnya pulang dengan tangan kosong.

Hal itu berbanding terbalik dengan masa sebelum perang. Dulu dia bisa membuka toko dari pagi hingga malam dan selalu penuh pengunjung.

’’Dulu jalanan dipenuhi toko, restoran, penjual baju, karpet, furnitur, dan orang yang berlalu-lalang. Tapi, kini tidak ada sama sekali,’’ ucapnya.

Pada masa sebelum perang, setiap hari Shawash menghasilkan USD 1.000–1.500 (Rp 13,6 juta – Rp 20,3 juta). Namun, kini penghasilannya hanya cukup untuk membeli sepotong roti.

Meski begitu, Shawash tidak menyerah. Dia tetap membuka tokonya setiap hari. Sebagian barang-barang yang dijualnya masih berada di dalam kantong plastik agar tidak kotor.

Shawash berpendapat bahwa para pemuda Aleppo harus pulang untuk membangun kembali kota tersebut.

’’Aleppo adalah simbol peradaban. Saya bangga menjadi orang pertama yang membuat toko di pasar ini. Saya harap kehidupan akan kembali ke pasar ini,’’ ungkapnya. (sha/c20/any)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Terduga Teroris Sering jadi Imam di Masjid


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler