Kisah Pusparini Si Tukang Sapu Kaya Hati

Rabu, 02 Desember 2020 – 11:30 WIB
Pusparini (kanan), warga Karang Anyar Kelurahan Pagesangan Timur menunjukkan surat pernyataan graduasi dari penerima program PKH pekan lalu. Foto: TONI/LOMBOK POST

jpnn.com, MATARAM - Pusparini menjadi salah satu dari ribuan peserta Program Keluarga Harapan (PKH) di Kota Mataram, tetapi itu dahulu.

Penampilan Pusparini sederhana.

BACA JUGA: Program Keluarga Harapan dan Ekonomi Tahun Politik

Mengenakan jilbab besar warna abu-abu, wajah Pusparini tertutupi masker warna hitam.

Sesekali ia melempar senyum ketika berbicara membuka maskernya.

BACA JUGA: Ratusan Warga di Mataram Mendadak Mengaku Keluarga Mampu Gara-Gara Kejadian Ini

Pusparini bercerita soal keputusannya memilih mundur dari program bantuan Kementerian Sosial bagi masyarakat kurang mampu itu.

"Kesadaran sendiri memilih mundur,” ujarnya, seperti dikutip dari Lombok Post.

BACA JUGA: Komisi VIII DPR Pastikan Realisasi PKH Tepat Waktu dan Sasaran

Keseharian Pusparini, ia bekerja sebagai petugas kebersihan di Dinas Lingkungan Hidup Kota Mataram.

Tepatnya sebagai tukang sapu jalan raya.

Begitu pun dengan suaminya, Wahyudi.

Keduanya sama-sama menjadi petugas kebersihan.

“Namun, kalau suami saya bekerja jadi petugas kebersihan di pasar,” tuturnya.

Upah yang diterima Pusparini saat ini sebenarnya tidak banyak. Masih di bawah UMR.

Namun, Pusparini merasa sudah terlalu lama menjadi penerima PKH. Terhitung sejak 2015 silam.

Sehingga, ia merasa sudah saatnya ia keluar sebagai penerima PKH.

“Alhamdulillah sekarang per bulan digaji Rp 1,3 juta. Karena berdua, insyaallah saya merasa cukup,” ujarnya.

Pusparini tidak merasa dirinya kaya. Hanya merasa cukup.

Karena jika dihitung secara matematis, menurutnya tidak pernah ada orang yang merasa puas dengan apa yang didapatkan.

Pasti ada saja kekurangan. Terlebih, selain untuk kebutuhan makan dan kebutuhan hidup sehari-hari, ia harus membiayai dua anaknya yang duduk di bangku SMP dan SD.

Meski ia dan suaminya mendapatkan penghasilan bulanan, tetapi itu tidak seberapa jika dibandingkan pengeluaran mereka.

Dia bertekad ingin naik kelas. Mungkin tidak secara ekonomi, tetapi secara mental.

Pusparini merasa sudah saatnya ia berjuang keluar dari garis kemiskinan yang hanya mengharapkan bantuan.

Ia tak mau terus-terusan mendoakan dirinya sebagai keluarga yang kurang mampu.

“Jujur, sebenarnya saya senang sekali dibantu. Kadang mikir juga, sayang kalau keluar dari program ini. Cuma kalau tetap bertahan sebagai penerima PKH, berarti kita bilang diri kita enggak mampu. Ini kan mendoakan diri sendiri,” ucapnya.

Pusparini tak berharap jadi orang kaya. “Yang penting berkecukupan,” sambungnya.

Dia berharap, dengan keluarnya ia sebagai penerima PKH, ada keluarga lain yang jauh lebih membutuhkan bisa menerima bantuan.

Pusparini percaya, dengan tekadnya dan suaminya saat ini, suatu saat mereka bisa menaikkan derajat keluarganya. Caranya adalah dengan menyekolahkan kedua anak mereka setinggi-tingginya.

“Kalau bisa sampai kuliah, biar ada yang mengangkat derajat orang tuanya,” tuturnya.

Pusparini mengenang pesan mertuanya yang dulunya juga sebagai petugas kebersihan atau tukang sapu.

Pekerjaan Pusparini sendiri diakuinya merupakan warisan mertuanya sebagai tukang sapu.

“Saya yang disuruh lanjutkan agar bisa membiayai kebutuhan anak sekolah. Biar bisa anak saya kuliah. Biar mengangkat derajat keluarga,” tuturnya. (*/r3)


Redaktur & Reporter : Adek

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler