Kisah Sedih Ani, Bocah Usia 15 Tahun Rawat 7 Adiknya

Senin, 05 Februari 2018 – 00:05 WIB
Rumah yang ditinggali Ani (15) dan tujuh adiknya di Kampung Galu Barue, Desa Bara Batu, Kecamatan Labakkang, Pangkep, Sulsel, Kamis, 1 Februari. Foto: Sakinah FITRIANTI/FAJAR

jpnn.com - Kehidupan Ani tak sama dengan anak-anak seumurannya. Usianya baru 15 tahun, namun ia harus menjadi ibu sekaligus bapak bagi tujuh adiknya.

SAKINAH FITRIANTI - Pangkep

BACA JUGA: Masih Panas, Bupati Tolitoli Ungkit Perilaku Istri Wakil

Ibunya meninggal dua tahun lalu, akibat kanker rahim. Sementara ayahnya merantau. Tak kunjung kembali hingga sekarang.

Ani sempat tinggal bersama dengan 11 saudaranya yang lain. Namun, kakak-kakaknya satu per satu merantau.

BACA JUGA: Pak Guru Dipukul Muridnya, Tiba di Rumah Salat, Lantas…

Kini, tersisa dia bersama tujuh adiknya yang bertahan di Kampung Galu Barue, Desa Bara Batu, Kecamatan Labakkang, Pangkep.

Selama dua tahun, Ani berjuang merawat ketujuh adiknya. Beban merawat adik-adiknya diambil alih sejak ditinggal ibunya dua tahun lalu. Sejak saat itu pula Ani memilih berhenti bersekolah.

BACA JUGA: Makanya, Honorer Mesti Cari-cari Usaha juga di Luar

Belakangan ini, warga sekitar yang merasa iba, mengadopsi empat adiknya. Keempatnya, yaitu Uni (13) , Rendi (11), Risda (10), dan Refi (9).

Sementara kakaknya yang pergi merantau yakni Musakkir (23), Laela (22), dan Andika (19). Satunya lagi meninggal dunia.

Saat ini, Ani tinggal di rumahnya bersama tiga adik laki-lakinya yang masih kecil. FAJAR (Jawa Pos Group) menyambangi kediamannya, Kamis, 1 Februari.

Lokasinya terbilang jauh dari pusat kota. Butuh waktu 40 menit dari Pangkajene, ibu kota Pangkep menuju ke Kampung Galu Barue, Desa Bara Batu, Kecamatan Labakkang.

Hamparan sawah dan irigasi menjadi pemandangan menuju Galu Barue. Sebuah pemandangan alam yang cukup indah.

Namun, kondisi itu kontras saat menyaksikan sebuah rumah panggung yang sudah lapuk di beberapa sisinya.

Atapnya bocor dan terbuka. Dari jalan, posisinya agak ke dalam. Harus melewati sebatang pohon kelapa yang menjadi jembatan untuk sampai ke rumah itu. Rumah yang ditempati Ani dan adiknya.

Jembatan yang dipasang itu sebetulnya sangat riskan, apalagi bagi anak-anak. Memang ada pegangan, namun relatif tak aman. Di bawahnya, air mengalir sangat deras.

Tiga ekor anjing dan beberapa ekor ayam menyambut di kaki rumah panggung yang sudah reyot itu. Tiga adik Ani ikut bermain di pekarangan rumah. Rumah itu dikelilingi alang-alang.

Menapaki anak tangga, rumah itu rasanya sudah mulai bergoyang. Bagian dalamnya beralaskan papan yang sudah keropos. Pakunya telah lepas satu persatu.

Berjalan di atas rumah itu harus berhati-hati. Salah langkah, kaki bisa terperangkap ke lubang menganga di setiap celah papan.

Ani bersama tiga adiknya: Rehan (2), Riski (5), dan Risal (6), menyambut dengan senyum dan wajah penasaran. Namun, dia melayani setiap pertanyaan.

"(Untuk) mencuci, saya di depan rumah saja. Di saluran air itu," ujar Ani sambil menunjuk irigasi depan rumahnya ketika ditanya tempatnya mencuci pakaian.

Air irigasi itu pula yang dipakai mandi. Tak ada air di atas rumah, kecuali untuk minum. "Untuk mandi, juga biasa kita tampung air hujan," sambungnya.

Dengan atap rumah yang bocor saat hujan deras turun, Ani bersama adiknya menumpang sementara di rumah tetangga atau keluarganya. Hujan selalu membasahi seisi rumahnya.

Tak ada kursi dan ranjang dalam rumah. Hanya ada beberapa bantal yang tak terawat. Ada sebuah rak usang, plus kardus mi instan. Rak itu dipakai menyimpan pakaian. Saat hujan, pakaian itu ikut basah.

Ani kadang merindukan masa lalu, kala ibunya masih hidup. Pun, ketika ayahnya menemani. Memiliki kedua orang tua dan keluarga yang lengkap, selalu mengobsesinya.

Namun, saat ini semua itu tak mungkin. Kedua orang tuanya tak lagi bersamanya. Tanggung jawab ayah dan ibunya dia emban. Keterpaksaan membuatnya ikhlas.

Dia mengumpulkan tekad. Membangun cita-cita mulia: menyekolahkan adik-adiknya. Sayang, saat ini Ani belum punya biaya. Dia belum bisa bekerja, sebab masih harus merawat adik-adiknya.

Memang pendidikan gratis. Namun, tentu saja tetap ada kebutuhan yang memerlukan uang. Belum lagi, untuk biaya sehari-hari, dia pun mesti bersusah payah.

Saat menyaksikan teman-teman seusianya jajan, Ani hanya bisa menahan kemauan. Bernegosiasi dengan hatinya agar selalu sabar menerima keadaan. Miskin bukanlah pilihan.

Ani sendiri hanya mengenyam pendidikan hingga kelas 5 SD. Untuk kebutuhan sehari-hari, kerap ia ikut membantu tantenya menjaga warung. Tentu saja pekerjaan merawat sang adik tetap dia utamakan.

Ayahnya pernah mengirim uang Rp200 ribu. Sejak pergi merantau tanpa kabar, baru kali itulah dia mendapat kiriman. Selebihnya, tak pernah lagi.

Uang Rp200 ribu begitu berarti. Dia menyimpannya. Mengeluarkan sedikit demi sedikit untuk kebutuhan adiknya. Sebagai balita, adiknya sedang gandrung-gandrungnya jajan di warung. Tak ada pilihan selain berhemat.

"Sejak ibuku meninggal, kehidupan jadi sangat sepi. Tidak ada lagi yang jaga saya dan adik-adik. Padahal kita semua masih kecil-kecil. Waktu ibu meninggal, adik saya yang bungsu itu masih bayi," tutur Ani dengan suara lirih.

Sebetulnya, Ani memiliki saudara sebanyak 11 orang. Saat ibunya masih hidup dan ayahnya belum meninggalkan rumah, mereka 14 orang tinggal bersama. Ibu, ayah, 11 saudara, dan dirinya.

"14 orang ki di rumah ini. Tetapi, itu dulu. Sewaktu kita semua masih lengkap. Sekarang semuanya sudah pisah-pisah. Orang tua juga sudah tidak ada," urainya.

Ani sebetulnya bersaudara kandung hanya delapan orang. Empat saudaranya yang lain, merupakan anak dari suami ibunya yang pertama alias saudara tiri. Namun, semuanya masuk dalam satu kartu keluarga (KK).

Untuk urusan dapur, Ani memasak menggunakan kayu memanfaatkan reranting kayu dekat rumahnya. Tak ada kompor.

Memasak apa saja, yang penting bisa dimakan. Untuk lauk, kebanyakan pemberian tetangga.

Di rumahnya yang reyot, tak ada aliran listrik. Bersama adiknya, Ani melalui malam dengan gelap. Tak ada penerangan. Kegelapan akan makin sempurna kala hujan, sebab atap rumah telah bolong-bolong.

Rumah yang dia tinggali juga berdiri di atas lahan yang bukan milik orang tuanya. Hanya pinjam pakai dari tetangga.

Sabatia, tante Ani, berharap ada program pemerintah yang bisa membantu ponakannya itu. Sebab, rumahnya juga tak terlalu cukup untuk menampung mereka.

"Terkendala lahan, kasihan. Mahal juga lahan. Jadi susah mau diperbaiki rumahnya kalau tidak ada lahannya," ucapnya.

Sabatia sangat iba terhadap kondisi ponakannya itu. Ani bertindak sebagai "single parents" dalam fase anak di bawah umur. Belum bisa mencari nafkah sendiri.

"Bapaknya baru satu kali kirim uang. Kasihan anak-anaknya hidup seperti itu. Saya sering ajak ke sini saja makan," ucap Sabatia.

Kadang-kadang, Ani juga mendapat bantuan dari panitia masjid setempat. Uang tunai dan beras. Tak jarang juga datang rasa iba dari orang sekitar dengan memberinya baju bekas.

Beruntung, kata Sabatia, Ani dan adik-adiknya tak pernah sakit selama ini. Dia tak bisa membayangkan saat kondisi itu Ani hadapi. Tuhan masih sangat menyayanginya.

"Padahal kalau (cuaca) panas, dia selalu keluar bermain panas-panasan. Begitu pun saat hujan. Mereka juga selalu kehujanan. Tetapi tidak pernah terdengar sampai sakit. Apalagi yang bungsu itu sering tiduran di jalanan," ucapnya.

Staf Kantor Desa Bara Batu, Rianto, mengatakan, bantuan pemerintah terus mengalir kepada keluarga Ani. Termasuk pemberian beras sejahtera (rastra).

"Kita selalu berikan rastra. Dengan cuma-cuma. Hanya saja untuk bedah rumah ini kita sulit laksanakan karena terkendala lahan. Seandainya sudah ada lahan, kita bisa bedah rumahnya," ucapnya. (*/rif-zuk)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jenazah Dibiarkan di Ranjang dengan Harapan Hidup Lagi


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler