jpnn.com, MALANG - Momen-momen saat masih tinggal di Kabupaten Kediri, berpuluh-puluh tahun silam, masih lekat di ingatan saya. Saya lahir dan dibesarkan di Kediri, Jawa Timur. Saya bisa seperti sekarang ini juga tidak lepas dari tempaan yang saya dapatkan selama hidup di sana.
Saya masih ingat betul saat masih bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Desa Ngadiluwih. Pak Usman, kepala MI Desa Ngadiluwih saat itu, suka sekali membacakan dongeng setiap Jumat.
BACA JUGA: Kisah Spiritual: Yang Rindu dan Dirindukan
Sering kali Pak Usman bercerita tentang Abu Nawas. Belakangan, cerita-cerita Abu Nawas saya ketahui dari Kumpulan Cerita 1.001 malam.
Ada satu cerita yang masih saya ingat betul. Yakni, ketika Abu Nawas harus menerima hukuman dari raja. Yakni, ketika rumah Abu Nawas dijadikan sebagai tempat buang hajat penggawa kerajaan.
BACA JUGA: Kisah Spiritual: 1 Syawal tanpa Sandal
Setiap kali selesai buang hajat, penggawa kerajaan itu dipukul Abu Nawas dengan menggunakan kayu. Tentu saja, hal ini membuat raja terheran-heran.
Tapi, Abu Nawas selalu punya jawaban. Dengan cerdik, Abu Nawas menyebut bahwa penggawa kerajaan itu telah melakukan pelanggaran.
BACA JUGA: Kisah Spiritual dari Musala tak Bernama
Sebab, dalam kesepakatannya, rumah Abu Nawas hanya untuk buang air besar. Tapi nyatanya, penggawa kerajaan menggunakan rumah itu untuk buang air besar sekaligus buang air bersih. Mendengar jawaban itu, sang raja tidak bisa berbuat apa-apa.
Momen berikutnya yang tidak bisa saya lupakan adalah ketika lulus dari bangku sekolah dasar. Selain sekolah di MI Desa Ngadiluwih, saya juga bersekolah di Sekolah Rakyat Djambean I Kecamatan Keras.
Selepas SD, saya sempat ikut tes Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Kediri. Tapi, saya gagal. Akhirnya, saya memilih ke PGA Ma’arif Kediri.
Tahun kedua, saya mencoba lagi mengikuti tes di PGAN. Kali ini saya lolos. Di PGAN yang setingkat SMP, saya menempuh studi selama empat tahun.
Dari PGAN Kediri, saya mendapatkan tawaran untuk melanjutkan sekolah di Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Jogjakarta. Itu menjadi satu-satunya sekolah agama dengan ikatan dinas untuk calon hakim di kantor Pengadilan Agama.
Seleksinya sangat ketat. Kemudian, bila tidak naik kelas, hukumannya adalah langsung dikeluarkan. Semasa di PHIN, saya tinggal di asrama milik sekolah. Belakangan, saat reuni alumni, saya baru tahu bahwa Prof Mahfudz MD ternyata menjadi adik kelas saya di PHIN.
Lulus dari PHIN, saya melanjutkan studi di IAIN Jurusan Syariah. Sambil kuliah, saya juga sempat mendaftar di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB). Tapi, tidak lulus. Sampai akhirnya saya memilih untuk studi di Jurusan Bahasa Inggris IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang atau UM).
Dari apa yang saya sampaikan di atas, memang bisa dilihat bahwa hidup saya banyak dihabiskan di lingkungan akademik. Saya banyak membaca.
Tapi belakangan, saya menyadari bahwa tak semua yang saya baca itu bermanfaat. Yakni, ketika saya lagi mampu menghafal surat Yasin. Padahal, dulu, semasa sekolah, saya sering mendapatkan kepercayaan untuk memimpin salat Gerhana Matahari. Dan bacaan pada rakaat pertamanya adalah surat Yasin.
Tak hanya Surat Yasin, hafalan saya pada surat dan ayat lainnya pun banyak yang hilang. Saya baru menemukan jawaban ketika mendengar ceramah Ustad Abdul Somad via YouTube. Ustad Abdul Somad menyatakan bahwa jika kita sering melakukan maksiat pada Allah, maka hati akan kotor. Dan, saat itulah hafalan surat dan ayat Alquran banyak yang hilang.
Maka, dalam bulan Ramadan ini, saya harus ber-Ihtisaban. Saya harus menyadarkan diri bahwa saya pasti sudah banyak melakukan maksiat. Mata saya pasti sudah banyak melihat maupun membaca hal-hal yang kurang bermanfaat. Yakni, apa yang mengotori hati saya.
Telinga saya pasti sudah sering mendengarkan hal-hal yang tidak bermanfaat sehingga mengotori hati saya. Lidah saya pasti sudah sering saya pergunakan untuk berbicara yang tidak bermanfaat, atau berbicara yang membuat orang lain tidak berkenan di hati.
Hati saya pasti sudah banyak menyimpan sampah berupa kesombongan, merasa lebih hebat dari orang lain, dendam atau sakit hati pada orang lain. Atau bahkan merasa rendah diri (minder) pada orang lain.
Pada kesempatan Ramadan inilah, saya harus bersih hati dan membuat komitmen untuk tidak lagi mengotori hati. Karena hanya dengan cara itulah, Allah akan mengampuni dosa-dosa saya selama ini. Dosa tidak akan diampuni Allah kalau kita tidak menyadari kesalahan kita. Semoga Allah menjadikan kita lebih muttaqiin dalam bulan Ramadan ini.
Prof Mohammad Adnan Latief MA PhD
Guru besar Universitas Negeri Malang (UM)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Spiritual: Dari Laku Kebatinan, Belajar Nilai Islam
Redaktur : Tim Redaksi