Kisah Spiritual: Dari Laku Kebatinan, Belajar Nilai Islam

Oleh: Prof Dr dr Sardjana SpOG(K)SH NSL

Kamis, 31 Mei 2018 – 14:48 WIB
Prof Dr dr Sardjana SpOG(K)SH NSL

jpnn.com, MALANG - Saya sejak kecil digembleng laku kebatinan Jawa bersama dua kakak. Sejak usia muda mengkaji, mendalami, dan melakoni kebatinan.

Dalam perjalanan hidup saya yang penuh kemapanan, justru menjadi semangat untuk bangkit dan mencari sumber keadilan yang hakiki. Perjalanan laku yang sangat tinggi saya lakukan demi mencari hakikat hidup.

BACA JUGA: Kisah Spiritual: Berguru Kepada Pak Mat

Saya anak ke-3 dari RM Sumardi Wiryodiningrat dan BRAY Suciati Sekar Satiti yang belajar di sekolah dasar Desa Tawangsari, Teras Boyolali.

Ayah saya pernah berguru kepada seorang murid sakti pertapa perempuan yang bernama Nyai Karang, di Desa Nglaroha Karanganyar.

BACA JUGA: Kisah Spiritual: Menjaga Hakikat Roh

Bagaikan senopati, sejak kecil saya dilayani 3 orang ”punokawan” sekaligus guru saya yang punya ilmu jaya-kawijayan cukup tangguh.

Ilmunya ”punokawan” kemudian tanpa disadari diturunkan kepada saya dan kedua kakak saya. Saya bersama dua kakak diangkat sebagai ”santri” sekaligus mendapatkan gelar ningrat paling tinggi dari Keraton Surakarta.

BACA JUGA: Kisah Spiritual: Merasa Berutang sebelum Ziarah Kubur

Yakni, Kanjeng Raden Aryo (KRA) Sardjana Nitidiningrat. Ini gelar paling tinggi untuk orang yang tinggal di luar keraton.

Bersama keluarga, saya masih konsisten melakukan perjalanan spiritual yang mampu menghadirkan Kanjeng Ratu Kidul, Eyang Lawu (Kaki Semar), dan leluhur lainnya sebagai ”guru keluarga”.

Pendidikan yang berdasar pada budaya Jawa asli, di mana nurani sebagai Way of Life dan pikir sebagai alat untuk memimpin.

Ilmu-ilmu beliau sudah mencapai tataran tingkat tinggi dan mencapai alam makrifat. Manusia harus jadi ”Manungso sejati, sejatine manungso”, di mana nurani sebagai titik dan sumber tuntunan bagi kehidupan.

Sedangkan pikiran sebagai alat untuk menjalankan tuntunan Ilahi. ”Guru keluarga” selalu mengajarkan bagaimana manusia mampu kembali menjadi manusia yang sebenarnya.

Dengan menyelaraskan batin, pikiran, ucapan, dan perbuatan, manusia akan menjadi manusia menurut kodrat Ilahi. Sukma merupakan percikan Ilahi, sebagai utusan Sang Pencipta (Ha-Hananira, wahanane Hyang).

Pada hakihatnya bila manusia telah mampu menyelaraskan dan menyamakan antara batin, pikiran, ucapan, dan perbuatannya, manusia tersebut telah mencapai alam makrifat. Manusia tersebut mampu berada di posisi ”Jumbuhing Kawulo Gusti”. Berarti manusia itu mampu menjadi seorang pemimpin (Gusti=Bagusing Ati).

Dengan laku tapabrata seperti di atas, manusia kembali pada asalnya, hal ini dalam budaya Jawa disebut ”Sangkan Paraning Dumadi”. Hakikat kehidupan manusia sama dengan ciptaan lainnya, menurut hukum ekosistem.

Dalam budaya Jawa dikenal dengan ”Cakra Manggilingan”. Bila manusia mampu meletakkan batin, pikiran, ucapan, dan perbuatannya sama, maka tidak ada lagi tuntunan lain kecuali tuntunan Sang Pencipta lewat batin atau nuraninya. Swara dalam batin itulah sejati.

Manusia harus mempunyai nilai penting bagi umat sekelilingnya, kita juga bisa mengikuti jejak para sufi, seperti jalannya burung-burung di udara, tidak seorang manusia pun yang dapat melihat bekas tapaknya.

Saya membuka diri untuk kelompok agama dengan ajaran-ajaran agama tingkat tinggi sehingga tidak ada ulama ataupun tokoh-tokoh agama yang bisa merasa tersaingi.

Komitmen saya sebagai umat Islam ialah komitmen pada nilai, bukan pada golongan. Pemikiran saya ini menarik. Kita tahu, nilai memiliki kepastian relatif, sedang golongan tidak.

Seseorang boleh ”berkulit” haji, berbendera Muhammadiyah atau NU, tapi jaminan dari orang itu bahwa dia akan senantiasa lurus dan bersikap luhur sebagaimana nilai-nilai yang melekat pada baju yang dipakainya tidak ada.

Saya punya banyak komitmen nilai, sekaligus golongan, di tengah kaum Muhammadiyah saya bilang Muhammadiyah, di tengah orang-orang NU saya bilang bahwa saya seorang NU tulen. Sebab, bapaknya kakek saya Kiai Irsyad adalah pendiri NU.

Akhirnya orang-orang sekeliling saya pun tahu, mereka juga menyebut saya seorang agamawan. Di mata teman teman saya, pengakuan semacam itu dianggap sebagai ”bergaya ekspansif, seolah-olah hendak merangkul seluruh dunia”.

Saya merasa harus berdiri di atas semua golongan, agaknya saya beranggapan tidak berlebihan, meskipun saya tidak mengatakan, keragaman identik dengan perpecahan, sedang saya gandrung akan persatuan.

Kata Bernard Dahm, kita harus bisa menggabungkan hal berbeda satu sama lain itu ke dalam satu sintesa harmonis. Orang Jawa bilang, segala sesuatu itu pada dasarnya satu.

Saya setuju dengan pemikiran Farriduddin Attar, dunia ini nampak sebagai sebuah kotak, manusia hidup, beranak, bercucu, berkemenakan, bekerja, tidur, dan bermimpi di dalam kotak. Manusia di dunia ini, kerjanya sibuk membuat kotak-kotak.

Saya gandrung demokrasi dan sadar akan kebhinekaan etnis, agama, dan corak pemikiran dalam masyarakat kita, tapi mengapa kita tak cukup longgar mendengar argumen lain yang tak sejalan dengan kita? Mengapa kita tak sabar menghadapi kebhinekaan? ”Kalau mau serba seragam, lebih baik jadilah pembuat batu bata.”

Keseragaman memang mengesankan berfungsinya mesin rekayasa yang otoriter, kaku, dan dingin, mirip teriak kebulatan tekad yang mekanistis. Saya lebih suka kebhinekaan, tapi dalam kebhinekaan ada cacat yang tak saya sukai. Di sini orang bisa, dan mungkin mudah, tergelincir ke dalam kotak fanatisme yang selalu siap mengurung kita.

Sebaliknya, ungkapan semacam itu –pada hemat BJ Boland dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982)– ”hanya merupakan perwujudan dari perasaan keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya Jawa”.

Bagi penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru merupakan keberanian untuk menyuarakan berbagai pemikiran, yang mungkin bisa dituduh para agamawan formalis sebagai bid’ah.

Ibn Al-‘Arabi (1076-1148) mendendangkan kesadaran yang sama, ”Laqad shara qalbiy qabilan kulla shuratin, famar’a lighazlanin wa diir liruhbanin wa baytun li autsanin wa ka’batu thaifi wal wahu tawrati wa mushafu qur’anin” (Hatiku telah siap menerima segala simbol, apakah itu biara rahib-rahib Kristen, rumah berhala, Kakbah untuk thawaf, lembaran Taurat atau mushaf Al Quran).

Ketika menerima gelar Guru Besar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009, saya diwawancarai dan menjawab bahwa tauhid yang dianut saya sebagai Panteis-monoteis.

Saya yakin bahwa Tuhan itu satu, tetapi Dia hadir dan berada di mana-mana. Tentu saja di kalangan Islam dan Kristen, istilah panteisme ini bisa mengundang salah paham. Kontan saja, orang langsung menghubungkannya dengan sosok legendaris Syekh Siti Jenar, ”Al-Hallaj”-nya orang Jawa.

Dalam berbagai kesempatan, saya menyitir paham kalam Asy’ariyah mengenai ketidakcukupan 20 sifat Allah, berbareng dengan kritiknya terhadap paham taqlid dan kejumudan-kejumudan kaum tradisionalis pada zamannya.

Dari kegandrungannya pada paham rasionalisme Islam klasik Mu’tazilah dan pemikiran-pemikiran pembaharu Islam, khususnya Jamaluddin al-Afghani. Tetapi pada pihak lain, saya tidak bisa melepaskan diri dengan warisan keagamaan Jawa yang sangat kental berciri mistik.

Karena itu, menarik sekali dalam deskripsi saya mengenai tauhid. Saya merujuk juga Baghawad Gita. ”The Gospel of Hinduism” itu pun dikutipnya begitu bebas, sambil di sana-sini membuat penekanan dengan frasa-frasa buatannya sendiri. Tuhan ada di mana-mana.

Bahkan, juga saya mengutip sabda Khrisna: ”I am in the smile of the girl”, ”Ik ben in de glimlach van het meisje” Aku ada dalam senyum simpul gadis yang cantik. Di antara semua keindahan, Akulah kecantikan (Bhagawad Gita X,36).

Penekanan pada aspek tasybih (imanensi) Tuhan, sama sekali tidak menghapuskan aspek tanzih (transendensi) Allah. Barangkali, istilah yang tepat untuk menggambarkan keyakinan saya adalah ”panentheisme” (pan, ”segala sesuatu”; en, ”dalam” dan theos, ”Tuhan”). Jadi, segala sesuatu ada dalam Tuhan. Maksudnya, totalitas segenap realitas yang diciptakan ada dalam Tuhan, tapi Tuhan sendiri melebihi totalitas tersebut. (***)

Prof Dr dr Sardjana SpOG(K)SH NSL
Wakil Dekan Akademik Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tinggal di Malang

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Spiritual: Hidup Penuh Misteri


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler